Pagi ini aku menghampirinya dikelas. Mereka sedang belajar sejarah, aku rasa. Dan akhirnya aku berdiri di depan pintu kelas yang tertutup. Beruntung sekolah kami punya pintu kelas yang sedikit berbeda dari biasanya. Ada bagian kaca yang membuatku masih dapat melihat aktivitas didalamnya.
Andrew, sahabatku itu tampak sedang mencatat pelajaran yang sedang didengarkannya di kelas. Walau tidak mengajarku, tapi aku tahu siapa guru yang sedang mengajar itu. Ibu Laura, seorang guru muda yang menjadi salah satu yang favorit ditingkat kelas kami.Â
Kami sudah lama berteman. Sejak kami duduk di kelas yang sama di grade dua saat itu dan sekarang kami berada di grade sebelas. Dan masih saja kami bertemu di sekolah yang sama.Â
Entah karena orangtua kami juga bersahabat. Jadilah kami terus-menerus berstatus teman satu sekolah walaupun sekarang tidak lagi satu kelas. Itu yang membuatku kehilangan banyak waktu bersama dengan Andrew. Dan semua dimulai dari sini.
Terutama suasana berubah saat satu sekolah tahu rahasia pentingku selama ini. Rahasia yang aku jaga bahkan kepada orangtua ku juga. Tapi semua berubah saat seorang teman usil membagi itu di sosial medianya dan kemudian menjadi booming satu sekolah lalu membuat orangtuaku tertekan juga karenanya. Orang itu yang kuduga si pembuat onar dikelasku dan Andrew tahu siapa orangnya.
Aku malu menceritakan rahasia apa itu. Yang pasti adalah sebuah rahasia yang belum saatnya atau bahkan tidak untuk selamanya diketahui orang-orang bahkan keluargaku sendiri.
Andrew adalah sahabat terbaikku dan tahu rahasia itu. Saat pertama kali memantapkan diri untuk coming out ke dia, itu rasanya dunia seperti akan berakhir seketika.Â
Aku sudah gugup lebih dulu sebelum aku berkata apapun,
"Tidak apa-apa. cerita saja. Apapun itu, percayalah aku akan terus jadi sahabatmu." ungkapnya saat sebelum aku bisa mengatakan apapun.
Kemudian barulah aku memulai awal ceritaku padanya. Dan itu menjadi sangat berat karena dia lah orang yang pertama kali aku percayakan sebuah rahasia besarku untuk aku ceritakan.
Aku amat sangat yakin padanya. Yakin bila rahasia ini akan terjaga selamanya, mungkin hanya untuk kita berdua saja.
"Hmm, aku bingung harus merespon bagaimana. Tapi I love you, brother no matter who you are." begitu dukungannya padaku.
Sangat ringan sekali rasanya tubuh ini. Mungkin bisa digambarkan seperti saat aku memikul ribuan beban dipundakku dan kini aku taruh itu perlahan ke tanah, sangat lega sekali. Terlebih seperti yang aku perkirakan, Andrew menerima ku apa adanya. Dia sahabat yang luar biasa.
Tak lama bel tanda istirahat itu berdering. Kemudian teman-teman sekelas Andrew mulai berbondong-bondong keluar kelas dan menuju kantin. Saat itu aku mengamatinya seolah sedang melihat ke arahku. Tetapi aku salah duga, Andrew tidak sedang melihatku lantas dia berlalu menuju kantin pula.
Sebuah rahasia besarku ini sangat membuatku drop. Aku menjadi stres yang luar biasa. Entah dari mana si orang usil itu mendapatkan capture chat rahasia ku. Yang pasti semua sudah berubah dan tersebar seantero sekolah.
Belum sempat aku ceritakan bebanku karena dibully satu sekolah ini pada Andrew, maka dari itu aku berusaha datang untuk menceritakan. Di dalam kamar mandi di kamar tidurku, aku terlampau jauh berduka hingga aku sudah melakukan hal yang sangat dimurkai orang banyak.
Andrew sangat suka olahraga. Dia juga bukan hanya sebagai penyuka, namun dia ahli dalam banyak bidang olahraga. Dia pandai bermain futsal, badminton dan basket. Dan terakhir pada kejuaraan nasional basket antar high school, dia menjadi pemain terbaik dan membanggakan sekolah.
"Selamat, bro. kau memang pantas mendapatkan itu."Â
"itu juga berkat doa dan dukungan mu, bro." balasnya.
Dan seperti saat-saat biasanya. setiap jam istirahat, dia selalu menyempatkan untuk bermain basket ringan sekedar melepas penatnya usai pelajaran. Semua orang tahu itu, hampir satu sekolah bahkan tahu kebiasaan itu. Mungkin hanya untuk satu atau dua menit itu menjadi cukup baginya untuk melampiaskan beban negatif dan rasa bosan didalam kelas tadi.
Aku berjalan dibelakangnya dan mengikutinya ke arah gym sekolah. Dia masih tidak menyadari keberadaanku saat itu.Â
Lapangan tidak begitu ramai juga tidak begitu sepi. Cukup untuknya membentuk ruang bergerak bersama bola basket. Dan aku mencari spot yang tepat untuk bisa mengawasinya lalu mencari celah untuk bisa sempat ngobrol dengannya.
Persis dugaanku, hanya berselang dua menit lantas Andrew berjalan menuju kantin.
"Andrew! andrew!" teriakku padanya.
Dia sama sekali tidak mendengarku. Aku juga heran kepada semua orang yang ada di sekitar ini, mereka sama sekali tidak membantuku untuk membuat Andrew berhenti sesaat atas panggilanku. Aku menyerah. Sebaiknya aku pulang dulu saja dan bertemu dengannya ketika dia sudah pulang sekolah.
Aku tak berseragam, jadi aku pikir ada alasan khusus kenapa aku tidak dipaksa sekolah oleh orangtuaku. Biasanya semalas apapun aku, mereka akan memaksaku untuk keluar kamar dan pergi ke sekolah.
Sepanjang jalan menuju rumah, aku jadi teringat saat-saat aku pergi liburan bersama Andrew. Yang paling berkesan adalah ketika tahun lalu kita pergi ke bandung dengan mobil yang kita kendarai sendiri. Saat itu dengan ide gilanya, kami pergi tanpa banyak persiapan. Dan sedikit jadi anak nakal, kami pergi tanpa ijin orangtua dan mencari alasan yang kami buat untuk berbohong ke mama-papa kami masing-masing.
Secara bergantian kami menyetir mobil yang kami bawa. Sepanjang perjalanan kita tidak henti-hentinya bercanda dan melempar lelucon satu sama lain. Entah karena kami punya selera humor yang sama, jadi waktu terasa sama sekali tidak membosankan untuk sekedar bolak-balik Lampung dan jakarta.
"Kau nyetir kayak abang-abang travel tahu nggak? ha ha." ejekku pada Andrew saat itu.
"Ah kayak kau bagus aja. gaya kau malah kayak supir bis kota. ha ha." begitu gurauan kami yang sama sekali tidak merasa sedikitpun tersinggung. Â
Lalu sampailah aku di depan rumahku.
Entah kenapa aku merasa ini sangat berbeda. suasana di depan rumahku berbeda sekali dari biasanya. Banyak bunga-bunga yang dirangkai. Kemudian ada banyak tamu dan kursi-kursi kosong yang aku pikir sengaja disiapkan untuk tamu yang lebih banyak lagi.
Aku kemudian berjalan masuk kedalam rumah untuk mencari tahu kira-kira apa yang sedang terjadi di rumah keluargaku ini.
Dari arah belakang, aku tahu itu mama yang sedang berdiri. Dia berdiri sambil melihat satu foto, entah foto siapa itu. Dan aku mencoba mendekatinya. Sampai akhirnya aku tahu itu fotoku yang sedang dipegang dan diperhatikan sangat dalam oleh mamaku. Lalu kulihat air matanya tumpah tak tertahan lagi.
"Ma, kenapa?" tanyaku.
Mama terus saja menangis tak berhenti. Meskipun aku berusaha untuk membuatnya berhenti menangis, tapi sepertinya aku gagal melakukan itu.Â
Lalu papa tampak hadir mendekati mama, mendaratkan tangannya dipundak mama dan mengusap-usapnya.
"Sabar, sayang." itu yang aku dengar dari papa.
Ada apa sebenarnya ini? Kenapa denganku? dan kenapa mama tidak meresponiku?
Aku bertambah bingung. mungkin mama tidak bisa mendengarku, mungkin papa akan bisa.
"Pa, kenapa?" tanyakuÂ
Dan aku pun gagal untuk itu. Dia sama sekali juga tidak mendengarkanku. Sepertinya tidak ada yang salah dengan mereka tapi aku.
Hingga semua orang lalu-lalang mempersiapkan semuanya, juga orangtuaku. Aku lihat jam sudah menunjukkan siang hari. Ini waktu yang tepat untuk menemui Andrew karena sudah pulang dari sekolah.
Aku segera bergegas meninggalkan rumah. Aku berlari menuju rumah Andrew. Aku sudah tidak sabar untuk cerita banyak hal padanya.
Akhirnya aku sampai tepat didepan rumahnya. Dan persis waktu itu Andrew juga baru saja tiba dirumah.
Didepan pintu rumah, ada mama Andrew yang sudah siap lebih dulu menyambutnya. Dan seketika Andrew memeluk mamanya dan mereka pun menangis.
"Sabar ya, nak." ucap mama Andrew seraya menangis.
Aku semakin bertambah bingung. Dan aku tidak tahu harus bertanya kepada siapa dan kemana harus aku cari tahu. Entah itu dirumahku bahkan juga dirumah Andrew, semua orang tampak aneh hari ini. Yang kudengar hanya kata 'sabar' atau 'turut berduka'. Mungkin ada kaitannya dengan itu.
Aku putuskan untuk berjalan kembali kerumah. Semakin dekat sampai akhirnya aku pun tiba kembali kerumah.
Dan pemandangan berbeda baru aku temui selepas meninggalkan Andrew yang menangis bersama mamanya. Bukan hanya banyak bunga yang ditata rapi, tapi kini aku melihatnya pada papan besar dan dituliskan dengan beberapa ucapan. dan aku sadari semua itu ucapan belasungkawa.
Aku terkejut sekaligus menyadari apa yang terjadi. Namaku dituliskan besar dipapan karangan bunga didepan rumah kami. Aku pun tak kuasa meneteskan air mataku. Kemudian barulah aku teringat saat terakhir aku sebelum semuanya ini menjadi seperti ini.
Aku berada dikamar mandi. Menjelang berangkat sekolah. Persis sebelum mamaku akan berteriak didepan pintu kamar mandi dan mengingatkanku untuk bergegas atau aku akan telat. Itu saat terakhir aku memegang silet ditangan kiriku.Â
Pintu yang aku kunci dan derai air mata yang membanjiri pipiku saat itu. Seperti aku tahan sendiri, namun aku tak kuat menahan bully. Aku pun menjadi gelap mata. Aku kehabisan akal sehat. Hingga semuanya menjadi benar-benar gelap. Dan gelap sampai semuanya benar-benar gelap. Aku berjalan didalam gelap.
Kini apa bisa aku lakukan kecuali menyesal. Berkata 'good bye' pun aku tak bisa untuk orang-orang yang aku sayangi, terutama sahabat karibku-Andrew. Hanya mungkin berpesan dari ruang gelap ini padanya. Good bye sahabat. (/tm)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H