Pengalaman Hidup
Saya pernah berada di ambang keputusasaan
Ketika itu ,kehidupan kami sungguh sedang terpuruk habis habisan. Petualangan saya di Medan selama 2 tahun,tidak menghasilkan apapun, selain menyisakan malaria yang akut dalam diri saya.
Pulang ke kampung halaman dengan menebalkan kulit muka, karena malu bertemu teman teman dan kerabat.
Semuanya bertubi tubi menimpa hidup kami. Utang yang belum terbayar, anak sakit tidak ada uang untuk kedokter,cincin kawin sudah digadaikan. Aliran listrik diputuskan ,karena sudah 2 bulan menunggak, saya jatuh dari bus dan batuk darah. Istri tercinta kurus dan pucat.
Mau minta tolong kepada siapa?Semua orang menjauh. Serasa bumi itu menganga dan kami terperosok kedalam jurang tak berdasar.Seperti itulah perasaan saya pada waktu itu.
Selain istri saya ,tidak ada lagi tempat dimana saya bica bercerita, apalagi meminta saran. Semua sahabat dan kerabat menjauh dari saya. Seperti menjauhkan diri dari orang berpenyakit menular. Inilah agaknya hukum kehidupan, yang tidak pernah disinggung ,apalagi diajarkan dibangku kuliah.
Nasihat dari Guru saya
Waktu saya sedang berjalan linglung,tidak tahu mau kemana, bertepatan ketemu Guru saya di tengah jalan. Sempat ngobrol sebentar dan kemudian menepuk bahu saya,sambal berkata:” Jangan pernah menyerah Effendi,Percayalah,selalu ada jalan. Jangan lupa berdoa.You'll never walk alone "
Hanya sebuah kalimat, yang biasa biasa saja,Beliau tidak berkotbah panjanglebar dan juga tidak memberikan saya uang.
Tetapi pesan yang keluar dari lubuk hati terdalam ,sungguh sungguh memenuhi seluruh rongga