Pertandingan senior ini biasanya berlangsung lama bahkan lebih dari tiga ronde. Karena memang sudah senior maka para pemain terlihat lincah dalam saling pukul dan tangkis. semakin lama semakin memanas aura pertandingan, penonton semakin semangat menyoraki. Meski tubuh sudah penuh bilur-bilur dan berdarah para pemain jagoan senior jarang yang cepat menyerah.
Sementara waktu sudah hamper maghrib, meski semakin memanas permainan harus segera dihentikan. Para petarung saling berangkulan diakhir pertandingan untuk menunjukan tidak ada dendam diantara mereka, meskipun telah saling melukai satu sama lain, karena ini hanya permainan.
Apakah nanti ada yang dendam diantara mereka? Mengingat ini adalah pertandingan antar jagoan kecamatan, saya khawatir terjadi bentrokan ketika pulang dari arena, karena merasa luka belum terbalaskan. Apalagi mereka pulang dengan berombongan menggunakan pickup bak terbuka dengan baju seragam paguyuban masing-masing. Ah ternyata dugaan saya keliru. “Belum pernah ada terjadi bentrok di luar arena, semua di selesaikan di dalam arena,” Jawab seorang Bapak, sebut saja namanya Ama’ Jakir, yang saya lontarkan pertanyaan tersebut kepadanya seusai acara. “Kalaupun ada dendam diselesaikan pada arena selajutnya. Semuanya menyadari kalau itu adalah sekedar permainan,” imbuh Ama’ Jakir.
Ada juga yang mengatakan perisaian adalah arena untuk menyelesaikan persaingan midang bagi para jejaka yang memperebutkan kembang desa. Midang adalah acara ngapel atau memikat kembang desa, kadang seorang kembang desa diperebutkan oleh banyak jejaka dari baerbagai desa, untuk menyelesaikan siapa yang paling berhak mempersunting si kembang desa diadakanlah arena perisaian. “Dan semuanya diselesaikan secara sportif dan ksatria, tanpa ada dendam setelahnya,” ungkap Ama’ Jakir.
Begitulah, tradisi Lombok memang eksotis se eksotis alamnya. Rasanya terlalu banyak tradisi Nusantara yang luput dari perhatian kita, sementara kita begitu tergila-gila pada budaya bangsa lain. Semoga kita tidak semakin bodoh, seperti yang dikatakan orang asing. Tabik.
Lombok Timur, 30 November 2015