Mohon tunggu...
Tmr Gitulooh
Tmr Gitulooh Mohon Tunggu... wiraswasta -

Saya ingin coba menulis

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Teori Filsafat Hukum Sebagai Sumber Inspiratif Terhadap Nilai Luhur Pancasila

8 Februari 2012   03:57 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:55 16653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Aliran Filsafat Abad ke 19 dan abad ke 20.
adalah 1.filsafat Abad ke 19 : a. Idealisme di Jerman : J.C.Fichte, FWI.Schelling, GWF.Hegel, Arthur Schopenhauer, b. Positivisme : August Comte, John Stuar Mill, Herbert Spencer dan c. Kemunduran Filsafat Hegel dan Timbulnya Materialisme di Jerman : Ludwig Feuerbach, Karl Marx, Soren Kierkegaard, Friedrich Nietzsche. 2. Aliran Filsafat Abad ke 20 :  a. Pramatisme : William James, John Dewey, b. Filsafat hidup : Henri Bergonm, c. Fenomenologi : Edmund Husserl, Max Scheler, d. Eksistensialisme : Martin Heidegger, Jean Paul Sartre, Karl Jaspers, Gabriel Marcel.
Dimana filsafat tersebut berkembang terus sampai mempunai cabang-cabang Ilmu Pengetahuan yang salah satunya filsafat hukum dalam hal ini adalah filsafat hukum yang terkandung didalam nilai-nilai luhur dari Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.

A.    Ilmu Hukum Indonesia
Ilmu hukum Indonesia yang dibangun dari teori hukum Indonesia dan filsafat hukum Indonesia jika ditopang dari bangunan kefilsafatan ilmu, maka memiliki landasan ontologis dualisme  (materialisme dan spiritualisme sekaligus), landasan epistimologi rasionalisme,  empirisme dan wahyu sekaligus, serta landasan aksiologi nilai moral atau etika dan bahkan nilai keagamaan yang sakral. Manusia yang hidup didalam masyarakat memerlukan perlindungan kepentingan, yang tercapai dengan terciptanya pedoman atau peraturan hidup yang menentukan bagaimana seharusnnya manusia itu betingkah laku dalam masyarakat agar tidak merugikan orang lain dan dirinya sendiri. Pedoman tersebut merupakan patokan atau ukuran berperilaku atau bersikap dalam kehidupan bersama yang kemudian disebut kaidah sosial, yang pada hakekatnya merupakan rumusan pandangan mengenai perilaku atau sikap yang seharusnnya dilakukan atau tidak, yang dianjurkan maupun yang dilarang untuk dijalankan. Dengan kaidah sosial hendak dicegah gangguan-gangguan maupun konflik kepentingan manusia, sehingga diharap manusia dapat terlindungi kepentingan- kepentingannya.  Kaidah keagamaan  ditujukan kepada kehidupan beriman manusia terhadap kewajibannya terhadap tuhan dan dirinya sendiri. Sumbernya adalah ajaran-ajaran agama yang oleh pengikutnya dianggap sebagai perintah tuhan sehingga sanksinya pun berasal dari tuhan.  Kaidah kesusilaan berhubungan dengan manusia sebagai individu yang bersangkutan dengan kehidupan pribadinya, terutama mengenai nurani individu manusia tersebut dan bukan sebagai mahluk sosial atau sebagai anggota masyarakat. Fungsinya untuk melengkapi ketidakseimbangan hidup pribadi dan mencegah kegelisahan diri sendiri dengan tujuan agar terbentuk kebaikan ahlak pribadi manusia serta menyempurnakannya agar tidak berbuat jahat. Kaidah kesopanan didasarkan pada kebiasaan kepatutan atau kepantasan yang berlaku dalam masyarakat. Ditujukan terhadap sikap lahir pelakunya yang konkrit demi penyempurnaan/ketertiban masyarakat dan bertujuan menciptakan perdamaian, tata tertib atau membuat sedap lalu lintas antar manusia yang bersifat lahiriah dengan mementingkan yang lahir atau yang formal. Sanksinya bersifat tak resmi dari masyarakat yang berupa celaan atau cemoohan.  Ketiga kaidah sosial tersebut dirasakan kurang memberikan perlindungan terhadap kepentingan manusia sehingga manusia berharap kepada kaidah hukum untuk dapat melindungi lebih lanjut kepentingan-kepentingannya. Kaidah hukum lebih ditujukan kepada sikap lahir manusia dan bukan sikap batinnya. Pada hakekatnya apa yang dibatin, yang dipikirkan manusia tidak menjadi soal asalkan secara lahiriah tidak melanggar kaidah hukum. Asal kaidah hukum dari kekuasaan luar diri manusia yang memaksakan (heteronom) dan masyarakat secara resmi diberi kuasa untuk menjatuhkan sanksi melalui alat-alat negara.2  Jika kaidah keagamaan, kesusilaan dan kesopanan hanya memberikan kewajiban-kewajiban (normatif) saja maka kaidah hukum selain membebani kewajiban-kewajiban juga memberikan hak-hak (atributif). Menurut Satjipto Raharjo (2000: 17) kaidah hukum merupakan resultan dari tegangan antara norma kesusilaan dengan norma kebiasaan. Norma kesusilaan bersifat  ideal sedangkan norma kebiasaan bersifat  empirik dan norma hukum berada diantara keduanya.
Hukum sebagai disiplin ilmu mengarahkan sasaran studinya terhadap kaidah atau norma yang menghasilkan ilmu tentang kaidah hukum (norm wissenschaft), terhadap pengertian-pengertian dalam hukum yang menghasilkan ilmu tentang pengertian hukum (begriffen wissenschaft), dan terhadap kenyataan-kenyataan dalam hukum yang menghasilkan ilmu tentang kenyataan hukum (sein wissenschaft).   Bedasarkan latar belakang masalah yang menunjukkan keterkaitan erat antara hukum dengan masyarakat beserta sistem nilainya yang berlaku dan mengingat pula hukum sebagai disiplin ilmu, maka yang menjadi permasalahn dalam tulisan ini adalah: Bagaimanakah  aspek ontologi  dari  bangunan  ilmu hukum,  terutama  dalam  konteks keindonesiaan dengan pluralisme hukumnya? bagaimanakah dengan aspek epistemologinya?  bagaimana  pula  dengan  aspek  aksiologinya,  terutama  dalam  menjawab  persoalan  euthanasia?

B.    Aspek Ontologis dari Ilmu Hukum
Disiplin ilmu hukum dalam mengarahkan sasaran studinya terhadap kaidah atau norma (norm wissenschaft), maka akan dapat dibedakan  antara kaidah dalam arti yang luas dengan asas-asas hukum dan norma (nilai) yang merupakan kaidah dalam arti yang sempit, serta  peraturan hukum kongkrit.. Kaidah dalam arti yang luas adalah rumusan pandangan masyarakat pada umumnya (bukan rumusan pandangan kelompok atau individu) tentang apa yang baik yang seharusnya diperbuat dan apa yang buruk yang seharusnya tidak diperbuat, sehingga berisi rumusan pandangan yang merupakan amar makruf nahi mungkar.
Asas-asas hukum  merupakan peraturan atau pedoman yang bersifat mendasar tentang bagaimana seharusnya orang berperilaku dan pedoman tersebut berupa pikiran dasar yang tersirat, berlaku umum, abstrak, mengenal pengecualian-pengecualian dan merupakan persangkaan (presumption) serta bersifat ideal mengingat manusia akan menemukan cita-citanya dengan asas hukum rersebut dan bersifat dinamis.  Norma atau kaidah dalam arti yang sempit adalah nilai yang dapat kita gali atau temukan dari peraturan hukum kongkrit, sedangkan peraturan hukum kongkrit sendiri  berupa pasal-pasal suatu peraturan perundang-undangan.. Sebagai contoh peraturan hukum kongkrit adalah Pasal 362 KUHP, maka asasnya adalah asas legalitas, norma atau nilai yang dapat kita gali adalah bahwa perbuatan mencuri itu merupakan perilaku yang buruk sehingga dilarang untuk dilakukan.  Sasaran studi ilmu hukum terhadap pengertian pengertian (begriffen wissenschaft) tidak diarahkan untuk mencari pengertian dari hukum itu sendiri, melainkan mencari pengertian-pengertian dari konsep-konsep yang terdapat dalam hukum baik itu konsep dasar (fundamental) maupun konsep-konsep operasional sebagai tindak lanjut dari konsep dasar. Misalnya saja tentang pengertian dari konsep peristiwa hukum, hubungan hukum, subyek hukum, manusia sebagai subyek hukum, badan hukum, hak dan kewajiban serta demikian seterusnya yang kemudian secara sistematik bangunan pengertian-pengertian tersebut akan membentuk ilmu hukum.  Sasaran studi ilmu hukum terhadap kenyataan-kenyataan yang terjadi di masyarakat (sein wissenschaft) akan melahirkan ilmu-ilmu hukum baru yang bersifat empirik yaitu sejarah hukum (terkait dengan kenyataan masyarakat di masa lampau), sosiologi hukum (terkait dengan kenyataan masyarakat di masa kini), antropologi hukum (terkait dengan nilai-nilai budaya masyarakat), psikologi hukum dan perbandingan hukum (bukan merupakan ilmu namun hanya sekedar memperbandingkan hukum yang masih berlaku dengan metodenya functional approach).  Selain kaidah sebagai sasaran studi ilmu hukum, sistem hukum dan penemuan hukum juga menjadi sasaran yang penting untuk dikaji (Hartono, 1989: 13-20). Sistem hukum adalah tatanan yang utuh yang didalamnya terdapat unsure-unsur pembentuk sistem yang masing-masing saling berinteraksi untuk mewujudkan tujuan dari sistem, serta tidak dikehendaki adanya konflik atau kontradiksi dalam diri sistem, namun jika terjadi konflik maka akan diatasi oleh dan didalam sistem hukum itu sendiri. Penemuan hukum adalah menemukan hukumnya atau peraturannya karena tidak jelas, tidak lengkap atau tidak ada. Ketidak jelasan peraturan akan digunakan metode  interpretasi atau penafsiran dengan jalan menafsirkan bagian peraturan yang tidak jelas (Loudoe; 1985: 124-125). Ketidaklengkapan atau ketiadaan peraturan hukum akan digunakan metode argumentasi baik argumentum peranalogiam maupun argumentum acontrario, serta metode konstruksi hukum (penyempitan maupun penghalusan hukum) serta metode fiksi hukum, yaitu apa yang ada dianggap tiada dan sebaliknya apa yang tiada dianggap ada (Scholten,  1992: 67).

C.     Masa Proklamasi Kemerdekaan
Proklamasi Kemerdekaan Negara RI yang dilaksanakan pada tanggal 17 Agustus 1945 telah berhasil mendobrak sistem hukum kolonial dan menggantinya dengan sistem hukum nasional. Terlepas  pro dan kontra antara kubu yang berpendapat bahwa saat ini kita telah memiliki sistem hukum nasional sendiri dan kubu yang berpendapat bahwa kita belum memiliki sistem hukum nasional sendiri karena sistem hukum yang ada  ini masih merupakan warisan atau kelanjutan dari sistem hukum kolonial, maka penulis berpendapat bahwa sistem hukum itu bersifat historisch bestimmt (dinamis terkait dengan aspek-aspek kesejarahannya dan terikat dengan dimensi waktu dan tempatnya).  Kita tidak dapat membangun sistem hukum nasional yang sama sekali baru karena sistem hukum itu bersifat given dan sistem hukum nasional yang telah ada, yang merupakan kelanjutan dari sistem hukum kolonial secara step by step akan dilakukan perbaikan-perbaikan dan perobahan-perobahan serta penyempurnaan-penyempurnaan untuk diselaraskan dan diserasika dengan Grundnorm kita, karena semenjak kemerdekaan RI kita telah mempunyai Undang-Undang Dasar Negara sendiri yaitu UUD Negara RI Tahun 1945 yang di dalamnya memuat dasar Negara RI yaitu Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum dan dalam hirarki peraturan perundang-undangan Negara RI menempati kedudukan sebagai grundnorm. Demikian pula dalam operasionalisasi peraturan perundang-undangan warisan kolonial yang masih berlaku karena ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD Negara RI Tahun 1945, terutama dalam pelaksanaannya di lembaga peradilan, hakim-hakim Indonesia telah menyesuaikan  peraturan-peraturan warisan kolonial  Belanda yang berjiwa materialistik, kapitalistik dan individualistik tersebut dengan Pancasila yang berjiwa monodualistik (asas keseimbangan).       Plularisme hukum sudah dikenal di Indonesia sejak jaman kolonial Belanda. Bahkan dilegalkan dengan pasal 131 I.S. (Indische Statsregeling) yang berisi ketentuan bahwa di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) berlaku 3 macam sistem hukum perdata yaitu: 1. Hukum perdata barat (Eropa), 2 Hukum pertdata Islam dan 3. Hukum perdata Adat. Saat ini di masa kemerdekaan plularisme hukum tersebut masih merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri dan dalam pembangunan hukum sekarang yang bercorak modern melalui peraturan perundang-undangan hukum barat, hukum adat maupun hukum Islam saling berebut pengaruh untuk mewarnai pembangunan hukum nasional tersebut dalam berbagai bidang melalui proses legislasi nasional Hukum barat yang bercorak kapitalistik dan individualistik memiliki dasar  ontologis monisme yaitu materialisme,bahwa hakekat dari kenyataan yang ada3yang beraneka ragam itu semua berasal dari materi atau benda yaitu sesuatu yang berbentuk dan menempati ruang serta kedudukan nilai benda/badan/materi adalah lebih tinggi daripada roh/sukma/jiwa/spirit. 4
Hukum Islam yang memberikan kostribusi terhadap pembangunan hukum nasional bukanlah hukum Islam yang bersifat universal5 yang meliputi peraturan yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia secara komprehensif, melainkan sebatas hukum Islam yang menyangkut aspek keperdataan tertentu saja. Itulah yang menjadi hukum yang hidup (living law) dan selebihnya seperti aturan-aturan yang menyangkut aspek peribadatan dan lain sebagainya masih belum menjadi hukum yang hidup dimasyarakat melainkan masih merupakan moral positif meskipun masyarakat telah menjalankan secara nyata dalam kehidupannya sehari-hari.
Dasar ontologis dari hukum Islam bersifat monisme yaitu idealisme atau spiritualisme, bahwa hakekat dari kenyataan yang ada yang beraneka ragam itu semua berasal dari roh/sukma/jiwa, yaitu sesuatu yang bersifat ghoib yang tidak berbentuk dan tidak menempati ruang serta kedudukan nilai roh adalah lebih tinggi daripada nilai benda/materi/badan.
Hukum adat yang memberikan kontribusi terhadap pembangunan hukum nasional adalah hukum adat yang diketahui sepanjang masih merupakan hukum yang hidup(living law) dalam masyarakat dan yang masih sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Dasar ontologis dari hukum adat adalah bersifat dualisme bahkan pluralisme, apalagi  dengan mengingat sifat hukum adat itu yang magis religius. Hakikat dari kenyataan yang ada sumber asalinya berupa baik materi maupun rohani yang masing-masing bersifat bebas dan mandiri dan bahkan segala macam bentuk merupakan kenyataan. Hal tersebut berkaitan erat dengan banyaknya wilayah atau daerah hukum adat (Rechtskringen) di Indonesia dan bahkan menurut catatan Van Vollen Hoven terdapat 19 daerah hukum adat (Mertokusumo,  1999: 126), sehingga keberadaan hukum adat sendiri di Indonesia sudah bersifat pluralistik.

