Senja di sore hari, Minggu (20/1/2019) tepatnya di rumah adat Lamaruro Ritapuken dan lumbung padi suku/Hoku Keba di Lewoblolon, Kampung lama Desa Painapang, Kecamatan Lewolema, Kabupaten Flores Timur cukup ramai. Rumpun suku Lamaruro Ritapuken yang ada di Lamatou melaksanakan ritual adat tahunan diantaranya "Buka Hoku".Â
Sebelum menjalankan ritual adat ini, beberapa anak suku terutama laki-laki membawa babi sebagai hewan persembahan ke batu besar yang terletak di gunung. Batu ini diyakini sebagai penghuni Leluhur, perantara dengan sang kuasa serta sebagai kekuatan Lewotanah/kampung dan suku itu sendiri.
Secara harafia "Buka Hoku" terdiri dari dua kata yakni Buka yang artinya membuka dan Hoku Lumbung padi suku. Ritual adat Buka Hoku bertalian erat dengan Nogo gunu, E'ma Hingi/Dewi padi yang dipercaya oleh masyarakat adat Lamaholot sebagai tokoh sentral dibalik adanya tumbuhan pemberi kehidupan seperti padi, jagung yang menjadi makanan pokok harian.
Jadi ritual adat Buka Hoku memberikan sebuah pemahaman akan seremonial untuk membuka kembali pintu atau rumah kediaman dari Nogu Gunu, E'ma Hingi/dewi padi sekaligus mengantarnya ke kebun yang diyakini masyarakat adat sebagai tempat persembahan diri sekaligus memberikan hasil dalam wujud hasil panen yang melimpah.
Masyarakat adat meyakini bahwa dengan menjalankan ritual ini keberuntungan akan selalu hadir melalui hasil panen nanti. Untuk itu segala proses yang berkaitan dengan ritual sungguh-sungguh dicermati dengan penuh ketelitian sehingga tidak ada hambatan baik keberadaan padi, jagung dan lainnya yang ada dalam kebun maupun dengan kehidupan dari suku itu sendiri.
Untuk itu dalam ritual Buka Hoku ini, konkretisasi seorang dewi padi/Nogo Gunu, Ema Hingi dilakonkan oleh seorang gadis dalam suku yang disebut dengan "Nea Nomak". Dalam diri "Neo Nomak" terpatri keanggunan, rasa keprihatinan dan kepekaan akan situasi yang menderah layaknya pengorbanan seorang Dewi padi itu sendiri dalam baik dalam bertindak maupun bersikap.
Sebagai wujud penghargaan akan dewi padi/Nogo Gunu, E'ma Hingi seorang "Nea Nomak" tidak bisa menikmati daging babi yang merupakan kurban dalam ritual itu kecuali.
Segala pernak-pernik berkaitan dengan ritual seperti baju adat,sarung adat, Benih padi yang merupakan manifestasi dari seorang dewi padi, dua buah kelapa disiapkan. Semua bahan ini disimpan dalam sebuah bakul yang akan dibawa sendiri oleh "Neo Nomak" pada keesokan harinya saat melakukan ritual adat atau mengantar dewi padi ke Kebun adat suku.
Ritual adat "Buka Hoku"Â diawali dengan pemberian sesajian kepada leluhur. Darasan nada dalam syair mantra mengiring setiap proses pemecahan telur dan hewan sebagai kurban dalam ritual ini.
Ritual "Buka Hoku"Â dijalankan setiap tahun sebelum proses penanaman padi, jagung di kebun. Dan bukan hanya ini saja yang dilakukan tetapi tahap demi tahap ritual adat berkaitan dengan Dewi padi/Nogo Gunu, Ema Hingi" akan tetap dilaksanakan mulai dari sebelum proses penanaman padi hingga proses pengetaman padi itu sendiri. Semua tahap ini wajib dijalankan sehingga tidak ada hambatan yang terjadi dalam kebun ataupun dalam suku.
