Mohon tunggu...
Tobi J. Doseng
Tobi J. Doseng Mohon Tunggu... Guru - Biarlah gelas yang kuminum cukup setengah penuh.

Kehormatan terbesar dalam hidup saya adalah jika saya total mencintai diri, keluarga, sesama, dan profesiku. Untuk itu, segala yang bernada positif adalah tamu pertama yang kupersilakan memasuki pikiranku.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Turunkan Baliho Itu

3 Februari 2024   21:25 Diperbarui: 3 Februari 2024   23:03 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Di setiap tikungan jalan, di semua jalan bercabang, di tempat-tempat nongkrong, dan di pohon-pohon selalu ada gambar wajah mereka. Indah memang. Namun terkadang menggelikan jika melihat wajah keseharian mereka.

Deretan kata-kata ini begitu mengganggu pikiranku saat mendengar celetukan dari sahabatku yang baru kujumpai sebelum Natal 2018 tiba. Ini pun hanya sebuah penggalan dari sebuah cerita panjang berjam-jam tentang riuhnya propaganda pemilu 2019 kala itu. Anehnya, irisan kata-kata ini seolah tidak pernah pudar dalam siklus lima tahunan pada ruang pesta demokrasi di negara kita ini. Termasuk tahun 2024 ini.

Nah, tulisan sederhana ini tidak menitikberatkan pada apa yang kelak terjadi pascapemilu 2024. Ia tak lebih sebagi sebuah “kedipan cahaya dari seekor kunang kecil” yang mengajak kita untuk melihat dan menyadari bahwa ada sesuatu yang lupa dilakukan para calon tersebut dan yang alpa kita perankan sebagai rakyat. Untuk itu, secara deskriptif, saya coba menguarai fenomena baliho yang menjamur beberapa bulan terakhir ini sembari memproklamirkan alternatif strategisnya.      

Pesona Baliho

Wajah para calon legislatif begitu memesona. Sudut bibir mereka merekah senyuman begitu menggoda. Binaran matanya begitu tajam memana. Garis lipatan dahi hilang tanpa bekas. Flek hitam sebagai tanda tua bermetamorfosis putih kinclong. Wajah asli dipoles habis. Mereka betul-betul tampil bak artis layar kaca.

Jika pun ingin menambah kekontrasan warnanya, beberapa kata tertulis di sana. Mereka menyebutnya sebagai visi serentak misi. –Meskipun  muatannya lebih pendek dari gelar akademis yang tidak sedikit orang meragukan kesungguhan kompetensi ilmunya.

Andai ditanya berapa biayanya, maka bukan jutaan yang jumlah digitnya hanya enam nol yang disebut. Tidak sedikit yang polos menjawab dengan iringan ringkihan tawa terpaksa, bawasan bisa tembus ratusan juta. Itu untuk level caleg kabupaten.

Sayangnya, semua yang mereka lakukan itu tak lebih dari kepulan asap dalam memori sasaran pemilihnya. Para pemilih justru menilainya secara ganda. Satu sisi mereka menyebutnya sebagai media propaganda modern, tetapi sisi lain lebih satiristis. Bahwa baliho-baliho itu menjadi teman pengusir rasa takut bila malam tiba, hiasan pinggiran jalan untuk membatasi jalarnya dahanan-dahanan kayu ke badan jalan,  dan sebagainya.

Penilaian tersebut bukan tidak sampai ke telinga para calon. Jawaban yang ditimpalnya pun bukan kategori keliru. Sebab mereka mengulangi refrein yang sudah dihafal baik dan banyak di antara kita mengamininya, yaitu  “semua caleg melakukannya”.

Namun adakah kita menyadari bahwa jawaban tersebut meninabobokan kita ke  rasionalisasi moral sesat ini:  sebuah kekeliruan yang dilakukan terus-menerus (oleh  banyak orang) lama-lama akan menjadi kebiasaan dan dianggap benar? Sadarkah kita bahwa jawaban tersebut sebagai strategi para caleg untuk memperisai dirinya dari tuntutan masyarakat ‘apa idealisme sehingga ingin menjadi caleg’?

Pertanyaan-pertanyaan gugatan seperti di atas selayaknya terus dilayangkan dan didengungkan. Ini adalah jalan yang harus dilakukan oleh masyarakat (intelek) di tengah rendahnya daya kritis pemilih kita, di tengah miskonsepsi bahwa pemilu hanya untuk kalangan berduit, dan di tengah kubangan busuk bahwa suara pemilih bisa dibeli dengan rupiah.  

Inilah yang Harus Dipilih!

Memang pertanyaan-pertanyaan reaktif di atas akan berjalan di tempat dan hanya menjadi pemilik si pencetus jika tidak dikomunikasikan ke siapa di sekitarnya. Hal ini mendesak karena melalui ruang berbagi, maka sebuah gagasan kecil akan menjadi sebuah gerakan besar. Sebuah gerakan yang mula-mula dicetus oleh minimal dua orang kemudian beranak pinak menjadi tak terhitung. Sebuah gerakan yang dilandasai bukan karena uang dan bukan pula karena mengejar kepentingan tertentu. Tetapi sebuah gerakan karena bersatunya ide brilian tentang kebaikan umum, terkonsolidasinya aneka mimpi tentang nilai-nilai bersama, dan bangkitnya kesadaran bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan. Itulah ruang diskursus. Ruang curah pendapat dan ruang mempertetangkan ide hingga menghasilkan nilai-nilai universal.