D.    Aspek Epistemologis dari Ilmu Hukum
Epistemologi adalah yang terkait dengan cara ilmu memperoleh dan menyusun tubuh pengetahuan6 (Masruri dan Rosidy dalam Fadjar, 2007: 4) (Suriasumantri, 1990: 106). Ia membahas tentang sumber, sarana dan tatacara menggunakan sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan ilmiah, serta tolok ukur bagai sebuah kebenaran dan kenyataan ilmiah. Sarana ilmiah dalam epistemologi adalah akal atau akal budi, pengalaman atau kombinasi diantaranya, serta intuisi.   Dalam konteks keindonesiaan dengan plularisme hukumnya, aliran epistemologi yang dianut oleh hukum barat yang positivistik dan menitik beratkan pada peraturan perundang-undangan menurut hemat penulis adalah idealisme atau rasionalisme dengan menekankan peranan akal sebagai sumber pengetahuan. Aliran epistimologi yang dianut oleh hukum adat yang bersifat riil, terang atau jelas dan kontan, serta menitik beratkan pada kebiasaan atau perilaku masyarakat (die normatieve kraft des factischen demikian kata Jellineck), menurut hemat penulis adalah realisme atau empirisme dengan menekankan peranan indra dan pengalaman empirik (realitas) sebagai sumber pengetahuan. Adapun aliran epistemologi dari hukum Islam menurut hemat penulis tidak dapat dikatakan idealisme atau rasionalisme yang menekankan pada peranan akal. Demikian pula tidak dapat dikatakan realisme atau empirisme yang menekankan pada peranan indra dan pengalaman empirik (realitas), sebab Hukum Islam yang berasal dari Ajaran Agama Islam bersumberkan kepada wahyu sebagai sumber pengetahuan, baik yang didasarkan kepada kitab suci Al-Qur’an  yang berkedudukan sebagai wahyu primer maupun Al-hadist yang berkedudukan sebagai wahyu sekunder. Keduanya dalam agama Islam dikenal sebagai sumber hukum atau dalil Naqli.       Disamping itu hukum Islam juga mengakui peranan akal (al-ra’yu) sebagai sumber pengetahuan dan sekaligus sebagai sumber hukum yang dalam agama Islam disebut sebagai sumber hukum atau dalil Aqli, tetapi kedudukanya tergantung dari sumber hukum atau dalil aqli, yakni untuk menjelaskan sumber hukum Naqli tersebut apabila tidak ditemukan kejelasannya. Dengan catatan sumber hukum Aqli tersebut yang berupa ijma’ (kesepakatan para ulama) dan qias (analogi) tidak boleh menyimpang dari ketentuan  sumber hukum Naqli. Dan apabila dikaitkan dengan penggunaan indra atau pengalaman empirik (realitas) sebagai sumber pengetahuan dalam hukum Islam, maka menurut hemat penulis hal itu pun dijumpai seperti pada asas hukum (kaidah ushul fiqih) al-aadatu al- muhakkamah (kebiasaan atau adat yang melembaga). Ilmu pengetahuan yang diperoleh manusia melalui sarana akal atau akal budi, indra atau pengalaman empirik (realitas) dan lain sebagainya, telah menghasilkan beberapa metode ilmu pengetahuan yaitu metode induksi, deduksi, positivisme, kontemplatif dan dialektika. Hukum sebagai ilmu pengetahuan dalam menyusun obyek atau bahan ilmunya ke dalam struktur ilmu hukum yang konstruktif dan sistematis, juga menggunakan metode-metode tersebut. Metode Induksi adalah metode berpikir dari yang khusus kepada yang umum, sedangkan metode deduksi bersifat sebaliknya, yaitu metode berpikir dari yang umum kepada yang khusus. Metode positivisme yang dipelopori oleh August Comte berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual dan positif serta menolak diluar yang positif termasuk metafisika. Sedangkan metode kontemplatif mengakui metode lain berupa intuisi dan perenungan mengingat keterbatasan indra dan akal. Apabila ditarik ke dalam dunia peradilan yang dikuasai oleh postulat keadilannya Aristoteles, bahwa peristiwa yang sama diperlakukan sama (analogi) dan peristiwa yang tidak sama tidak diperlakukan sama (a contrario), maka ada dua sistem untuk merealisir pokok pikiran tersebut yaitu sistem Anglo-Amerika dan Sistem Eropa Kontinental. Sistem Anglo-Amerika mengikat hakim pada precedent (The binding force of Precedent). Hakim Amerika akan berfikir secara induktif, yaitu berfikir dari yang khusus kepada yang umum/ilmu pasti. Penemukan peraturan yang dijadikan dasar putusannya dari deretan putusan-putusan sebelumnya (reasoning by analogy, reasoning from case to case). Sedangkan Sistem Eropa Kontinental bertujuan mewujudkan postulat kesamaan dengan mengikat hakim pada undang-undang, yaitu peraturan yang sifatnya umum yang menentukan agar sekelompok peristiwa tertentu yang sama diputus sama. Dalam hal ini hakim terikat pada jalan pikiran deduktif, yaitu berpikir dari yang umum kepada yang khusus. Ia harus mengkonkritisasi peraturan dan harus mengabstraksi peristiwa. Subsumpsie dan sillogisme atau dialektika merupakan ciri khas dari cara berfikir deduksi. Dalam sillogisme atau dialektika bunyi pasal undang-undang adalah premis mayor atau thesenya, fakta atau peristiwa atau kasus konkritnya adalah premis minor atau antithesenya dan bunyi putusan hakim adalah konklusi atau sinthesenya.  Dengan demikian sillogisme atau dialektika hanyalah memberi bentuk untuk membenarkan putusan, sedangkan untuk menemukan putusannya diperlukan analogi dan acontrario.7Dalam bagan siklus ilmu pengetahuan sebagaimana digambarkan oleh L. Wallace di dalam bukunya The Logic of Science in Sociology8, dikatakan bahwa ilmu pengetahuan selalu berkembang  karena dibantu oleh riset  yang dilakukan secara terus menerus. Riset atau penelitian tersebut memiliki dua ciri khas yaitu penggunaan logika dan pengamatan empirik. Penggunaan logika meliputi baik logika deduksi maupun induksi. Logika deduksi digunakan manakala hendak menyusun hipotesis, logika induksi digunakan manakala hendak melakukan genaralisasi empirik dengan melakukan abstraksi, sedangkan pengamatan empirik digunakan manakala hendak melakukan uji hipotesis dengan melakukan observasi di lapangan.

E.     Pancasila Sebagai Sistim Filsafat
Pancasila sebagai paham filsafat dalam kehidupannya manusia selalu menghadapi persoalan-persoalan pokok manusia yang meliputi : hubungan manusia dengan dirinya sendiri, orang lain atau sesama, alam sekitar, serta dengan Tuhan Sang penciptanya.
Sedangkan Pancasila sebagai Sistim Nilai yang pada hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek dan macam-macam nilai tersebut menurut Walter G. Everet adalah nilai-nilai manusiawi menjadi 8 kelompok, yaitu :


  1. Nilai ekonomis (ditunjukkan oleh harga pasar dan meliputi semua benda yang dapat dibeli).
  2. Nilai kejasmanian (mengacu pada kesehatan, efisiensi dan keindahan badan).
  3. Nilai hiburan ( nilai-nilai permainan dan waktu senggang yang dapat menyumbang pada pengayaan  kehidupan).
  4. Nilai sosial ( berasal mula dari berbagai bentuk perserikatan manusia).
  5. Nilai watak ( keseluruhan dari keutuhan kepribadian dan sosial yang diinginkan).
  6. Nilai estetis ( nilai keindahan dalam alam dan dan karya seni).
  7. Nilai intelektual ( nilai-nilai pengetahuan dan pengejaran kebenaran).
  8. Nilai keagamaan (nilai-nilai yang ada dalam agama).


Sedangkan menurut notonagoro nilai tersebut dibagi menjadi 3, yaitu: 1. Nilai material, yaitu segala sesuatu yang yang berguna bagi unsur jasmani manusia, 2. Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas dan 3.Nilai kerohanian, yaitu segala seuatu yang berguna bagi rohani manusia.

Menurut dasar kaedah nilai-nilai pancasila bersifat objektif dapat dijelaskan sebagai berikut:


  1. 1. Rumusan dari sila-sila pancasila itu sebenarnya hakikat maknanya yang terdalam menunjukkan adanya sifat-sifat yang umum universal dan abstrak,karena pada hakikatnya pancasila adalah nilai.
  2. 2. Inti nilai pancasila berlaku tidak terikat oleh ruang.
  3. 3. Pancasila yang terkandung dalam pembukaan UUD’45, menurut ilmu hukum memenuhi syarat sebagi pokok kaidah negara yang fundamental, sehingga merupakan suatu sumber hukum positif di Indonesia.
  4. Pandangan berdasarkan Darmoduharjo nilai pancasila yang bersifat subjektif adalah 1. Nilai-nilai pancasila timbul dari bangsa indonesia sendiri, sehingga bangsa indonesia sebagai kuasa materialis, 2. Nilai pancasila merupakan filsafat bangsa Indonesia dan 3.Nilai pancasila merupakan nilai-nilai yang sesuai dengan hati nurani bangsa Indonesia.


