Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014 - The First Maestro Kompasiana

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

A to Z Korupsi dari Masa ke Masa

10 Desember 2021   19:13 Diperbarui: 10 Desember 2021   19:20 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: pixabay.com

Ditulis Berdasarkan Pengalaman Pribadi

Bagi yang belum pernah terlibat langsung dengan praktik korupsi dalam perjalanan hidupnya, maka tidak ada salahnya mengatakan "Lawan korupsi! Jangan dikasih ruang hidup. Sekecil apapun korupsi adalah bagaikan api dalam sekam yang sewaktu waktu dapat membakar hangus semuanya." Tapi bila sudah pernah mengalaminya, baru sadar bahwa tidak semudah itu memberantas korupsi. 

Karena itu, izinkanlah saya membagikan pengalaman pribadi hidup dalam lingkungan birokrasi dimana uang rokok dan salam tempel sudah membudaya. Saya singkat saja ceritanya agar jangan sampai bertele tele dan menyebabkan orang bosan membacanya. 

Saat saya mulai berusaha sebagai seorang Eksportir Kopi dan Cassia Vera serta rempah rempah ditahun 1975, saya menyewa sebuah gedung di Jalan Niaga. Yang sekaligus menjadi Kantor dan bagian belakangnya sebagai gudang produksi yang lumayan bisa menampung barang barang dalam jumlah puluhan ton. 

Hari Pertama 2 truk bermuatan kopi Robusta dari Kerinci tiba di depan gudang yang merupakan pesanan saya dari salah seorang Pedagang yang juga pelanggan cassia vera.

Truk sudah parkir dengan posisi bagian belakang menghadap ke pintu gudang,agar lebih mudah bagi para pekerja untuk membongkar puluhan karung berisi kopi kedalam gudang untuk ditimbang .

Tetapi tetiba ada yang mengetuk pintu kantor dan dibukakan oleh sekretaris kami. Ternyata seorang petugas. Memberi hormat dan kemudian mengatakan "Maaf Boss, truk tidak boleh parkir disini karena akan mengganggu lalu lintas."

Lalu saya jelaskan bahwa saya punya izin untuk bekerja disini dan sekaligus ada izin untuk produksi digudang sambil memperlihatkan surat izin. Tetapi yang bersangkutan bilang " Maaf pak, kami tidak menanyakan  masalah izin tapi disini dilarang truk parkir" Baru hari pertama masalah sudah tiba, begitu pikir saya. 

Kalau saya ribut dengan petugas ini maka berarti hari pertama melangkah sudah ternoda dengan persengketaan walaupun disana tidak ada tanda tanda dilarang Parkir. Karena itu saya tenangkan hati saya dan memanggil petugas tadi "Dik, mari duduk sini, kita ngomong ya "

Dan si petugas melangkah dan berdiri persis didepan saya dan berkata "Siap pak" Lalu saya bilang "Dik,tolong saja diatur ya. Saya kan mau bekerja disini  dan selanjutnya kita akan jadi tetangga. Tolong diatur mana yang baik dan kalau ada keperluan apa apa, saya siap membantu. Kita saling membantu ya dik" 

Dan si petugas berdiri dengan sikap hormat dan berkata "Siap dilaksanakan Pak". Maka akhirnya masalah bongkar muat sudah diatur sehingga tidak sampai menganggu pengguna lalu lintas lainnya. Pokoknya tahu sama tahu, tidak pakai tempe.

Barang Tiba Dipelabuhan, Gudang Penuh 

Usai jual beli  kopi selesai, maka semuanya di olah oleh bidang produksi yakni diayak untuk dibersihkan dari debu  dan kulit kopi. Kemudian masih perlu diayak untuk mengeluarkan biji kopi yang halus agar sesuai dengan contoh yang disepakati.  

Kemudian di packing dalam double gunny dan dijahit rapi serta dibubuhi merek sesuai permintaan Pembeli.  Kemudian barang siap untuk dikapalkan. 

Dan untuk membawa komoditas ekspor ke Pelabuhan harus menggunakan kendaraan dari Pelabuhan karena mereka sudah memiliki izin keluar masuk pelabuhan. Tetapi tetiba masuk telpon dari Petugas di Pelabuhan "Selamat pagi Boss. Mohon maaf ya Boss gudang kita penuh. Sedangkan untuk langsung dimuat kekapal belum bisa, karena kapal lagi dibersihkan"

Saya terdiam. Kalau kopi tidak jadi terkirim karena gudang penampungan dipelabuhan penuh, maka saya akan mendapatkan masalah besar dari Pembeli karena sudah melanggar kontrak tentang waktu pengiriman barang. 

Maka dengan terpaksa saya urut dada saya dan bilang "Hmm begini pak. tolong saja diatur ya. yang penting barang saya bisa diberangkatkan." Dan dengan suara ceria dijawab "Siap Boss. Ntar saya rundingkan sama pimpinan dan segera telpon balik ya Boss" 

Hanya selang 2 menit, telpon kembali berdering  dan langsung saya jawab ternyata dari Petugas yang tadi minta waktu untuk berunding dengan atasannya. Jawabannya "Siap Boss. pimpinan sudah setuju, kita cancel barang lainnya agar barang Boss bisa terkirim.  Apakah sore ini saya boleh mampir kekantor Boss?" "Oya silakan " jawab saya singkat.

5 Ton Kopi Sudah Naik Kapal

Akhirnya berkat "ditolong" petugas, 5 ton biji Kopi Robusta dari Perusahaan kami sudah dibawa ke Pelabuhan dan malahan dapat langsung naik keatas kapal. 

Dan sesuai dengan isi Sales Contract, bahwa penjualan dengan syarat F.O.B  yakni singkatan dari Free On Board berarti saya sudah dapat mencairkan Letter of Credit sebagai pembayaran atas 5 ton biji kopi. Tapi saya butuh "Bill of Lading" sebagai bukti bahwa memang komoditas ekspor dari perusahaan saya sudah naik ke atas kapal. 

Ternyata, pimpinan kantor yang berhak menanda tangani sedang keluar kantor. Hari itu adalah hari Jumaat. Bila saya gagal mendapatkan Bill of Lading, maka berarti akan tertunda hingga hari Senin. 

Akhirnya dengan terpaksa password lama saya gunakan lagi, yakni "Tolong diurus" kepada Staf dikantor Pelabuhan. Dan entah dicari kemana, tetiba saja sudah ketemu Boss bahkan Bill of Lading diantarkan langsung kepada saya. Hebat kan?

Sudah Selesai? Belum!

Ini belum selesai, karena hari Senin ada telpon masuk lagi "Selamat pagi Boss. Begini Boss. anak anak kan lagi liburan panjang. Jadi isteri dan anak saya akan berangkat ke Hongkong. Tolong diatur tiket pulang perginya dan jangan lupa uang sangu untuk anak isteri shopping di Hong Kong ya Boss "

Serasa darah saya naik hingga keujung rambut. Seandainya ada harimau didepan saya, mau saya telan mentah mentah.  Tapi isteri saya mengingatkan "Koko, ini lingkaran setan. Selama kita masih mau bekerja dibidang ekspor, hal semacam ini tak akan pernah berakhir. Sabar ya Ko".

Maka jadilah saya Sinterklas yang membiayai anak isteri orang jalan jalan ke Hong Kong dan berikut shoppingnya. Alangkah "mulianya" hati saya hmmm  Kisah ini masih belum selesai, tapi karena sudah terlalu panjang saya sudahi dulu hingga disini. Masih banyak kisah unik lainnya, bila berkenan membacanya.

Bagaimana tanggapan dari para sahabat Kompasiana ? 

Tjiptadinata Effendi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun