Apabila empedu babi tersebut padat dan cerah, dapat dipastikan bahwa hasil panen bisa mencukupi kebutuhan dalam keluarga.dan apabila dalam pengamatan tersebut ditemukan hambatan baik terhadap keberadaan padi, jagung dan lainnya maka saat itu juga dilakukan seremonial pembersihan diri.
Proses ritual buka hoku ini berakhir ditandai dengan makan rengki oleh "Nea Nomak"/konkretisasi dari dewi padi oleh anak gadis dalam suku tersebut di atas lumbung, tujuannya sebagai bentuk penghormatan kepada dewi padi sebelum mentunaikan diri demi keselamatan orang banyak.
Helo Nikat
Setelah melakukan ritual "Buka Hoku" di lumbung padi milik suku, keesokan harinya tetua adat bersama anggota keluarga suku Lamaruro Ritapuken kembali berkumpul untuk melakukan ritual adat di Kebun adat suku yang telah disepakati dalam rumpun suku itu sendiri.
Proses ritual ini disebut dengan "Helo Nikat". Helo artinya Tanam dan Nikat yang artinya kayu yang digunakan untuk menanam atau membuat ruang di tanah sebagai tempat bersemayamnya benih padi, Jagung dan lainnya. Jadi Helo Nikat dapat diartikan sebagai proses penanaman benih padi, jagung dan lainnya dalam kebun adat yang telah disiapkan.
Ritual adat Helo Nikat ini biasanya terjadi pada bulan Januari namun seiring waktu berjalan proses penanaman benih padi, jagung dan lainnya dapat menyesuaikan situasi dan kondisi iklim setempat.
Proses pelaksanaan ritual adat Helo Nikat terjadi di tempat yang telah disiapkan, tepatnya di pusat kebun itu sendiri yang disebut dengan nama "Padu Era".
Padu Era merupakan simbol atau wujud konkretisasi dari dewi padi yang terdiri dari beberapa bagian yang membentuk satu kesatuan nilai-nilai dari perwujudan dan pengorbanan seorang Nogo Gunu E'ma Hingi/Dewi padi yang dipercaya oleh masyarakat adat sebagai gadis pemberi kehidupan.
Di antaranya Ma'du/tiang yang diikat dengan sabut kelapa atau gabah jagung dan digantung dengan satu buah kelapa sudah agak tua yang telah di belah. Ma'du/tiang yang diyakini sebagai tubuh seorang dewi padi, Buah Kelapa dipercaya sebagai kepala dan gabah atau sabut kelapa adalah rambutnya.
Selama proses ritual ini dijalankan baju tenun adat/Kwatek labu yang dibawah diselimuti ditiang atau madu, wujud konkretisasi dari dewi padi tersebut sebagai wujud penghargaan layaknya seorang perempuan yang berbusana.
Selain itu, batu ceper sebagai tempat duduk, re'ku sebatang kayu yang disimpan di depan dari tiang/madu itu sendiri dipercaya sebagai tempat untuk menahan kaki disaat dewi padi/Nogo Gunu, E'ma Hingi lagi duduk menenun juga disiapkan, gading adat serta tempat sirih pinang. Semua proses ini berakhir ditandai dengan pemotongan buah kelapa dan digantung di "madu'/tiang sebagai pemberi kesejukan.