Sebuah reflksi menjelang Konggres Tamansiswa dan Pembredelan LPM Pendapa Tamansiswa
Menjelang konggres Tamansiswa XXI pada bulan Desember 2016 mendatang terbetik kabar yang tidak mengenakan dari Yogyakarta. Lembaga Pers mahasiswa (LPM) Pendapa dibekukan alias dibredel oleh Rektorat Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, seperti diberitakan oleh Tempo.co dan siaran pers pengurus LPM Pendapa, bahwa pebredelan tersebut berkaitan dengan tidak ditandatanganinya surat pakta integritas oleh pengurus LPM Pendapa, yang isinya bahwa majalah Pendapa diminta hanya akan memberitakan hal-hal yang baik-baik saja seputar kampus, dan adanya keharusan konsultasi kepada wakil rektor III terkait pemberitaan majalah dan produk pers LPM Pendapa. Hal tersebut tentu saja oleh pengurus dianggap intervensi redaksi yang berlebihan oleh pihak universitas, dan ini menyangkut independensi pers, mengingat LPM Pendapa selama ini menjadi penyeimbang terhadap kebijakan kampus yang terkait kepentingan mahasiswa.
Pembredelan tersebut tentu saja cukup mengguncang sendi-sendi ideologi pendidikan Tamansiswa, mengingat Tamansiswa adalah badan perjuangan pendidikan yang begitu mengedepankan kemerdekaan berpikir, kalau dalam istilah Tamansiswa adalah jiwa merdeka, artinya terbebas dari segala ikatan yang membelenggu dan menjadi dasar pengembangan pribadi yang kuat dan sadar dalam suasana keseimbangan dan keselarasan dalam hidup bermasyarakat. Bahkan kalau mau ditelaah lebih jauh, kemerdekaanlah yang menjadi dasar sistem among dalam pendidikan di Tamansiswa, dimana sistem among artinya penghambaan kepada sang anak, demi memunculkan potensi setiap anak sebagai individu yang unik dan menjadi pribadi yang kuat yang berakar pada budayanya sendiri (Tut Wuri Handayani).
Memang luar biasa pemikiran Ki Hadjar Dewantara (KHD) dalam hal pengembangan pendidikan, maka tak heran jika menurut Anies Baswedan ketika masih jadi menteri pendidikan, buku karangan Ki Hadjar Dewantara menjadi rujukan peyelenggara pendidikan di Finlandia. Dan tentu saja, kalau menoleh ke belakang lagi, tentu Bangsa Indonesia tak bisa melupakan kiprah KHD dalam perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia, bersama Douwes Dekker dan Dr. Tjptomangunkusumo sebagai tiga serangkai menjadi penggerak yang cukup berpengaruh dalam sejarah perjuangan pergerakan Indonesia.
KHD bergerak memilih jalur pers, dan yang paling menonjol adalah tulisan KHD di surat kabar De Express yang berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya aku orang Belanda), dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Terutama tulisan yang pertama, KHD menohok Bangsa Belanda yang mengajak bangsa Indonesia yang dijajahnya untuk merayakan hari kemerdekaan Belanda, tentu saja tulisan tersebut membuat Pemerintah Belanda kebakaran jenggot.
Tulisan tersebut dianggap menghasut rakyat untuk memusuhi pemerintah kolonial, alhasil KHD harus ditangkap dan dibuang ke pengasingan di pulau Bangka. Dan, untuk pertama kali undang-undang pers ( Pers delict) dikenakan pada KHD terkait tulisan-tulisannya yang begitu keras terhadap pemerintah kolonial. Pers telah menjadi media perang bagi KHD dalam memperjuangkan hak-hak bangsanya untuk merdeka.
Maka, sungguh memprihatinkan kalau tidak boleh dibilang naif jika didalam lingkungan Tamansiswa sendiri terjadi adanya pembungkaman kebebasan pers. Pembredelan atas LPM Pendapa jelas mengingkari nilai-nilai jiwa kemerdekaan yang menjadi landasan perjuangan pergerakan KHD. Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Pendapa merupakan unit kegiatan mahasiswa yang bergerak dibidang penerbitan baik majalah, bulletin dan produk pers lainnya yang berada di lingkungan Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) Yogyakarta. LPM Pendapa berusaha mewujudkan jiwa merdeka KHD dan perjuangannya lewat pers dengan selalu mengusung isu-isu nasional maupun internal kampus UST dan menelaahnya secara kritis dalam setiap terbitannya.
Untuk isu-isu internal kampus yang berkaitan dengan kepentingan mahasiswa, LPM Pendapa berusaha menjadi penyeimbang kebijakan kampus dalam hal ini rektorat yang kadang kurang mengakomodasi kepentingan mahasiswa. Penulis sangat memahami pergerakan LPM Pendapa karena pernah bergelut didalamnya. Dan, melakukan pebredelan terhadap LPM Pendapa berarti mencabut marwah perjuangan Tamansiswa, mencabut ruh perjuangan perjuangan KHD. Yang berarti “membunuh” perjuangan KHD.
Ada berapa kemungkinan berkaitan dengan pembungkaman pers di lingkungan perguruan Tamansiswa, diantaranya adalah; pertama, bahwa pamong ( di Tamansiswa guru atau dosen disebut dengan pamong) kurang memahami ajaran dan nilai-nilai Tamansiswa, sehingga tidak bisa menempatkan dirinya sebagai pamong (Pamomong/pengasuh) dan yang terjadi adalah pembredelan disertai ancaman dan intimidasi kepada mahasiswa pegiat LPM Pendapa ketika ada pemberitaan yang dianggap tidak sejalan dengan kebijakannya, tentu saja karakter pendidik seperti ini bukan karakter yang dimaksud KHD, kedua adalah terjadinya pergeseran cara pandang posisi lembaga pendidikan di Tamansiswa oleh para pengurusnya. Lembaga pendidikan di Tamansiswa dipandang tak ubahnya lembaga bisnis yang berorientasi keuntungan karena banyaknya peserta didik (mahasiswa) yang masuk, sehingga pemberitaan yang bersifat kritik dan berlawanan dengan kebijakan dianggap ancaman yang akan memperburuk citra lembaga di masyarakat. Maka segala sesuatu yang menganggu stabilitas lembaga harus dihilangkan (dibredel/dibekukan).
Hal ini tentu sangat bertolak belakang dengan cita-cita KHD ketika mendirikan perguruan Tamansiswa sebagai perguruan yang bernafaskan kemerdekaan. Anggaplah bisnis di dunia pendidikan adalah satu yang tak bisa dinafikan, namun hendak lah ada elaborasi yang cantik antara orientasi ideologi dan bisnis sehingga saling menopang bukan malah saling meniadakan (KHD menyebutnya SBII untuk tetap bisa bertahan namun tidak ikut berubah karena arus jaman) . Dan inilah yang mungkin belum dimiliki pengurus perguruan Tamansiswa.
Sangat disayangkan memang, mengingat bulan Desember 2016 mendatang, Tamansiswa akan menyelenggarakan perhelatan nasional yaitu konggres nasional Tamansiswa XXI yang rencananya akan dibuka oleh Presiden Joko Widodo. Sebuah preseden buruk tentang pembungkaman kemerdekaan pers harus terjadi di lingkungan TAmansiswa, lingkungan pendidikan yang konon menjunjung tinggi jiwa merdeka sebagai landasan dalam membangun karakter yang kuat berakarkan budaya. Kejadian tersebut tentu saja harus menjadi perhatian serius bagi seluruh stake holder Tamansiswa di konggres Desember 2016 nanti.
Di Konggres nanti, sudah saatnya seluruh stake holder Tamansiswa melakukan introspeksi, bahwa ada yang salah pada system rekrutmen pengurus di lingkungan Tamansiswa. Bahwa Tamansiswa adalah lembaga perguruan yang memiliki ciri khas, memiliki jiwa, memiliki ideologi. Sehingga ada prasyarat khusus mengenai kepengurusan Perguruan Tamansiswa nantinya, yaitu harus dilihat bobot, bebet dan bibitnya, mungkin agak naif memang tetapi itulah yang dibutuhkan Tamansiswa sekarang.
Sosok pengurus yang tahu betul sejarah, jiwa serta ideologi Tamansiswa, bukan hanya kemampuan akademik ataupun deretan gelar akademik yang menyilaukan, namun lebih dari itu, orang yang mengerti dan memahami sejarah, ruh dan ideologi perjuangan Tamansiswa. Semua itu bila ditelusuri lebih dalam disebabkan karena mandegnya kaderisasi di Tamansiswa, hal tersebut terlihat tidak adanya sosok muda yang muncul dipermukaan yang mampu mengaktualisasikan ajaran Tamansiswa di kancah lokal maupun nasional.
Seharusnya inilah salah satu PR konggres nasional Tamansiswa Desember mendatang yaitu merumuskan kembali sistem kaderisasi di Tamansiswa. Kaderisasi bagi sebuah organisasi adalah vital adanya karena menyangkut keberlangsungan organisasi tersebut termasuk terjaganya nilai-nilai dasar atau ideologi yang melandasi organisasi tersebut.
Selama ini orang melihat Tamansiswa adalah organisasi yang tua, organisasi yang uzur karena tak pernah adanya wacana-wacana yang segar yang tentu saja berbingkai ciri khas Tamansiswa untuk nasional, terutama dibidang pendidikan nasional. Mungkin juga karena jajaran pengurusnya yang didominasi kaum tua, sedikit sekali kaum muda kader Tamansiswa duduk dalam kepengurusan Tamansiswa. Tamansiswa mungkin sudah merasa mapan dan cukup apa yang disumbangkan oleh pemikiran KHD untuk pendidikan nasional.
Padahal jika melihat kenyataan carut-marut pendidikan nasional tentang UN, tentang kurikulum, tentang pendidikan budipekerti, tentang pembentukan karakter dan masih banyak lagi yang dipersoalkan pendidikan, Tamansiswa harusnya bisa berbicara banyak karena Tamansiswa adalah ibunya pendidikan nasional. Tamansiswa harusnya bisa mengawal system pendidikan nasional karena KHD lah yang menjadi rujukan pendidikan nasional. Sehingga tak seharusnya seorang menteri pendidikan Anies Baswedan (dulu) terheran-heran dan menceritakan bahwa ajaran Tamansiswa KHD dipraktekan di Finlandia.
Mengapa Tamansiswa tak bisa menepuk dada sambil berkata, Ini lho kami sudah mempraktekannya!? Jawabannya sebenarnya mudah, Tamansiswa tak cukup percaya diri untuk melakukannya, karena Tamansiswa tak bisa menyodorkan lembaga-lembaga pendidikan dilingkungannya menjadi representasi dari sistem pendidikan yang bercirikan Tamansiswa.
Wong Tamansiswa (sebutan untuk kader Tamansiswa: Wong Tamansiswa) belum ada yang mampu berbicara di tingkat nasional tentang pendidikan nasional karena dapurnya sendiri masih ngglimpang (belum tegak). Kalau berkaca dengan lembaga pendidikan lain yang mempunyai ciri khas tersendiri juga (maaf kalau terpaksa membandingkan) Tamansiswa sungguh tertinggal, terutama sumbangan pemikiran tentang pendidikan nasional.
Banyak kader dari organisasi atau lembaga yang bercirikan khusus berusaha menyodorkan wacana-wacana pendidikan demi terbentuknya sistem pendidikan nasional yang ideal, mereka menepuk dada, ini lho sistem yang seharusnya (sambil bangga dengan ciri khasnya) karena mereka yakin bahwa dapur lembaga mereka sudah tegak sesuai idealnya mereka. Tetapi Tamansiswa? Lembaga pendidikan di lingkungan Tamansiswa belum sepenuhnya mengaplikasikan sistem pendidikan Tamansiswa.
Bahkan di Tamansiswa mata pelajaran (mata kuliah) ketamansiswaan tak lebih seperti muatan lokal yang dianaktirikan, sehingga penyampainya pun hanya sekedar pembatal kewajiban sebagai sekolah Tamansiswa. Tak heran jika akhirnya sekolah-sekolah Tamansiswa tak lebih sama dengan sekolah-sekolah lain pada umumnya yang tidak mengutamakan ciri khas nya sebagai ruh sistem pendidikan (kasus pembredelan LPM Pendapa menjadi contoh). Bahkan lambat-laun tergerus dan ditinggalkan karena tidak ada bedanya lagi dengan lembaga pendidikan lainnya.
Pada Konggres Tamansiswa XXI Desember 2016 mendatang tentu saja banyak harapan agar Tamansiswa bisa kembali hadir sebagai pengawal pendidikan nasional indonesia, tentu saja setelah seluruh stake holder Tamansiswa bisa menyelesaikan permasalahan yang berada di Tamansiswa sendiri, seperti kaderisasi yang mandeg, cabang-cabang yang berguguran dan tentu saja aktualisasi ajaran Tamansiswa sendiri di lingkungan Tamansiswa yang tersingkirkan.
Indonesia masih butuh Tamansiswa, Indonesia masih butuh wong Tamansiswa yang mengerti betul ajaran Tamansiswa. Lho, belum cukup to sumbangan pemikiran dari KHD? Kalau hal tersebut sampai diungkapkan oleh Tamansiswa, tentu menyedihkan dan semakin meneguhkan anggapan Tamansiswa adalah organisasi yang uzur dan tua serta tidak berkembang.
Padahal sebagai ibunya pendidikan nasional seharusnya Tamansiswa tetap mengasuh, mengawal dan menjaga agar pendidikan nasional tetap berada pada tujuan dan cita-cita sebagaimana KHD ajarkan yaitu membentuk karakter dan jiwa merdeka. Jangan sampai peninggalan KHD hanya sekedar peringatan 2 Mei sebagai hari pendidikan nasional.
Salam dan Bahagia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H