Untuk mengetahui hambatan atau hasil panen dalam setahun orang tua adat juga bisa mengetahui dari kondisi empedu babi yang menjadi kurban dalam ritual adat tersebut.
Apabila empedu babi tersebut padat dan cerah, dapat dipastikan bahwa hasil panen bisa mencukupi kebutuhan dalam keluarga.dan apabila dalam pengamatan tersebut ditemukan hambatan baik terhadap keberadaan padi, jagung dan lainnya maka saat itu juga dilakukan seremonial pembersihan diri.
Proses ritual buka hoku ini berakhir ditandai dengan makan rengki oleh "Nea Nomak"/konkretisasi dari dewi padi oleh anak gadis dalam suku tersebut di atas lumbung, tujuannya sebagai bentuk penghormatan kepada dewi padi sebelum mentunaikan diri demi keselamatan orang banyak.
Helo Nikat
Setelah melakukan ritual "Buka Hoku" di lumbung padi milik suku, keesokan harinya tetua adat bersama anggota keluarga suku Lamaruro Ritapuken kembali berkumpul untuk melakukan ritual adat di Kebun adat suku yang telah disepakati dalam rumpun suku itu sendiri.
Proses ritual ini disebut dengan "Helo Nikat". Helo artinya Tanam dan Nikat yang artinya kayu yang digunakan untuk menanam atau membuat ruang di tanah sebagai tempat bersemayamnya benih padi, Jagung dan lainnya. Jadi Helo Nikat dapat diartikan sebagai proses penanaman benih padi, jagung dan lainnya dalam kebun adat yang telah disiapkan.
Ritual adat Helo Nikat ini biasanya terjadi pada bulan Januari namun seiring waktu berjalan proses penanaman benih padi, jagung dan lainnya dapat menyesuaikan situasi dan kondisi iklim setempat.
Proses pelaksanaan ritual adat Helo Nikat terjadi di tempat yang telah disiapkan, tepatnya di pusat kebun itu sendiri yang disebut dengan nama "Padu Era".
Padu Era merupakan simbol atau wujud konkretisasi dari dewi padi yang terdiri dari beberapa bagian yang membentuk satu kesatuan nilai-nilai dari perwujudan dan pengorbanan seorang Nogo Gunu E'ma Hingi/Dewi padi yang dipercaya oleh masyarakat adat sebagai gadis pemberi kehidupan.
Di antaranya Ma'du/tiang yang diikat dengan sabut kelapa atau gabah jagung dan digantung dengan satu buah kelapa sudah agak tua yang telah di belah. Ma'du/tiang yang diyakini sebagai tubuh seorang dewi padi, Buah Kelapa dipercaya sebagai kepala dan gabah atau sabut kelapa adalah rambutnya.
Selama proses ritual ini dijalankan baju tenun adat/Kwatek labu yang dibawah diselimuti ditiang atau madu, wujud konkretisasi dari dewi padi tersebut sebagai wujud penghargaan layaknya seorang perempuan yang berbusana.
Selain itu, batu ceper sebagai tempat duduk, re'ku sebatang kayu yang disimpan di depan dari tiang/madu itu sendiri dipercaya sebagai tempat untuk menahan kaki disaat dewi padi/Nogo Gunu, E'ma Hingi lagi duduk menenun juga disiapkan, gading adat serta tempat sirih pinang. Semua proses ini berakhir ditandai dengan pemotongan buah kelapa dan digantung di "madu'/tiang sebagai pemberi kesejukan.
Selain menjalankan ritual adat "Helo nikat" proses ini juga di tandai dengan kerja atau gotong royong membersihkan kebun suku bersama-sama. Semua proses dijalankan dengan senang hati dalam bingkai kebersamaan dengan sebuah cita-cita hasil padi melimpah.
Tobias Ruron/Pengurus Agupena Cabang Flores Timur
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H