Mohon tunggu...
Tobias Gunas
Tobias Gunas Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

"Cogito Ergo Sum" (Rene Descartes)

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Ketika "Mas Gibran" Maju jadi Cawapres

17 November 2023   17:25 Diperbarui: 17 November 2023   17:25 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Kemunculan figur baru dalam dunia politik selalu menjadi topik hangat untuk diperbincangan. Apa lagi kalau figur itu adalah orang muda, yang dalam bahasa sekarang disebut tokoh milineal. Itulah yang terjadi di ruang diskusi publik akhir-akhir ini. 

Ramai orang membincangkan "mas Gibran" baik sisi positif maupun negatifnya. Semakin panas dan seru ketika dicalonkan sebagai Cawapres dari Prabowo Subianto. 

Sesuatu yang tidak pernah diprediksi! Kehadirannya seolah-olah mendisrupsi kenyamanan bagi para politisi senior. Kurang lebih hiruk pikuknya sama ketika membicarakan disprusi teknologi digital. Mengapa diperbincangan secara luas dan bahkan dipertentangkan dengan para politisi?

Kita perlu melihat siapa itu "mas Gibran". Kalau dia hanya orang biasa, mungkin tidak ada perdebatan. Tapi, dia anak presiden Joko Widodo yang sedang berkuasa saat ini. Jadi, publik melihat keberadaannya sebagai anak presiden dan menghubungkan dengan Bapaknya sebagai orang nomor satu di Indonesia. 

Di sini, suka atau tidak suka publik menilai ada semacam intervensi kekuasaan yang menghendaki figur Gibran menjadi the next leader! Intervensi kekuasaan memiliki "political force" yang lebih kuat untuk penokohan seseorang. Ada pengaruh langsung dari pemegang kekuasaan untuk mendukung langkah politik dari figur "mas Gibran". 

Di atas panggung politik, dia berperan sebagai tokoh utama yang didukung oleh latar politik kekuasaan istana. Maka, hemat penulis, ada benarnya juga kali lalu orang ramai-ramai mengkritik keras politik "cawe-cawe" presiden Jokowi. 

Menjadi bahan omongan publik ketika "mas Gibran" dicalonkan sebagai Cawapres oleh Prabowo Subianto. Keberadaanya sebagai anak presiden dimanfaatkan untuk meningkatkan keterpilihan di Pilpres 2024. 

Lalu mengapa heboh? Ya, sederhana saja melihatnya tanpa perlu analisis yang ribet. Prabowo Subianto membangun relasi dengan pihak istana melalu figur "mas Gibran". Secara tidak langsung menarik kekuasaan istana masuk dalam koalisi Indonesia Maju (KIM). 

Harapannya popularitas presiden Jokowi dapat menaikan nilai tawar politik dan elektabilitas dari pasangan Capres/Cawapres nomor 2 pada Pilpres 2024 nanti. Saya sangat yakin tanpa predikat anak presiden yang melekat pada diri "mas Gibran" tidak mungkin diusung oleh koalisi besar ini. 

Kita tahu dalam koalisi KIM ada banyak politis senior yang berpengaruh dari tujuh parpol yang berpengaruh, seperti Erlangga Hartarto (Golkar) dan  AHY (Demokrat). Kedua tokoh ini sangat mumpuni baik kemampuan, prestasi maupun pengalaman. Hanya satu yang mereka tidak miliki yaitu  status anak presiden. Label tersebut menjadi "golden ticket" yang menghantar "mas Gibran" menjadi Cawapres. Ini jelas bukan hasil kontestasi politik yang demokratis dalam koalisi, melainkan lebih pada kesepakatan transaksional di antara para Ketua Parpol.

Perbincangan lain tentang pencalonan "mas Gibran" dilihat dari faktor usia. Usianya masih terlalu mudah untuk menjadi Cawapres. Tentu soal pencalonan seseorang menjadi Capres dan Cawapres diatur dalam undang-undang.

Sebelum adanya perubahan Undang-Undang di MK, batas usia minimal Capres dan Cawapres adalah 40 tahun. Batasan usia ini menimbulkan polemik di kalngan politisi, pengamat, dan masyarakat. 

Di sisi lain, tahun ini sang Cawapres baru berusia 35 tahun. Kalau mengacu pada ketentuan Undang-Undang yang lama tentu "mas Gibran" tidak memenuhi syarat. Tapi, kemudian ada seorang mahasiswa dari Universitas Surakarta Almas Tsaqibbiru mengajukan permohonan ke MK untuk menguji UU Pemilu nomor 7 tahun 2017 pasal 169 huruf q. Alhasil, sebagian permohonanya dikabulkan MK dengan keputusan bahwa capres dan cawapres yang berusia di bawah 40 tahun dapat dicalonkan karena pernah dipilih melalui pemilu dan memiliki pengalaman. 

Paska keputusan MK tersebut munculkan reaksi dan penolakan terhadap pencalonan "mas Gibran". Kemudian ada pihak melaporkannya ke MKMK. Hasil investigasinya dikeluarkan keputusan MKMK tentang pemberhentian Anwar Usman dari posisi ketua MK dan dilarang memimpin sidang sengketa hasil Pilpres 2024. Akibatnya, muncul berbagai reaksi spekulatif terkait putusan MK. 

Pertama, semua yang terjadi adalah "by design". Mengapa? Relasi emosional dan kepentingan politik transaksional yang kuat antara "mas Gibran" dan mantan ketua MK. Keduanya bertindak hanya untuk kepentingan politik dari Koalisi Indonesia Maju pada Pilpres 2024. 

Kedua, ada konspirasi dibalik putusan MK. Pihak yang mengajukan permohonan pengujian batasan usia ke MK adalah seorang mahasiswa yang merupakan barisan pendukung Cawapres. 

Ketiga, kalau dikatakan selain ketentuan usia adalah pengalaman. "Mas Gibran" baru menjadi wali kota kurang lebih dua tahun. Lalu orang bertanya pengalaman apa dalam kurun waktu singkat.  

Menurut sebagian kalangan, sebaiknya, "mas Gibran" jangan maju sekarang. Tunggu  waktu lima tahun lagi untuk maju sambil mematangkan dirinya. Tapi, kalau menunggu lima tahun lagi belum tentu dicalonkan oleh koalisi parpol besar.  Pilpres 2024 adalah momentum terbaik bagi langkah politiknya meskipun terkesan oportunis.

Publik menganggap pencalonan "mas Gibran" menjalankan praktik politik dinasti. Kehadirannya dalam kontestasi Capres 2024 bertujuan untuk melanjutkan dan melanggengkan kekuasaan. 

Politik dinasti adalah sistem reproduksi kekuasaan yang primitif karena mengandalkan darah dan keturunan. Cara ini adalah proses mengarahkan regenerasi kekuasaan bagi kepentingan golongan tertentu. 

Penafsiran ini yang lebih menonjol di mata publik. Dan ini tentu tidak baik bagi penguatan demokrasi di Indonesia. Karena itu, menurut sejumlah pakar politik esensi pemilu bukan sekadar mencoblos figur tertentu di bilik suara, tetapi menghasilkan pemimpin bangsa yang berkualitas dan bermartabat.

Semua perbincangan dan kritik terkait pencalonan Capres dan Cawapres 2024, khususnya terkait figur milineal "Gibran" memperkaya wawasan tentang figur pemimpin masa depan Indonesia. Para pemilih perlu cerdas dan selektif dalam menilai calon pemimpin bangsa yang besar ini. Jangan tertipu karena branding, usia,  merek, dan gaya bahasa politik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun