Di Kelas
Rasa ria tersebut kuhiasi penuh saat memasuki bilik kelas berkompetensi membaca cepat. Sayangnya, meskipun bunyi kiukan pintu agak besar tak mengalihkan kosentrasi seisi kelas. Apalagi melihat binaran mata dan senyum senangku; tak mereka timpali.
Kusadari benar bahwa menuntut rasa hormat nan ramah dari orang yang lagi sibuk sama halnya memuji kemulusan wajah sesorang, padahal yang empunya tahu benar mukanya penuh jerawatan.
“Selanjutnya…”, suara tegas Ibu guru bak cemeti agar sesegera siswanya bangkit memenuhi ruangan.
“Siap, Bu”, sahut siswanya yang pada tangannya sudah membuka halaman teks sastra yang hendak dibacanya.
Kulototi tampilan pada laptop Ibu guru. Ada merah, kuning, dan biru yang mewarnai kolom sebelah kanan nama siswa yang dipanggilnya. Tampilan corak tersebut ternyata mengikuti tagihan yang harus dipenuhi siswa dari lajur lurus di bagian atas kolom. Ada tiga hal yang ditututnya, yaitu siswanya mampu memahami isi teks, menemukan pesan (moral) teks, dan memberikan catatan singkat (kritik) atas teks.
Lima menit lebih kuamati bagaimana harmoninya guru memberikan penilaian terhadap apa yang dilakukan siswanya. Waktu yang mungkin terlalu singkat untuk sedikit mengetahui bagaimana susahnya beranjak dari zona merah ke kuning atau biru.
“Ada perubahan yang menggembirakan untuk beberapa siwa dalam menentukan pesan teks hari ini …,” demikian catatan reflektif dari Ibu guru menutup pertemuan kali ini.