Dimana bentuk dan susunan pancasila tersebut adalah 1. Pancasila sebagai suatu sistem nilai yang mempunyai ciri-ciri yaitu merupakan sebagai kesatuan yang utuh dari setiap unsur pembentuk pancasila merupakan unsur mutlak yang membentuk kesatuan, bukan unsur komplementer dan sebagai  satu kesatuan yang mutlak, tidak dapat ditambah atau dikurangi, dan 2. Susunan pancasila adlah susunan sila-sila pancasila merupakan kesatuan yang organis, satu sama lain membentuk suatu sistem yang disebut dengan istilah majemuk tunggal. Majemuk tunggal artinya pancasila terdiri dari 5 sila tetapi merupakan satu kesatuan yang berdiri sendiri secara utuh.

Pancasila Sebagai Ideologi Negara
Pancasila adalah sebagai ideologi terbuka dan dalam ideologi terbuka terdapat cita-cita dan nilai-nilai yang mendasar, bersifat tetap dan tidak berubah. Pancasila dikatakan memiliki dimensi terbuka memiliki dimensi identitas karena memiliki nilai-nilai yang dianggap baik, benar oleh masyarakat Indonesia.
Perbandingan antara ideologi liberalisme, komunisme, dan pancasila
Liberalisme ciri-cirinya adalah: memiliki kecenderungan untuk mendukung perubahan, mempunyai kepercayaan terhadap nalar manusiawi, bersedia menggunakan pemerintah untuk meningkatkan kondisi manusiawi,  mendukung kebebasan individu, bersikap embivalen terhadap sifat manusia.
Liberalisme yang menyuarakan kebebasan hak-hak manusia yang hampir tanpa batas ini berbeda dengan UUD’45 . dalam UUD’45 juga menyuarakan hak azasi manusia tetapi juga mencantumkan kewajiban- kewajiban warga negara.

Makna Sila-Sila Pancasila
Arti dan makna sila ketuhanan yang maha esa adalah mengandung arti pengakuan adanya kuasa prima yaitu Tuhan Yang Maha Esa untuk menjamin penduduk agar memeluk agama dan beribadat menurut kepercayaannya masing-masing, tidak memaksa warga negara untuk beragama serta menjamin berkembang dan tumbuh suburnya kehidupan beragama yang berorientasi pada alam kehidupan beragama dan Negara memberi fasilitator bagi tumbuh kembangnya agama dan iman warganya. Arti dan makna sila kemanusian yang adil dan beradab menempatkan manusia sesuai dengan hakikatnya sebagai makhluk Tuhan, menjunjung tinggi kemerdekaan sebagai hak segala bangsa serta mewujudkan keadilan dan peradaban yang tidak lemah
Arti dan makna sila persatuan indonesia.
Pokok-pokok pikiran yang perlu dipahami antara lain : Nasionalisme, cinta bangsa dan tanah air, menggalang persatuan dan kesatuan bangsa, menghilangkan penonjolan kekuatan atau kekuasaan maupun warna kulit dan keturunan, menumbuhkan rasa senasib sepenanggungan. Sedangkan arti dan makna sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan pada hakikatnya sila ini adalah demokrasi. Permusyawaratan artinya mengusahakan putusan bersama secara bulat, baru sesudah itu diadakan tindakan bersama.Dalam melaksanakan keputusan dibutuhkan kejujuran bersama arti dan makna sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat dalam arti dinamis dan meningkat seluruh kekayaan alam dan sebagainya dipergunakan bagi kebahagian bersama menurut potensi masing-masing dengan melindungi yang lemah agar kelompok warga masyarakat dapat bekerja sesuai dengan bidangnya. Tiga macam keadilan legalis, yaitu keadilan yang arahnya dari diri pribadi ke seluruh masyarakat, keadilan distributuf, yaitu keseluruhan masyarakat wajib memperlakukan manusia pribadi sebagai manusia yang sama martabatnya dan keadilan komutatif, yaitu memperlakukan warga lain sebagi pribadi yang sama martabatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun