Inilah yang Harus Dipilih!
Memang pertanyaan-pertanyaan reaktif di atas akan berjalan di tempat dan hanya menjadi pemilik si pencetus jika tidak dikomunikasikan ke siapa di sekitarnya. Hal ini mendesak karena melalui ruang berbagi, maka sebuah gagasan kecil akan menjadi sebuah gerakan besar. Sebuah gerakan yang mula-mula dicetus oleh minimal dua orang kemudian beranak pinak menjadi tak terhitung. Sebuah gerakan yang dilandasai bukan karena uang dan bukan pula karena mengejar kepentingan tertentu. Tetapi sebuah gerakan karena bersatunya ide brilian tentang kebaikan umum, terkonsolidasinya aneka mimpi tentang nilai-nilai bersama, dan bangkitnya kesadaran bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan. Itulah ruang diskursus. Ruang curah pendapat dan ruang mempertetangkan ide hingga menghasilkan nilai-nilai universal.
Jika kemudian ruang tersebut kian inklusif, bukan hanya milik kaum terpelajar, maka bukan mustahil sekolah politik informal terwujud. Sekolah yang guru-gurunya tidak ditempa dengan kurikulum yang sentralistik dan kental dengan kepentingan kaum penguasa. Sekolah yang kurikulumnya bukan top down tetapi bottom up, yaitu kurikulum yang lahir dari rahim keprihatinan dan konteks kehidupan masyarakat sendiri. Sekolah yang waktu pertemunya kapan dan jam berapa saja. Sekolah yang hasil akhirnya tidak selalu ditargetkan baik. Sekolah yang merangkul semua keberagaman kompetensi, ide, potensi, dan latar belakang sosial.
Hasil akhir dari sekolah informal tersebut memang tidak sekejab. Akan tetapi jika dilakukan dengan penuh keyakinan dan optimisme pasti akan terwujud. Inilah hasil yang saya maksud. Pertama, pergeseran paradigma berpikir masyarakat dari penerima ide menjadi pencetus ide. Masyarakat (pemilih) tidak lagi sebagai subjek pasif dan penerima pertama tanpa tafsir sebuah gagasan dari kaum penguasa atau berduit. Mereka akan menggunakan aneka filter untuk memvalidasi keabsahan dan kebenaran gagasan yang diterimanya. Mereka tidak sungkan dan takut untuk menyangga semua pernyataan yang menyesatkan. Mereka pula berani menawarkan solusi yang diyakini manfaatnya tidak egoistis. Gagasan yang diberikannya pun tidak mengawang tetapi benar-benar berbasis nilai yang melandasi mereka hidup sebagai komunitas.
Kedua, ruang politik didominasi oleh kaum pengejar bonum commune. Orang-orang yang bergabung di dunia politik atau yang mau mencalonkan diri sebagai legislatif bukan berangkat dari kepentingan pribadi dan/atau karena bergelimang harta. Tetapi karena dipercayai sebagai penyambung lidah dari masyarakat yang mewakilinya, terutama kaum marginal. Mereka adalah representase dari orang yang suara kritisnya dibungkam, pejuang kaum yang diperlakukan secara diskriminatif, martir bagi golongan miskin yang situasinya menjadi objek pengeruk uang negara, pribadi yang diidola karena satunya antara kata dan tindakan, dan ‘anggota keluarga’ yang tidak meninggalkan yang lain saat jabatan sudah ia miliki. Mereka adalah sang misonaris sejati untuk mewujudkan kebaikan umum (bonum commune).
Ketiga, masyarakat tidak lagi apolitik. Saat ruang diskursus semakin luas, maka urusan politik bukan lagi diasosiakan sebagai sesuatu yang kotor. Sebagai sesuatu yang harus dihindari karena kental dengan intrik dan manipulasi. Politik tidak lagi dipresepsi secara negatif. Akan tetapi, politik lebih bernuansa positif. Bawasannya, dengan berpolitik, perjuangan untuk mewujudkan keadilan dan kebenaran lebih muda terealisasi. Tidak saja itu, dengan politik, negara semakin sehat karena penguasa tidak menjalankan roda pemerintahan secara otoriter. Orang-orang yang bergabung dalam politik pun melihat jalan yang diambilnya bukan sekadar mencari nasi tetapi sebagai panggilan jiwa untuk mengabdi secara total kepada bangsa dan negara serta layanan publik lainnya. Hingga akhirnya, warga sekolah informal itu menyatu dengan apa yang dikatakan pemikir-pemikir awal, seperti Aristoteles, bahwa sebagai mahkluk sosial (zoon politicon), manusia tidak terelepas dari politik. Â Â Â Â
Akhirnya…
Gambar para caleg yang marak menghiasi perempatan dan tikungan jalan akan lenyap. Tak ada lagi yang berani mengosmetikkan dirinya dengan jargon bualan tanpa ide yang masuk akal dan mengakar pada kepentingan umum. Masyarakat pun tidak tergiur lagi dengan segepok rupiah untuk secara tidak sadar menyeblos caleg yang pandai memerdayai masyarakat sampai mulut berbusa. Sampai pada titik zenit, masyarakat pemilih semakin gagah untuk menunjukkan dirinya bahwa  demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang menjunjung tinggi kedelautan rakyat.
Dan ruang untuk menunjukkan internalisasi nilai demokrasinya itu adalah diskursus. Ia adalah etalase untuk memamerkan kemampuan para calon legislator jika kelak ia dimandatkan untuk menjalankan tugas formal yang melakat pada dirinya. Dari ruang itu pulalah, kerekatan emosional dibentuk. Tidak ada lagi jarak antara pemilih dengan yang dipilih. Tidak ada lagi eksploitasi antara keduanya. Â Relasi mereka pun bukanlah hierarkis tetapi egaliter. Mereka adalah komunitas organik: satu sama lain saling ketergantungan. Â Â Â
Jadi, baliho hanya propaganda kaum antidiskursus. Kaum yang hanya jumawa atas pujian palsu dari penyembahnya. Baliho adalah bendera yang dibentangkan sebagai tanda penarikan diri dari ruang silang pendapat dan semangat untuk live in dengan kondisi riil konstituennya. Oleh karena itu, turunkan baliho gemakan diskursus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H