Dalam gelaran upacara pernikahan putera bungsu Presiden tersebut terkuak kesan budaya inklusivitas. Budaya inklusivitas adalah sikap dan perilaku yang melibatkan orang-orang dari golongan dan latar belakang yang berbeda.
Bapak Presiden tidak saja mengundang kelompok eksekutif, politisi, artis, pengusaha, tetapi masyarakat kalangan menengah ke bawah. Masyarakat mengambil bagian secara langsung pada pesta tersebut.
Acara ngunduh mantu di Solo diramaikan dengan sembilan panggung hiburan untuk masyarakat. Itu artinya masyarakat juga menjadi bagian terpenting dalam upacara pernikahan anaknya.
Masyarakat bisa berjabatan langsung dengan kedua mempelai dan menikmati beragam hidangan yang disediakan. Atmosfir pesta rakyat sangat terasa.
Jadi tidak ada kesan pesta beraroma “keraton-monarki” seperti celotehan orang tertentu. Lebih dari itu, suasana pesta pernikahan yang tidak memamerkan status, kekayaan, dan kedudukan.
Mengapa demikian?
Figur Bapak Presiden adalah pribadi yang merakyat dan mencintai budaya bangsa. Inilah, menurut hemat penulis, contoh sekaligus teladan yang baik bagi anak bangsa di negeri ini.
Pernikahan putera bungsu Presiden ke tujuh di negeri ini menampilkan kesederhanaan. Kesederhanaan tidak berarti terbatas atau kurang. Kesederhanaan juga tidak berarti tradisional.
Di era modernitas ini, banyak pernikahan yang terjebak dan tergoda dalam budaya materialistis dan hedonistis.Gaya pernikahan dipengaruhi budaya pop yang menampilkan kemewahan dan konsumerisme.
Sebaliknya, apa yang ditunjukkan dalam upacara pernikahan putera bungsu Presiden menampilkan kebersahajaan dan sakralitas pernikahan. Dua modal pernikahan yang tak ternilai.
Apa yang bisa dipetik dari seremoni pernikah putera bungsu Presiden itu? Upacara pernikahan tidak bisa dilepaskan dari latar budaya kedua mempelai. Budaya menunjukkan karakter dan identitas bagi pasangan nikah.