Jika kemudian ruang tersebut kian inklusif, bukan hanya milik kaum terpelajar, maka bukan mustahil sekolah politik informal terwujud. Sekolah yang guru-gurunya tidak ditempa dengan kurikulum yang sentralistik dan kental dengan kepentingan kaum penguasa. Sekolah yang kurikulumnya bukan top down tetapi bottom up, yaitu kurikulum yang lahir dari rahim keprihatinan dan konteks kehidupan masyarakat sendiri. Sekolah yang waktu pertemunya kapan dan jam berapa saja. Sekolah yang hasil akhirnya tidak selalu ditargetkan baik. Sekolah yang merangkul semua keberagaman kompetensi, ide, potensi, dan latar belakang sosial.

Hasil akhir dari sekolah informal tersebut memang tidak sekejab. Akan tetapi jika dilakukan dengan penuh keyakinan dan optimisme pasti akan terwujud. Inilah hasil yang saya maksud. Pertama, pergeseran paradigma berpikir masyarakat dari penerima ide menjadi pencetus ide. Masyarakat (pemilih) tidak lagi sebagai subjek pasif dan penerima pertama tanpa tafsir sebuah gagasan dari kaum penguasa atau berduit. Mereka akan menggunakan aneka filter untuk memvalidasi keabsahan dan kebenaran gagasan yang diterimanya. Mereka tidak sungkan dan takut untuk menyangga semua pernyataan yang menyesatkan. Mereka pula berani menawarkan solusi yang diyakini manfaatnya tidak egoistis. Gagasan yang diberikannya pun tidak mengawang tetapi benar-benar berbasis nilai yang melandasi mereka hidup sebagai komunitas.

Kedua, ruang politik didominasi oleh kaum pengejar bonum commune. Orang-orang yang bergabung di dunia politik atau yang mau mencalonkan diri sebagai legislatif bukan berangkat dari kepentingan pribadi dan/atau karena bergelimang harta. Tetapi karena dipercayai sebagai penyambung lidah dari masyarakat yang mewakilinya, terutama kaum marginal. Mereka adalah representase dari orang yang suara kritisnya dibungkam, pejuang kaum yang diperlakukan secara diskriminatif, martir bagi golongan miskin yang situasinya menjadi objek pengeruk uang negara, pribadi yang diidola karena satunya antara kata dan tindakan, dan ‘anggota keluarga’ yang tidak meninggalkan yang lain saat jabatan sudah ia miliki. Mereka adalah sang misonaris sejati untuk mewujudkan kebaikan umum (bonum commune).

Ketiga, masyarakat tidak lagi apolitik. Saat ruang diskursus semakin luas, maka urusan politik bukan lagi diasosiakan sebagai sesuatu yang kotor. Sebagai sesuatu yang harus dihindari karena kental dengan intrik dan manipulasi. Politik tidak lagi dipresepsi secara negatif. Akan tetapi, politik lebih bernuansa positif. Bawasannya, dengan berpolitik, perjuangan untuk mewujudkan keadilan dan kebenaran lebih muda terealisasi. Tidak saja itu, dengan politik, negara semakin sehat karena penguasa tidak menjalankan roda pemerintahan secara otoriter. Orang-orang yang bergabung dalam politik pun melihat jalan yang diambilnya bukan sekadar mencari nasi tetapi sebagai panggilan jiwa untuk mengabdi secara total kepada bangsa dan negara serta layanan publik lainnya. Hingga akhirnya, warga sekolah informal itu menyatu dengan apa yang dikatakan pemikir-pemikir awal, seperti Aristoteles, bahwa sebagai mahkluk sosial (zoon politicon), manusia tidak terelepas dari politik.       

Akhirnya…

Gambar para caleg yang marak menghiasi perempatan dan tikungan jalan akan lenyap. Tak ada lagi yang berani mengosmetikkan dirinya dengan jargon bualan tanpa ide yang masuk akal dan mengakar pada kepentingan umum. Masyarakat pun tidak tergiur lagi dengan segepok rupiah untuk secara tidak sadar menyeblos caleg yang pandai memerdayai masyarakat sampai mulut berbusa. Sampai pada titik zenit, masyarakat pemilih semakin gagah untuk menunjukkan dirinya bahwa  demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang menjunjung tinggi kedelautan rakyat.

Dan ruang untuk menunjukkan internalisasi nilai demokrasinya itu adalah diskursus. Ia adalah etalase untuk memamerkan kemampuan para calon legislator jika kelak ia dimandatkan untuk menjalankan tugas formal yang melakat pada dirinya. Dari ruang itu pulalah, kerekatan emosional dibentuk. Tidak ada lagi jarak antara pemilih dengan yang dipilih. Tidak ada lagi eksploitasi antara keduanya.   Relasi mereka pun bukanlah hierarkis tetapi egaliter. Mereka adalah komunitas organik: satu sama lain saling ketergantungan.      

Jadi, baliho hanya propaganda kaum antidiskursus. Kaum yang hanya jumawa atas pujian palsu dari penyembahnya. Baliho adalah bendera yang dibentangkan sebagai tanda penarikan diri dari ruang silang pendapat dan semangat untuk live in dengan kondisi riil konstituennya. Oleh karena itu, turunkan baliho gemakan diskursus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun