Belia, aku tak pernah memaksa cinta. bukan pula berdendang amarah. yang ku pintah adalah kebeningan untuk menyampaikan. Walau sepucuk surat tak bernama. Di balik kerudungmu aku menyemat doa kiranya kita kuat di jalan ini sembari memadu hidup. Biarlah doa menyimpulkan.
Kita tak mungkin bersama lagi. itu pilihan teramat berat, Belia. Namun garis kehidupan telah di tentukan. di bebatuan ceper bergerigi aku tetap menghitung hari, mengeja wajahmu.
Jikalau kamu menerima surat ini, janganlah bersedih dan muram mukamu. jangan pula mengairkan air mata. ku tak mau kamu bersedih hanya karena diri ini. Kontas Rosario yang ku beri sebagai hadiah di ulang tahunmu biarlah menjadi kekuatan jiwamu dan aku agar bisa menapak jalan ini. Katub itu, Belia.
Aku bahagia melihatmu memakai kerudung putih dengan balutan biru. kamu telah menjadi suster, Belia. Bahagiamu juga bahagiaku. jadilah dirimu sendiri. layanlah umatmu dengan tulus hati. jangan sombong. jangan pula memilah dalam pelayanan. tua ataupun mudah, kaya maupun miskin mereka adalah milik Tuhan. tetaplah berkarya dalam kebajikan.
Aku masih setia memegang tofa dan parang peninggalan bapakku dulu untuk bekerja. Satu satunya alat untuk menabur kehidupan. Aku bangga menjadi anak petani walau ke dua tiang kehidupanku telah patah. Aku berusaha dan kitapun berusaha. dalam doa kita tetap memberi dukungan.
Bila hari esok padiku mulai menguning dan saatnya untuk menuai, aku berjanji untuk mendermahkan bulir-bulir jerih ini sebagai wujud cintaku buat saudaraku yang membutuhkan. ku yakin penuh. yakin seyakinnya dengan petuah usang bahwa jikalau aku yang adalah lelaki bila bermimpi tentang dirimu adalah seorang suster maka panen itu akan melimpah. itu berkat. berkat kita semua.
Di pematang ini ku selalu berharap.
By, Penana Ruron
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H