Dari Buya Syafii Maarif
Sudah puluhan tulisan yang membahas tentang berpulangnya Buya Syafii Maarif,serta kenangan indah yang menjadi warisan bagi segenap bangsa Indonesia.
Karena itu tentu tidak perlu lagi ditulis ulang disini. Mengenang Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif ,secara serta merta pikiran kita terconnecting dengan alm. Prof.Dr. Nurcholish Madjid yang dipanggil Tuhan dalam usianya yang ke 66 tahun.
Disamping sama sama menyandang gelar Professor tamatan dari Amerika, ada begitu banyak kesamaan diantara kedua putera terbaik bangsa Indonesia ini. Salah satunya adalah Ilmu Kehidupan Tentang Kesederhanaan
Saya belum pernah ketemu dengan Buya Syafii,tapi membaca kisah kesederhanaan hidup beliau,yang masih menggunakan sepeda sebagai alat transporasi,mengingatkan saya akan kesederhanaan yang ditunjukan oleh alm Prof. Nurcholish Madjid yang kebetulan adalah tetangga kami semasa masih tinggal di Bintaro Jaya,Jakarta .
Dua Tokoh Kesederhanaan
Dikenalkan oleh pak Sudhamek yang adalah Coo Garudafood pada waktu itu. Saya ditelpon oleh pak Sudhamek,untuk bertemu di Rumah Sakit Pondok Indah,membezuk pak Nurcholish Madjid yang baru pulang dari perawatan kesehatan di negeri Cina.
Karena melakukan transplantasi hati di Rumah Sakit Taiping ,Guangdong ,Tiongkok Kemudian menjalani perawatan intensif di Rumah sakit di Singapura Setelah itu kembali ke tanah air dan dirawat di Rumah Sakit Pondok Indah . Cak Nur , menjalani operasi transplantasi hati di Rumah Sakit Taiping, Guangdong , Tiongkok, sejak tanggal 23 Juli Kemudian masih harus menjalani perawatan intensif di salah satu Rumah Sakit di Singapura.
Esok harinya saya dan istri meluncur ke Rumah Sakit Pondok Indah . Ternyata pak Sudhamex sudah lebih dulu tiba,beberapa menit sebelumnya. Kami bertiga langsung ke Bangunan C,di lantai 4 dan setelah minta ijin pada perawat, kami di antarkan masuk keruangan. Disana hanya ada bu Omi , isteri Cak Nur dan salah satu kerabat. Cak Nur terbaring dengan wajah pucat. Kami hanya berbicara seperlunya dengan bu Omi dan kemudian kami pamitan.
Ternyata Tinggal di Rumah Sederhana
Kemudian setelah Cak Nur pulang kerumah ,kami sempat mengunjungi Cak Nur. Ternyata alm tetangga saya di Bintaro Jaya sektor 2 .Sama sekali tidak menyangka sosok sekaliber Cak Nur, rumahnya tidak lebih baik dari rumah kami di Bintaro Jaya sektor 5
Pada waktu itu Cak Nur sedang makan bubur.Sementara itu kami ditemani oleh bu Omi. Selesai makan, kami sempat ngobrol,menanyakan tentang kondisi setelah di operasi .Jawab Cak Nur:” Alhamdulillah sudah agak baikan dan sudah bisa makan bubur sedikit sedikit, Tapi kata dokter, butuh waktu yang agak panjang untuk bisa pulih kembali" Setelah itu,kami masih menemani Cak Nur makan bubur sambil duduk dikursi roda. Tidak ada perawat yang membantu ,semua dikerjakan sendiri. Tak terbayangkan bagaimana seorang tokoh nasional. menjalani hidup secara sangat sederhana. Setelah lebih kurang setengah jam,kami mohon pamitan,agar beliau dapat beristirahat
Pertemuan Terakhir
Ternyata malam itu adalah pertemuan kami dengan Cak Nur terakhir kalinya. Karena sesudah itu kami berangkat ke Australia. Pada tanggal 29 Agustus, tahun 2005, kami mendapatkan kabar duka ,bahwa Cak Nur telah dipanggil Tuhan. Beliau dimakamkan di Kalibata,di Taman Makam Pahlawan.
Walaupun saya tidak pernah berguru secara langsung dengan Buya Syafii dan Cak Nur, saya banyak belajar tentang memaknai arti kesederhanaan dan tentang bagaimana hidup harmony dalam keberagaman. Bagi saya pribadi, beliau keduanya adalah guru kehidupan. Walaupun jazad telah menyatu dengan bumi,tapi ilmu kehidupan yang diwariskan ,akan abadi bagi bangsa Indonesia
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H