Mohon tunggu...
Tobias TobiRuron
Tobias TobiRuron Mohon Tunggu... Guru - Hidup adalah perjuangan. Apapun itu tabah dan setia adalah obatnya.. setia

Anak petani dalam perjuangan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Puro Lewo: Ritual Adat Pembersihan Kampung

6 Desember 2022   23:06 Diperbarui: 6 Desember 2022   23:10 495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ritual adat pembersihan diri oleh masyarakat adat keka | Dok Pribadi

Lewo Keka Belu Nebo Tanah Au Gala Mata. singkat padat dan jelas namun syarat akan makna. yang artinya Kampung Keka yang dikelilingi rumpun bambu. sebuah ungkapan syarat makna menjadi filosofi dasar dalam berkehidupan bermasyarakat dan menjadikan sebuah kekuatan ataupun identitas lewo/kampung. Masyarakat adat sangat meyakini dengan ungkapan kata-kata/koda, bisa menjadi pelindung atas dirinya sendiri maupun masyarakat kampung. Ungkapan ini lahir dari hasil manivestasi tradisi ataupun nilai-nilai berkembang dalam kampung itu sendiri.

Secara harafiah Puro lewo terdiri dari dua kata yakni Puro artinya penyucian/pembersihan dan Lewo artinya kampung. Puro Lewo artinya upaya pembersihan atau penyucian kampung. 

Ritual ini dijalankan dengan dasar atau alasan yang kuat dan tidak berdasarkan pada keinginan seseorang atau kelompok tertentu tetapi dilihat dari situasi/kondisi yang terjadi dalam kampung dengan masalah yang cukup serius misalnya kesehatan, keamanan/kenyamanan warga terganggu ataupun kedukaan yang tidak wajar yang terjadi dalam kampung.

Tujuan utama dilakukan Puro Lewo di Kampung Keka Desa Waibao Kecamatan Tanjung Bunga diantaranya melindungi masyarakat yang ada dalam kampung agar terhindar dari segala jenis gangguan ataupun musibah baik berupa kesehatan,keamanan serta tatanan kehidupan bermasyarakat lainya sekaligus meminta berkat dari Tuhan /Ama Kelake Lera Wulan Ina Kwae Tanah Ekan untuk memberikan kesejukan, kedamaian serta melindungi segenap anggota masyarakat dalam kampung.

Ritual Puro Lewo ini dijalankan sejak dahulu kala oleh masyarakat adat kampung Keka Desa Waibao Kecamatan Tanjung Bunga. Masyarakat meyakini bahwa dengan ritual Puro Lewo ini keselamatan itu akan terjawab. Kalau dilihat dari aspek ilmu pengetahuan bisa dijelaskan dengan gamblang. Tetapi dalam tatanan budaya adat kampung keka masalah-masalah itu tidak cukup dipaham berdasarkan logika. 

Mereka percaya bahwa masalah-masalah itu terjadi pasti ada sebabnya.Baik kesalahan yang dilakukan perorangan ataupun kelompok dalam masyarakat terhadap leluhur Lewotanah sehingga untuk mencegah ataupun mengatasi  masalah-masalah ini dan tidak membuat masyarakat dalam kampung resah maka ritual Puro Lewo wajib dijalankan.

Puro Lewo diawali dengan pembersihan diri dalam keluarga  dan rumah sebagai tempat tinggal dengan menggunakan Braha (Kapas dan kain merah disatukan berbentuk bulat). 

Suatu kepercayaan bahwa sebelum melaksanakan ritual, diri pribadi ataupun keluarga terlebih dahulu dibersihkan dari segala dosa atau kesalahan sehingga ujud atau berkat yang kita harapkan dapat mendiami dalam diri dan keluarga. Braha ini juga akan diikut sertakan dalam ritual dan dikumpulkan bersama dari semua keluarga yang ada dalam kampung lalu akan dibuang ke tengah laut dengan menggunakan sampan.

Bersamaan itu juga dipancang bambu sebagai pagar untuk melindungi kampung. Segala dosa dan kesalahan akan dibuang ke samudera raya yang begitu luas dan disaat pulang melakukan pembuangan itu kita tidak boleh menoleh ke belakang. pantang. jalan dan jalan terus. jelas Bapak Yakobus Brinu.Tetua dari Kampung Keka.

Dok Pribadi
Dok Pribadi

Pusat dari proses ritual Puro Lewo ini dijalankan di Nuba Nara kampung Keka di pantai Suba Tobo. Kenapa harus di Nuba Nara? Nuba Nara merupakan pusat dari segala ritual yang dilakukan dan menjadi tempat untuk berujud atau meminta berkat kepada wujud tertinggi yang adalah sang penguasa Langit dan bumi / Ama Kelake Lera Wulan dan Ina Kwae Tanah Ekan serta tempat berkumpulnya para Leluhur Lewotanah. Tempat yang sakral dan masyarakat adat yakin bahwa segala kekurangan,pengeluhan dan permintaan akan dikabulkan oleh sang penguasa hidup.

Sebelum melakukan ritual ini tetua adat bersama masyarakat berkumpul di Lango Belen  (Rumah besar) untuk menumpulkan bahan-bahan ataupun perlengkapan yang dibutuhkan dalam proses ritual. 

Setelah bahan atau perlengkapan yang dibutuhkan dalan ritual adat telah lengkap mereka bersama-sama ke tampat ritual. Bahan-bahan yang dibutuhkan dalam acara ritual ini adalah daun koli,rengki, ketupat, anak kambing, ayam,telur serta kemiri. Setiap bahan mempunyai makna tersendiri dan sebagai bahan persembahan kepada wujud yang tertinggi dan para leluhur Lewo Tanah.

Ritual dijalankan mulai dari pemberian sesajian,penyembelihan anak kambing dan pemberian rengki kepada Nuba Nara yang menjadi pusat dari kegiatan ritual Puro Lewo. 

Semua masyarakat yang hadir mengelilingi Nuba Nara dan khusuk mengikuti dan mendengar setiap mantra yang diucapkan Bapak Leo Lana Koten dengan asa yang membubung di setiap masyarakat agar keselamatan dan ujud yang disematkan dapat terwujud. Darah kambing yang di sembeli di campur dengan daging kemiri yang telah kunyah dikumpul dalam sebuah wadah. 

Campuran darah dan ampas kemiri akan diberi meterai atau tanda (Nilu) tepatnya di dahi setiap masyarakat dari bay sampai dewasa sebagai tanda kesejukan dan keselamatan setiap masyarakat.

Untuk menghindari dari segala musibah dan menunjukan bahwa kita sudah dibersihkan kepada semua masyarakat juga dikenakan gelang yang terbuat dari daun lontar yang akan dikenakan di tangan dan dipintu depan setiap rumah serta berpantang untuk tidak melaut, tidak keluar kampung selama empat hari. 

Masa untuk mengintropeksikan diri dan menenangkan diri. Ritual ini diakhiri dengan makan bersama segala makanan dan daging kambing yang telah dibagikan dalam ritual ini harus habis ditempat ritual. 

Kepada generasi muda Yakobus Brinu berharap tradisi ini tetap dihayati karena menyimpan nilai-nilai kehidupan yang begitu dasyat sebagai pegangan hidup walaupun tidak kelihatan namun kekuatannya luar biasa.Dan tradisi ini tidak boleh mati tetapi tetap dilestarikan.

(Tobias Ruron)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun