Mohon tunggu...
Tobias TobiRuron
Tobias TobiRuron Mohon Tunggu... Guru - Hidup adalah perjuangan. Apapun itu tabah dan setia adalah obatnya.. setia

Anak petani dalam perjuangan.

Selanjutnya

Tutup

Love

Surat Cinta Untuk "Belia Hewen"

30 November 2022   23:22 Diperbarui: 30 November 2022   23:38 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ket. Foto. Karol dan Iren Ruron/Dokpri

Jikalau cinta adalah mutiara lalu mengapa kau endapkan itu dalam kubangan penuh lumpur, Belia!..Empat tahun kita bermadu cinta,memegang kata menyimpul cita bahwasanya mutiara cinta kita berdua telah mati dan karam di sandaran jiwa kita berdua. Mengapa kau nodai dengan tinta ingkar lalu memutar haluan sepihak? Tak pantaskah diriku untukmu, Belia?

Ku sadar bahwa diriku tak pantas untukmu. Aku orang susah. Tak punya apa-apa. Aku hanyalah ilalang gersang di padang yang tandus. Kedua orang tuaku tlah tiada. Yang ku punya hanyalah bongkahan cinta. Cinta tanpa imitasi, Belia. Namun kini kamu telah menyudahi dengan begitu tragis. Ibarat nyala api lalu kau siram dengan air. Yang tersisah hanyalah kepulan asap putih hambar dengan debu mengerat. Begitu cepat Belia

Ku tahu kau masih mencintaiku. Aku yakin itu. Aku dapat merasakannya, batapa getaran jantung ini berdetak membentuk palung kata demi kata namamu. Ini tak dapat ku sangkal Belia. Bukankah kita pernah berikrar saat purnama menjuntai di kelopak barat dengan menorehkan tinta emas di diari kita yang di beri nama pusaran cinta bila kita saling merindui?

Aku masih teringat empat tahun lalu. Kisah cinta kita ibarat sampan di tengah samudera luas. Terkadang tenang namun tak luput pula badai. Kamu tahu kan Belia? Semuanya itu kita lalui. Semuanya berlalu walau terkadang saya harus menginjit kaki, menopang leher seperti leher angsa yang melihat tajam mangsa di saat ingin bertemu denganmu di kediamanmu?

Bapakmu terlalu kejam, Belia. Ia begitu kasar hingga terkadang meluruhkan kata-kata penuh cacian saat berpapasan baik di jalan maupun bertemu dengan adikku. Ia menganggapku hanyalah sampah. Sama seperti rombongan sampah di bak sampah pasar Inpres Larantuka yang tidak diangkut petugas selama seminggu. Aku menyadari itu. Namun aku tak peduli. Bukannya aku takut padanya namun aku lebih takut bila kehilangan cintamu, Belia. Semuanya itu karena cinta. Cinta tanpa syarat. Tak seperti bebannya administrasi di perkantoran publik dengan alur administrasi yang terkadang berkelit terutama menatap aku yang kusut ini.

Cintaku murni. Tak terkontaminasi dengan embel-embel bahwa kelak akan aku mengkurasi harta benda orang tuamu seperti yang sering ditodong oleh Ayahmu. Aku sadar aku miskin. Namun aku masih punya mahkota hati dan pikiran yang bening menjadi panglima dalam hidupku untuk bisa membedakan tentang sebuah kebenaran. Aku bukan perakus harta. Lagipula aku masih memiliki kedua tangan untuk bisa memungut mimpi, kedua kakiku setidaknya menjadi penopang raga menata hidup yang terkadang ranggas ini serta rimbunnya hatiku untuk memayung dirimu, Belia.

Begitu sakit yang kurasakan, Belia. Entah kamu juga merasakan? Itupun aku tak tahu. Kamu egois, Belia. Kamu lari dan perlahan mengendurkan temali dari rajutan yang tlah disimpul erat tanpa memberi kabar. Ragaku seakan melayang di udara tanpa seutas benang mendengar cerita ini. Aku hanya diam membisu. Bibirku katup merekat. Tatapanku hampa. Selera makanku melorot. Aku di persimpangan jalan.

Sudahkah kamu mengeja pasti akan putusanmu ini? Apakah ini bentuk pelarian semata karena tak kuasa menahan ambisi ayahmu untuk kuliah di kedokteran? Ataukah kamu sudah berikhtiar kecil dari dulu sebelum mengenal dan mencintaiku erat bahwa kamu akan masuk biara menjadi Biarawati? Semoga langkahmu ini adalah jalan menuju kebenaran Belia, bukan untuk menghindari suara hatimu oleh suntikan kata racun dari pihak lain?

Sudah lupakah kamu, saat kita berdua berada dalam ruangan kelas XII 1 IPA. Kamu menangis sejadinya lantaran kamu dikucilkan oleh bapakmu dalam kamar selama dua hari oleh karena hubungan rasa ini, Belia? Saat itu kamu berjanji tak akan melepaskan simpulan hati yang selama ini terajut. Kamu pula memberiku rantai dengan liontin berbentuk hati dengan berkata, Penana, jangan ragu akan cintaku. Aku akan setia mendampingimu sampai tibanya masa membangun bahtera untuk melabuhkan cinta kita. Terimalah rantai dengan liontin hati ini simbol cinta kita. Aku mengangguk kecil. Dan kitapun mengurai air mata kebahagian bersama. Bukan meratapi namun menyublin rasa atas dinamika cinta yang dilalui.

Lima tahun telah berlalu. Lima tahun pula berita tentangmu dari mulut mungilmu tak sampai ditelingaku. Berita tentangmu masuk biara dan telah mengenakan kerudung ku peroleh dari anak tetanggaku. Aku tak menyalahkan dirimu. Mungkin ini jalan percintaan kita yang harus kita akui dan jalani.

Masa terus berlalu. Aku masih menyintai kesendirianku. Liontin hati masih menemaniku dengan setianya. Aku masih menyimpan dengan rapih kata-katamu dalam bilik hatiku. Sampai kapan Belia, aku menantimu? Memanggilmu pulang itu dosa besar yang harus kuterima. Menyinsingkan rasa sedetik ini tentu menjadi kiamat bagiku. Aku akan berusaha walau pedih perih melumat diri ini. Ku yakin cinta tak selamanya harus memiliki namun kebeningan cinta itu pula menjernihkan yang suram. Biarlah ia menjadi sabda dan tinggal dalam kitab kehidupan bahwa kita pernah bersulam rasa.

Belia, aku tak pernah memaksa cinta. bukan pula berdendang amarah. yang ku pintah adalah kebeningan untuk menyampaikan. Walau sepucuk surat tak bernama. Di balik kerudungmu aku menyemat doa kiranya kita kuat di jalan ini sembari memadu hidup. Biarlah doa menyimpulkan.

Kita tak mungkin bersama lagi. itu pilihan teramat berat, Belia. Namun garis kehidupan telah di tentukan. di bebatuan ceper bergerigi aku tetap menghitung hari, mengeja wajahmu.

Jikalau kamu menerima surat ini, janganlah bersedih dan muram mukamu. jangan pula mengairkan air mata. ku tak mau kamu bersedih hanya karena diri ini. Kontas Rosario yang ku beri sebagai hadiah di ulang tahunmu biarlah menjadi kekuatan jiwamu dan aku agar bisa menapak jalan ini. Katub itu, Belia.

Aku bahagia melihatmu memakai kerudung putih dengan balutan biru. kamu telah menjadi suster, Belia. Bahagiamu juga bahagiaku. jadilah dirimu sendiri. layanlah umatmu dengan tulus hati. jangan sombong. jangan pula memilah dalam pelayanan. tua ataupun mudah, kaya maupun miskin mereka adalah milik Tuhan. tetaplah berkarya dalam kebajikan.

Aku masih setia memegang tofa dan parang peninggalan bapakku dulu untuk bekerja. Satu satunya alat untuk menabur kehidupan. Aku bangga menjadi anak petani walau ke dua tiang kehidupanku telah patah. Aku berusaha dan kitapun berusaha. dalam doa kita tetap memberi dukungan.

Bila hari esok padiku mulai menguning dan saatnya untuk menuai, aku berjanji untuk mendermahkan bulir-bulir jerih ini sebagai wujud cintaku buat saudaraku yang membutuhkan. ku yakin penuh. yakin seyakinnya dengan petuah usang bahwa jikalau aku yang adalah lelaki bila bermimpi tentang dirimu adalah seorang suster maka panen itu akan melimpah. itu berkat. berkat kita semua.

Di pematang ini ku selalu berharap.

By, Penana Ruron

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun