Di Konggres nanti, sudah saatnya seluruh stake holder Tamansiswa melakukan introspeksi, bahwa ada yang salah pada system rekrutmen pengurus di lingkungan Tamansiswa. Bahwa Tamansiswa adalah lembaga perguruan yang memiliki ciri khas, memiliki jiwa, memiliki ideologi. Sehingga ada prasyarat khusus mengenai kepengurusan Perguruan Tamansiswa nantinya, yaitu harus dilihat bobot, bebet dan bibitnya, mungkin agak naif memang tetapi itulah yang dibutuhkan Tamansiswa sekarang.Â
Sosok pengurus yang tahu betul sejarah, jiwa serta ideologi Tamansiswa, bukan hanya kemampuan akademik ataupun deretan gelar akademik yang menyilaukan, namun lebih dari itu, orang yang mengerti dan memahami sejarah, ruh dan ideologi perjuangan Tamansiswa. Semua itu bila ditelusuri lebih dalam disebabkan karena mandegnya kaderisasi di Tamansiswa, hal tersebut terlihat tidak adanya sosok muda yang muncul dipermukaan yang mampu mengaktualisasikan ajaran Tamansiswa di kancah lokal maupun nasional.Â
Seharusnya inilah salah satu PR konggres nasional Tamansiswa Desember mendatang yaitu merumuskan kembali sistem kaderisasi di Tamansiswa. Kaderisasi bagi sebuah organisasi adalah vital adanya karena menyangkut keberlangsungan organisasi tersebut termasuk terjaganya nilai-nilai dasar atau ideologi yang melandasi organisasi tersebut.
Selama ini orang melihat Tamansiswa adalah organisasi yang tua, organisasi yang uzur karena tak pernah adanya wacana-wacana yang segar yang tentu saja berbingkai ciri khas Tamansiswa untuk nasional, terutama dibidang pendidikan nasional. Mungkin juga karena jajaran pengurusnya yang didominasi kaum tua, sedikit sekali kaum muda kader Tamansiswa duduk dalam kepengurusan Tamansiswa. Tamansiswa mungkin sudah merasa mapan dan cukup apa yang disumbangkan oleh pemikiran KHD untuk pendidikan nasional.Â
Padahal jika melihat kenyataan carut-marut pendidikan nasional tentang UN, tentang kurikulum, tentang pendidikan budipekerti, tentang pembentukan karakter dan masih banyak lagi yang dipersoalkan pendidikan, Tamansiswa harusnya bisa berbicara banyak karena Tamansiswa adalah ibunya pendidikan nasional. Tamansiswa harusnya bisa mengawal system pendidikan nasional karena KHD lah yang menjadi rujukan pendidikan nasional. Sehingga tak seharusnya seorang menteri pendidikan Anies Baswedan (dulu) terheran-heran dan menceritakan bahwa ajaran Tamansiswa KHD dipraktekan di Finlandia.Â
Mengapa Tamansiswa tak bisa menepuk dada sambil berkata, Ini lho kami sudah mempraktekannya!? Jawabannya sebenarnya mudah, Tamansiswa tak cukup percaya diri untuk melakukannya, karena Tamansiswa tak bisa menyodorkan lembaga-lembaga pendidikan dilingkungannya menjadi representasi dari sistem pendidikan yang bercirikan Tamansiswa.
Wong Tamansiswa (sebutan untuk kader Tamansiswa: Wong Tamansiswa) belum ada yang mampu berbicara di tingkat nasional tentang pendidikan nasional karena dapurnya sendiri masih ngglimpang (belum tegak). Kalau berkaca dengan lembaga pendidikan lain yang mempunyai ciri khas tersendiri juga (maaf kalau terpaksa membandingkan) Tamansiswa sungguh tertinggal, terutama sumbangan pemikiran tentang pendidikan nasional.Â
Banyak kader dari organisasi atau lembaga yang bercirikan khusus berusaha menyodorkan wacana-wacana pendidikan demi terbentuknya sistem pendidikan nasional yang ideal, mereka menepuk dada, ini lho sistem yang seharusnya (sambil bangga dengan ciri khasnya) karena mereka yakin bahwa dapur lembaga mereka sudah tegak sesuai idealnya mereka. Tetapi Tamansiswa? Lembaga pendidikan di lingkungan Tamansiswa belum sepenuhnya mengaplikasikan sistem pendidikan Tamansiswa.Â
Bahkan di Tamansiswa mata pelajaran (mata kuliah) ketamansiswaan tak lebih seperti muatan lokal yang dianaktirikan, sehingga penyampainya pun hanya sekedar pembatal kewajiban sebagai sekolah Tamansiswa. Tak heran jika akhirnya sekolah-sekolah Tamansiswa tak lebih sama dengan sekolah-sekolah lain pada umumnya yang tidak mengutamakan ciri khas nya sebagai ruh sistem pendidikan (kasus pembredelan LPM Pendapa menjadi contoh). Bahkan lambat-laun tergerus dan ditinggalkan karena tidak ada bedanya lagi dengan lembaga pendidikan lainnya.
Pada Konggres Tamansiswa XXI Desember 2016 mendatang tentu saja banyak harapan agar Tamansiswa bisa kembali hadir sebagai pengawal pendidikan nasional indonesia, tentu saja setelah seluruh stake holder Tamansiswa bisa menyelesaikan permasalahan yang berada di Tamansiswa sendiri, seperti kaderisasi yang mandeg, cabang-cabang yang berguguran dan tentu saja aktualisasi ajaran Tamansiswa sendiri di lingkungan Tamansiswa yang tersingkirkan.Â
Indonesia masih butuh Tamansiswa, Indonesia masih butuh wong Tamansiswa yang mengerti betul ajaran Tamansiswa. Lho, belum cukup to sumbangan pemikiran dari KHD? Kalau hal tersebut sampai diungkapkan oleh Tamansiswa, tentu menyedihkan dan semakin meneguhkan anggapan Tamansiswa adalah organisasi yang uzur dan tua serta tidak berkembang.Â