Persis dugaanku, hanya berselang dua menit lantas Andrew berjalan menuju kantin.
"Andrew! andrew!" teriakku padanya.
Dia sama sekali tidak mendengarku. Aku juga heran kepada semua orang yang ada di sekitar ini, mereka sama sekali tidak membantuku untuk membuat Andrew berhenti sesaat atas panggilanku. Aku menyerah. Sebaiknya aku pulang dulu saja dan bertemu dengannya ketika dia sudah pulang sekolah.
Aku tak berseragam, jadi aku pikir ada alasan khusus kenapa aku tidak dipaksa sekolah oleh orangtuaku. Biasanya semalas apapun aku, mereka akan memaksaku untuk keluar kamar dan pergi ke sekolah.
Sepanjang jalan menuju rumah, aku jadi teringat saat-saat aku pergi liburan bersama Andrew. Yang paling berkesan adalah ketika tahun lalu kita pergi ke bandung dengan mobil yang kita kendarai sendiri. Saat itu dengan ide gilanya, kami pergi tanpa banyak persiapan. Dan sedikit jadi anak nakal, kami pergi tanpa ijin orangtua dan mencari alasan yang kami buat untuk berbohong ke mama-papa kami masing-masing.
Secara bergantian kami menyetir mobil yang kami bawa. Sepanjang perjalanan kita tidak henti-hentinya bercanda dan melempar lelucon satu sama lain. Entah karena kami punya selera humor yang sama, jadi waktu terasa sama sekali tidak membosankan untuk sekedar bolak-balik Lampung dan jakarta.
"Kau nyetir kayak abang-abang travel tahu nggak? ha ha." ejekku pada Andrew saat itu.
"Ah kayak kau bagus aja. gaya kau malah kayak supir bis kota. ha ha." begitu gurauan kami yang sama sekali tidak merasa sedikitpun tersinggung. Â
Lalu sampailah aku di depan rumahku.
Entah kenapa aku merasa ini sangat berbeda. suasana di depan rumahku berbeda sekali dari biasanya. Banyak bunga-bunga yang dirangkai. Kemudian ada banyak tamu dan kursi-kursi kosong yang aku pikir sengaja disiapkan untuk tamu yang lebih banyak lagi.
Aku kemudian berjalan masuk kedalam rumah untuk mencari tahu kira-kira apa yang sedang terjadi di rumah keluargaku ini.