Sakit Adalah Pelajaran BerhargaÂ
"Hope for the best,but ready for the worst" Â Kalimat yang selalu saya tanamkan dalam hati. Berharap yang terbaik,tetapi bersiap siap bila terjadi sesuatu yang buruk.
Setiap orang yang normal sudah pasti berharap semoga yang baik baik saja yang terjadi sepanjang perjalanan hidup. Tetapi seperti kata pribahasa :"Mujur tak dapat diraih,malang tak dapat ditolak" .
Beberapa tahun lalu,sewaktu kami berdua turun dari tangga pesawat di Bandara Sydney,New South Wales hujan turun Walaupun tidak lebat, tetapi tetap saja menyebabkan anak tangga pesawat menjadi licin.
Karena kedua belah tangan saya memegang tas yang berisi laptop,satu laptop saya dan satu lagi milik isteri saya,maka saya turun tanpa berpegangan di tangga pesawat.Â
Walaupun sudah sangat hati hati,tetapi ternyata saya terpeleset.Â
Syukur tidak sampai terguling kebawah,tapi tulang rusuk terbentur sangat keras ditangga besi. Â Terasa kesakitan yang amat sangat. Tetapi saya tidak ingin isteri saya kuatir,maka saya bilang :"Nggak apa apa". Tapi pada waktu itu,mungkin wajah saya seperti monyet termakan cabe rawit
Selang dua hari kemudian saya demam dan batuk-batuk dan mengeluarkan darah segar.Â
Putri kami memanggil dokter GP, yang datang dalam waktu kurang dari 20 menit. Setelah diperiksa, saya dikasih obat dan disarankan agar segera dibawa ke klinik untuk di-rontgen.Keesokan harinya saya diantarkan oleh putri kami dan ditemani istri untuk ke Medicare Centre yang berlokasi di Market Street untuk di-rontgen.
Begitu memeriksa hasil rontgen, dokter Morentos yang menangani memperlihatkan hasil rontgen bahwa sebagian besar paru-paru saya memutih, akibat terinfeksi karena luka dalam. Dan dirujuk ke rumah sakit umum dengan dibekali surat "Emergency Patient "
Dalam Ruang Karantina
Saya dibawa ke Wollongong Public Hospital dan setelah membaca surat rujukan, langsung dibawa dengan kereta dorong untuk masuk ke ruang khusus. Â Hasil analisa dipastikan saya terkena pneumonia atau infeksi paru paru yang parah.Dan dicurigai TBC .
Orang Australia paling ngeri mendengarkan kata "TBC".Saya di karantina dan tidak boleh ditemani oleh isteri maupun anak.
Sangat sedih karena ditinggalkan di ruang isolasi sendirian.di negeri orang. Tetapi saya yakin,isteri saya jauh lebih merasakan kesedihan dibandingkan saya. Karena biasanya sejak menikah,kemana mana kami selalu berdua.
Karena jam besuk sudah habis,maka dengan air mata berlinang isteri saya  pulang bersama putri kami . Dan saya berada sendirian dalam kamar isolasi. Tangan dan kaki dipasangi infus dan begitu juga di hidung saya ada alat bantu pernafasan,karena saya sudah tidak mampu bernafas seperti biasa.
Sebulan Serasa Setahun
Hampir satu bulan saya dirawat di rumah sakit Wollongong. Berat badan susut dari 75 kg menjadi 56 Kg.Â
Putra kami datang dari Western Australia bersama Kevin cucu pertama kami  Dan berbisik:"Papa,jangan pikirkan biaya rumah sakit ,Semua biaya saya yang tanggung.'
Saya sangat terharu ,begitu besar kasih sayang putra kami,padahal total biaya 19.800 dollar atau senilai 200 juta rupiah. Tetapi syukurlah ternyata,karena saya memegang Senior Card dan Medicare Card,semua ditanggung oleh Pemerintah Australia
Pengalaman yang sangat menakutkan  dan menjadi pelajaran berharga bagi saya,agar kelak bila turun pesawat,setidaknya sebelah tangan harus bebas untuk memegang tangga pesawat.
Semoga tulisan ini ada manfaatnya bagi PembacaÂ
Tjiptadinata EffendiÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H