Â
TUHAN Allah menciptakan manusia sebagai Imago Dei. Dia memperlengkapi mereka dengan seluruh kebutuhan hidup dan kehidupan. Dia memberi mandat untuk menata ciptaan. Dia menempatkan manusia dalam lingkungan hidup dan kehidupan yang baik serta teratur. Manusia diciptakan dengan hak-hak asali yang disebut hak asasi manusia.
Pada masa lalu, para filosuf Yunani mengungkapkan bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk paling cerdas. Namun, kecerdasan itu harus dilatih agar bisa keluar serta dilihat orang lain. Seseorang yang cerdas akan mampu menjadi manusia seutuhnya jika menguasai ilmu (filsafat), seni, dan olahraga. Ketiga hal itu sudah ada dalam diri manusia. Di samping itu, menurut Aristoteles, manusia (yang sehat menguasai ilmu, seni, olahraga) seharusnya juga mempunyai ethos, logos, dan pathos. Artinya, ia menunjukkan kualitas dan kapasitas yang menyangkut hal: a) ethos, yaitu karakter moral yang baik dan diterima oleh siapa pun. Ia mampu melakukan pendekatan dengan berbagai cara atau perilaku hidup yang baik dan bermartabat; b) pathos, yaitu kemampuan membuka jalan untuk orang lain; mampu menyentuh perasaan dan emosi seseorang melalui teladan hidup dan kehidupan; c) Logos, yaitu kemampuan mengungkapkan kata-kata yang mampu meyakinkan orang lain sehingga mereka mendapat pengetahuan baru atau berkembang dalam hal intelektual dan kecerdasannya.
Jadi, ilmu, seni, dan olahraga harus dipadukan atau tercermin dengan (melalui) etos, pathos, dan logos. Itulah kecerdasan asali manusia. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa manusia (dan budayanya) pada masa lalu berhasil membangun peradaban yang tinggi. Sejumlah peninggalan mereka menjadi bukti dan saksi akan hal tersebut, misalnya suku Inca di Amerika, sejumlah istana megah di Mesir, Italia, dan Yunani, bahkan berbagai prasasti dan candi di Thailand dan Indonesia. Semua itu menunjukkan adanya local genius yang menguasai ilmu, seni, dan olahraga, serta memperlihatkan bahwa mereka mempunyai ethos, pathos, dan logos.
Pada perkembangan selanjutnya, berdasarkan penemuan beberapa ahli, ternyata manusia diciptakan dengan kecerdasan khas yang tidak dimiliki ciptaan lain. Kecerdasan tersebut berbeda dengan makhluk-makhluk lain karena manusia adalah Imago Dei. Penemuan baru tersebut melahirkan gagasan bahwa pada dasarnya semua manusia memiliki kecerdasan; memiliki lebih dari satu jenis kecerdasan. Semua orang memiliki tujuh jenis kecerdasan, yaitu linguistik atau mengungkapkan pikiran melalui bahasa; musikal atau keterampilan menggunakan instrumen musik; logika dan matematika, yaitu kemampuan menghitung; spasial, yaitu kemampuan menciptakan gambaran yang indah tentang banyak hal; gerak tubuh; personal; interpersonal.
Akan tetapi, jika penemuan baru ini dihubungkan dengan sejumlah narasi kuno dalam Alkitab, khususnya Kitab Kejadian pasal 1--11, sesungguhnya ini bukanlah hal baru. Sesungguhnya, Alkitab sejak awal sudah mengungkapkan bahwa manusia mempunyai semua kecerdasan tersebut. Misalnya kecerdasan linguistik; tidak ada yang mengajarkan bahasa kepada manusia kuno, tetapi mereka sudah atau telah berbahasa; kecerdasan musikal; tidak ada yang mengajarkan kepada Yubal, tetapi ia menemukan instrument musik atau seni; manusia memakai kecerdasan logika, matematis, spasial, dan teknologi untuk membangun kota dan menara, bahkan perahu besar untuk menyelamatkan diri dari bencana air bah; dan dengan kecerdasan bahasa tubuh, personal, serta interpersonal, mereka mampu membangun hubungan satu sama lain di dalam maupun di luar Taman Eden.
