Mohon tunggu...
Junihot Maranata
Junihot Maranata Mohon Tunggu... Dosen - Praktisi pendidikan

Berhamba pada sang anak didik

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Manusia sebagai Mahluk Cerdas dan Beberapa Prinsip Belajar Bagi Anak

21 Juni 2024   08:06 Diperbarui: 21 Juni 2024   08:09 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

TUHAN Allah menciptakan manusia sebagai Imago Dei. Dia memperlengkapi mereka dengan seluruh kebutuhan hidup dan kehidupan. Dia memberi mandat untuk menata ciptaan. Dia menempatkan manusia dalam lingkungan hidup dan kehidupan yang baik serta teratur. Manusia diciptakan dengan hak-hak asali yang disebut hak asasi manusia.

Pada masa lalu, para filosuf Yunani mengungkapkan bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk paling cerdas. Namun, kecerdasan itu harus dilatih agar bisa keluar serta dilihat orang lain. Seseorang yang cerdas akan mampu menjadi manusia seutuhnya jika menguasai ilmu (filsafat), seni, dan olahraga. Ketiga hal itu sudah ada dalam diri manusia. Di samping itu, menurut Aristoteles, manusia (yang sehat menguasai ilmu, seni, olahraga) seharusnya juga mempunyai ethos, logos, dan pathos. Artinya, ia menunjukkan kualitas dan kapasitas yang menyangkut hal: a) ethos, yaitu karakter moral yang baik dan diterima oleh siapa pun. Ia mampu melakukan pendekatan dengan berbagai cara atau perilaku hidup yang baik dan bermartabat; b) pathos, yaitu kemampuan membuka jalan untuk orang lain; mampu menyentuh perasaan dan emosi seseorang melalui teladan hidup dan kehidupan; c) Logos, yaitu kemampuan mengungkapkan kata-kata yang mampu meyakinkan orang lain sehingga mereka mendapat pengetahuan baru atau berkembang dalam hal intelektual dan kecerdasannya.

Jadi, ilmu, seni, dan olahraga harus dipadukan atau tercermin dengan (melalui) etos, pathos, dan logos. Itulah kecerdasan asali manusia. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa manusia (dan budayanya) pada masa lalu berhasil membangun peradaban yang tinggi. Sejumlah peninggalan mereka menjadi bukti dan saksi akan hal tersebut, misalnya suku Inca di Amerika, sejumlah istana megah di Mesir, Italia, dan Yunani, bahkan berbagai prasasti dan candi di Thailand dan Indonesia. Semua itu menunjukkan adanya local genius yang menguasai ilmu, seni, dan olahraga, serta memperlihatkan bahwa mereka mempunyai ethos, pathos, dan logos.

Pada perkembangan selanjutnya, berdasarkan penemuan beberapa ahli, ternyata manusia diciptakan dengan kecerdasan khas yang tidak dimiliki ciptaan lain. Kecerdasan tersebut berbeda dengan makhluk-makhluk lain karena manusia adalah Imago Dei. Penemuan baru tersebut melahirkan gagasan bahwa pada dasarnya semua manusia memiliki kecerdasan; memiliki lebih dari satu jenis kecerdasan. Semua orang memiliki tujuh jenis kecerdasan, yaitu linguistik atau mengungkapkan pikiran melalui bahasa; musikal atau keterampilan menggunakan instrumen musik; logika dan matematika, yaitu kemampuan menghitung; spasial, yaitu kemampuan menciptakan gambaran yang indah tentang banyak hal; gerak tubuh; personal; interpersonal.

Akan tetapi, jika penemuan baru ini dihubungkan dengan sejumlah narasi kuno dalam Alkitab, khususnya Kitab Kejadian pasal 1--11, sesungguhnya ini bukanlah hal baru. Sesungguhnya, Alkitab sejak awal sudah mengungkapkan bahwa manusia mempunyai semua kecerdasan tersebut. Misalnya kecerdasan linguistik; tidak ada yang mengajarkan bahasa kepada manusia kuno, tetapi mereka sudah atau telah berbahasa; kecerdasan musikal; tidak ada yang mengajarkan kepada Yubal, tetapi ia menemukan instrument musik atau seni; manusia memakai kecerdasan logika, matematis, spasial, dan teknologi untuk membangun kota dan menara, bahkan perahu besar untuk menyelamatkan diri dari bencana air bah; dan dengan kecerdasan bahasa tubuh, personal, serta interpersonal, mereka mampu membangun hubungan satu sama lain di dalam maupun di luar Taman Eden.

Kitab Amsal dimulai dengan pokok bahasan yang memaparkan maksud dan tujuan penulisannya. Kitab ini membimbing pembaca untuk hidup dalam kebijaksanaan, kedisiplinan, pengetahuan, dan kebenaran. Tulisan-tulisan Amsal berfokus pada hikmat. Kata "hikmat" muncul hingga 41 kali dalam kitab ini. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kata "hikmat" untuk dicermati. Melalui kata-kata bijak yang ditulis dalam bentuk syair, peribahasa, pernyataan dan pengajaran, penulis mendesak pembacanya untuk memiliki hikmat dalam seluruh aspek kehidupannya.

Takut akan Tuhan adalah tema dari seluruh tulisan Kitab Amsal dan merupakan awal dari hidup berhikmat. "Takut" bukan berarti 'ngeri', 'seram', melainkan lebih menunjukkan sikap hormat, menjunjung tinggi, menundukkan diri pada kedaulatan Allah dan menaati perintah-perintah-Nya. Tuhan adalah Sumber hikmat. Setiap orang perlu datang kepada Sang Sumber hikmat dan memperoleh hikmat dari Dia. Setiap manusia harus mengakui bahwa segala kepandaian dan kemampuan yang ia miliki berasal dari Allah, Sang Sumber hikmat. Siapa pun yang mau datang kepada-Nya akan memperoleh hikmat untuk hidup bijaksana, bermoral

tinggi, dan selaras dengan kehendak-Nya.

Penjelasan terkait dengan manusia sebagai mahluk yang cerdas berdasarkan keterangan Alkitab sebagaimana telah dijelaskan di atas, melahirkan beberapa prinsip belajar yang bertolak dari konsep anak sebagai manusia dalam hubungannya sebagai pribadi pembelajar menurut ajaran Alkitab.

Pertama, anak merupakan makhluk berdimensi fisik (jasmani). Berdasarkan sains, manusia memiliki saraf, kelenjar, kerangka, sistem pencernaan, sistem pernapasan, sistem sirkulasi, dan sistem pembuangan. Oleh karena itu, kesehatan fisik anak sangat berpengaruh bagi aktivitas belajarnya. Dalam kegiatan belajar anak, sistem pengindraannya perlu diperhatikan sebab informasi (pelajaran) yang ia peroleh melalui penginderaan akhirnya dapat membantu pembentukan persepsinya terhadap informasi yang ia terima. Pengindraan sangat membantu dalam mengingat sesuatu yang menurut anak berkesan dan bermakna dari hal yang telah ia pelajari. Jika anak sering sakit kepala, pilek, deman dan lain-lain, hal ini dapat membuatnya tidak bergairah untuk belajar. Secara psikologi, gangguan pikiran dan perasaan kecewa karena konflik juga dapat memengaruhi proses belajar anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun