Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Seorang Diri di Ruang Isolasi di Negeri Orang Gimana Rasanya?

27 Juli 2021   20:01 Diperbarui: 27 Juli 2021   20:05 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah Merasakan Pahit Getirnya di Karantina Sejak  Beberapa Tahun Lalu

Memberikan dukungan moral kepada orang yang sedang terbarin g sakit,tidak mudah. Maklum orang yang terbaring sakit,biasanya emosinya menjadi labil dan kontrol diri melemah. 

Jadi boleh jadi kata kata hiburan yang disampaikan,dapat menimbulkan reaksi yang membuat kita kecil hati. Tapi kalau kita sudah tahu dan memahami bahwa dalam kondisi sakit ,orang yang biasanya penyabar,bisa saja berubah menjadi sangat emosional . Bahkan ,akan merembet kepada kedua orang tuanya.

Nah,salah seorang anak sahabat baik saya ,hingga saat ini masih terbaring di rumah sakit, karena harus menjalani karantina dan sekaligus perawatan intensif . 

Kemarin  ayahnya yang masih ada hubungan kerabat dengan keluarga kami, mengirimkan pesan via WA:"Om, putra saya Benny  sudah seminggu dirawat di rumah sakit ,karena harus dikarantina.  

Putra saya terus mengeluh,karena  tidak boleh keluar  kamar dan tidak boleh dikunjungi Katanya ,serasa mau gila dalam ruangan seorang diri. Menurut Om. apa yang harus  dilakukan Benny  ,agar dapat melewati hari hari saya di rumah sakit Om?" 

Maka saya menjawab:" Dedi , bilang sama putranya, harus sabar. Isilah waktu dengan baca buku atau menulis,agar pikiran jangan hanya terfokus pada rasa sakit.

Kalau dalam ruangan isolasi ada tv, nontonlah film kartun atau film humor yang menyegarkan . Atau kalau bisa menulis . Dengan padatnya acara ,maka tanpa terasa,kita dapat melalui hari hari ,hingga menjelang kesembuhan diri. Jadi  tidak cukup phisiknya saja yang diobati, batinnya tak kalah  penting  dijaga agar tetap tenang "

Ternyata Mendapatkan Jawaban Yang Tidak Disangka

Karena Dedi bertanya,maka saya menjawab dan berusaha menyarankan agar putranya jangan panik ,maka perlu ada jadwal kegiatan selama dalam masa pemulihan. 

Tetapi malah jawabannya melenceng jauh ." Aduh,kalau kita yang belum pernah coba merasakan betapa sedihnya harus tinggal sendirian selama isolasi,memang bisa saja kita memberikan nasibat seperti itu ya Om. Tapi kalau kita pernah merasakannya,mungkin kita juga tidak mampu bertahan ya Om" 

Terpana saya mendengarkan reaksi dari Dedi,sahabat lama,walaupun usianya terpaut jauh leibh muda dibandingkan saya. Tapi saya sadar,mungkin Dedi panik,anak satu satunya ,kini dirawat di rumah sakit,sehingga pikirannya tidak lagi dapat terkontrol dengan baik. 

Mungkin tipe orang semacam Dedi ini bukan satu satunya,yang beranggapkan bahwa dirinya atau keluarganya adalah orang yang paling malang dan paling menderita di dunia ini ,sehingga harus didengarkan saja.

Karena itu,pesan tersebut tidak saya respon dan akan saya jawab,setelah Dedi cooling down. Rupanya ,karena pesan tidak dijawab,maka saya ditelpon oleh Dedi. Dan minta maaf,kalau pesan yang disampaikannya tidak berkenan dihati saya. 

Karena itu, agar jangan sampai hubungan baik kami terputus ,hanya karena kesalahan paham,maka saya jelaskan secara singkat,bahwa jauh sebelum orang heboh mengenai istilah :"dikarantina" saya sudah sejak beberapa tahun lalu di Karantina di Australia,karena 85 persen paru paru saya mengalami infeksi ,sehingga setiap kali batuk,yang keluar darah yang berwarna kehitaman ,Dikuatirkan saya terkena TBC Dan orang Australia paling takut mendengarkan kata "tbc" 

Kaki tangan saya dipasangi selang infus ,karena sama sekali tidak bisa makan dan setiap kali batuk darah menyembur keluar.Dalam waktu singkat bobot tubuh saya merosot. Didepan pintu kamar saya dipasangi tulisan besar besar :"Quarantine. Donot Enter"

Perawat dan dokter yang masuk berpakaian ala astronot. saking takut tertular tbc ,untuk sementara saya dinyatakan Pneumonia .Saya tidak bisa bernafas tanpa alat bantu.karena paru paru hanya 15 persen yang berfungssi. Sepanjang malam saya tidak tidur dan hanya menanti datangnya pagi,agar dapat bertemu isteri dan anak kami,walaupun hanya dibolehkan sesaat.

Sementara saya menjelaskan,Dedi terdiam . Dan setelah itu ia minta maaf,karena sama sekali tidak mengira,bahwa sebelum dunia heboh urusan Karantina,saya sudah menjalaninya di negeri orang,yakni di Wollongong Public Hospital"

Diharapkan agar artikel ini,dapat menjadi masukan yang berharga,bagi yang keluarganya sedang terbaring sakit,jangan menganggap bahwa diri kita satu satunya yang termalang di dunia, Diluar sana ,ada jutaan orang yang mungkin lebih menderita.dibandingkan diri kita 

Tjiptadinata Effendi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun