Sebelum adanya perubahan Undang-Undang di MK, batas usia minimal Capres dan Cawapres adalah 40 tahun. Batasan usia ini menimbulkan polemik di kalngan politisi, pengamat, dan masyarakat.Â
Di sisi lain, tahun ini sang Cawapres baru berusia 35 tahun. Kalau mengacu pada ketentuan Undang-Undang yang lama tentu "mas Gibran" tidak memenuhi syarat. Tapi, kemudian ada seorang mahasiswa dari Universitas Surakarta Almas Tsaqibbiru mengajukan permohonan ke MK untuk menguji UU Pemilu nomor 7 tahun 2017 pasal 169 huruf q. Alhasil, sebagian permohonanya dikabulkan MK dengan keputusan bahwa capres dan cawapres yang berusia di bawah 40 tahun dapat dicalonkan karena pernah dipilih melalui pemilu dan memiliki pengalaman.Â
Paska keputusan MK tersebut munculkan reaksi dan penolakan terhadap pencalonan "mas Gibran". Kemudian ada pihak melaporkannya ke MKMK. Hasil investigasinya dikeluarkan keputusan MKMK tentang pemberhentian Anwar Usman dari posisi ketua MK dan dilarang memimpin sidang sengketa hasil Pilpres 2024. Akibatnya, muncul berbagai reaksi spekulatif terkait putusan MK.Â
Pertama, semua yang terjadi adalah "by design". Mengapa? Relasi emosional dan kepentingan politik transaksional yang kuat antara "mas Gibran" dan mantan ketua MK. Keduanya bertindak hanya untuk kepentingan politik dari Koalisi Indonesia Maju pada Pilpres 2024.Â
Kedua, ada konspirasi dibalik putusan MK. Pihak yang mengajukan permohonan pengujian batasan usia ke MK adalah seorang mahasiswa yang merupakan barisan pendukung Cawapres.Â
Ketiga, kalau dikatakan selain ketentuan usia adalah pengalaman. "Mas Gibran" baru menjadi wali kota kurang lebih dua tahun. Lalu orang bertanya pengalaman apa dalam kurun waktu singkat. Â
Menurut sebagian kalangan, sebaiknya, "mas Gibran" jangan maju sekarang. Tunggu  waktu lima tahun lagi untuk maju sambil mematangkan dirinya. Tapi, kalau menunggu lima tahun lagi belum tentu dicalonkan oleh koalisi parpol besar.  Pilpres 2024 adalah momentum terbaik bagi langkah politiknya meskipun terkesan oportunis.
Publik menganggap pencalonan "mas Gibran" menjalankan praktik politik dinasti. Kehadirannya dalam kontestasi Capres 2024 bertujuan untuk melanjutkan dan melanggengkan kekuasaan.Â
Politik dinasti adalah sistem reproduksi kekuasaan yang primitif karena mengandalkan darah dan keturunan. Cara ini adalah proses mengarahkan regenerasi kekuasaan bagi kepentingan golongan tertentu.Â
Penafsiran ini yang lebih menonjol di mata publik. Dan ini tentu tidak baik bagi penguatan demokrasi di Indonesia. Karena itu, menurut sejumlah pakar politik esensi pemilu bukan sekadar mencoblos figur tertentu di bilik suara, tetapi menghasilkan pemimpin bangsa yang berkualitas dan bermartabat.
Semua perbincangan dan kritik terkait pencalonan Capres dan Cawapres 2024, khususnya terkait figur milineal "Gibran" memperkaya wawasan tentang figur pemimpin masa depan Indonesia. Para pemilih perlu cerdas dan selektif dalam menilai calon pemimpin bangsa yang besar ini. Jangan tertipu karena branding, usia, Â merek, dan gaya bahasa politik.Â