Kitab Amsal dimulai dengan pokok bahasan yang memaparkan maksud dan tujuan penulisannya. Kitab ini membimbing pembaca untuk hidup dalam kebijaksanaan, kedisiplinan, pengetahuan, dan kebenaran. Tulisan-tulisan Amsal berfokus pada hikmat. Kata "hikmat" muncul hingga 41 kali dalam kitab ini. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kata "hikmat" untuk dicermati. Melalui kata-kata bijak yang ditulis dalam bentuk syair, peribahasa, pernyataan dan pengajaran, penulis mendesak pembacanya untuk memiliki hikmat dalam seluruh aspek kehidupannya.
Takut akan Tuhan adalah tema dari seluruh tulisan Kitab Amsal dan merupakan awal dari hidup berhikmat. "Takut" bukan berarti 'ngeri', 'seram', melainkan lebih menunjukkan sikap hormat, menjunjung tinggi, menundukkan diri pada kedaulatan Allah dan menaati perintah-perintah-Nya. Tuhan adalah Sumber hikmat. Setiap orang perlu datang kepada Sang Sumber hikmat dan memperoleh hikmat dari Dia. Setiap manusia harus mengakui bahwa segala kepandaian dan kemampuan yang ia miliki berasal dari Allah, Sang Sumber hikmat. Siapa pun yang mau datang kepada-Nya akan memperoleh hikmat untuk hidup bijaksana, bermoral
tinggi, dan selaras dengan kehendak-Nya.
Penjelasan terkait dengan manusia sebagai mahluk yang cerdas berdasarkan keterangan Alkitab sebagaimana telah dijelaskan di atas, melahirkan beberapa prinsip belajar yang bertolak dari konsep anak sebagai manusia dalam hubungannya sebagai pribadi pembelajar menurut ajaran Alkitab.
Pertama, anak merupakan makhluk berdimensi fisik (jasmani). Berdasarkan sains, manusia memiliki saraf, kelenjar, kerangka, sistem pencernaan, sistem pernapasan, sistem sirkulasi, dan sistem pembuangan. Oleh karena itu, kesehatan fisik anak sangat berpengaruh bagi aktivitas belajarnya. Dalam kegiatan belajar anak, sistem pengindraannya perlu diperhatikan sebab informasi (pelajaran) yang ia peroleh melalui penginderaan akhirnya dapat membantu pembentukan persepsinya terhadap informasi yang ia terima. Pengindraan sangat membantu dalam mengingat sesuatu yang menurut anak berkesan dan bermakna dari hal yang telah ia pelajari. Jika anak sering sakit kepala, pilek, deman dan lain-lain, hal ini dapat membuatnya tidak bergairah untuk belajar. Secara psikologi, gangguan pikiran dan perasaan kecewa karena konflik juga dapat memengaruhi proses belajar anak.
Kedua, anak sebagai hakhluk social. Sebagai makhluk sosial, anak membutuhkan sesamanya, baik yang sejenis maupun berlawanan jenis (Kej. 2:18, 24, 25). Orangtua dan anak saling melengkapi dalam kegiatan belajar sepanjang perjalanan hidup mereka. Manusia saling mengasah sebagaimana ditegaskan dalam Amsal 27:17. Setiap orangtua sangat perlu memerhatikan pergaulan anak karena hal ini akan berdampak pada kecerdasan anak. Selain itu, para orangtua juga harus sungguhsungguh mempertimbangkan suasana lingkungan yang nyaman dan kondusif dalam hubungan sosialnya. Lingkungan sosial yang nyaman dan kondusif akan menghasilkan proses belajar anak yang lebih baik. Keaktifan proses mental dalam lingkungan sosial anak harus sering dilatih sehingga menjadi suatu kebiasaan.
Dalam Alkitab Perjanjian Baru, komunitas orang percaya (gereja) sangat ditekankan dalam rangka pembelajaran (Kis. 2:42--47; Kol. 3:15--16; Ibr. 10:24, 25). Kecerdasan intelegensi dan emosional anak bertumbuh dalam iman serta interaksi komunitas yang beribadah kepada Tuhan aktif berdoa, dan saling melayani. Jadi sangat penting untuk membuat anak tinggal tetap dalam lingkungan sosial sesame orang percaya yang melayani Tuhan. Yesus mengatakan bahwa perkumpulan orang percaya merupakan wadah kehadiran-Nya (Mat. 18:19, 20). Dia datang untuk membangun jemaat-Nya di bumi (Mat. 16:18).
Ketiga, anak sebagai makhluk alam. Alam juga memengaruhi anak dalam kegiatan belajar. Kitab Amsal menegaskan agar manusia belajar kepada alam, tumbuhan dan binatang seperti semut, cicak, pelanduk, belalang, dan lain sebagainya. Yesus juga menggunakan cerita alam untuk mengajarkan Kerajaan Allah seperti penabur benih, biji sesawi, nelayan dan pukat, pembuat adonan, juga tindakan mengubah air menjadi anggur atau memberi makan lima ribu orang dengan lima roti dan dua ikan. Tuhan Yesus juga mengajar para murid di berbagai lokasi seperti di perahu, di tepi danau, di atas bukit, di rumah, di sinagoge, dan lain sebagainya. Pada malam hari, Tuhan Yesus beristirahat karena begitulah hukum alam yang harus ditaati, kita harus beristirahat. Anak-anak dapat belajar melalui interaksi langsung dengan benda-benda atau ide-ide yang ada di alam. Alam menawarkan kesempatan kepada orangtua dan guru untuk menguatkan Kembali konsep-konsep seperti warna, angka, bentuk, dan ukuran.
Keempat, anak sebagai makhluk rasional. Pikiran atau akal budi anak harus digunakan bagi kemuliaan Allah. Belajar merupakan aktivitas nalar. Pola nalar anak harus dikembangkan supaya mereka dapat memahami dengan baik dan benar. Caranya adalah dengan mendapatkan pembaruan firman Allah (Rm. 12:2). Pikiran harus dilatih untuk hal positif. Ibrani 11:1--3, 6, 8, 13 menyatakan bahwa iman adalah pengembalian rasio kepada kebenaran. Oleh sebab itu, kehidupan akademis anak harus diarahkan supaya sejalan dengan kehidupan rohani anak. Iman dan ilmu tidak boleh dipisahkan. Memisahkan kedua hal tersebut sama dengan memisahkan rasional anak dari rasional Allah. Jika hal itu terjadi, pendidik mana pun tidak akan mampu memperbaiki watak si anak.
Kelima, anak sebagai makhluk spiritual. Roh manusia aktif belajar untuk pertumbuhan imannya. Ketika roh manusia didiami, dipenuhi, dan dipimpin Roh Allah, ia semakin memahami kebenaran dan hidup sesuai kebenaran Tuhan. Roh Kudus memampukan roh manusia untuk mengerti berbagai perkara iman. Roh Kudus menumbuhkan akhlak moral (Gal. 5:22--23).
Keenam, anak sebagai makhluk yang memiliki suara hati. Anak adalah makhluk yang memiliki suara hati. Pembentukan suara hatinya sangat perlu diperhatikan dalam belajar. Kalau suara hati anak lemah, semangat dan keputusannya juga lemah. Suara hati harus disucikan oleh darah Kristus dan tunduk pada otoritas Tuhan Yesus. Suara hati harus diperkaya oleh firman Tuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H