Izinkanlah Saya Tuliskan Dengan Sejujurnya
Kalau saya ceritakan sejak dari awal mungkin akan menjadi sebuah Novel Kehidupan. Karena kami belasan kali pindah rumah dan berarti pula belasan kali gonta ganti tetangga. Karena itu saya mengambil contoh kediamanan kami yang terakhir sebelum kami meninggalkan kampung halaman, yakni Padang kota tercinta.Â
Seminggu sebelum kami mendiami rumah di Jalan Bunda I/6 A, Wisma Indah I Ulak Karang kota Padang, sebagai langkah pertama saya  dan isteri mengunjungi Pak Syafri Syaun, Karyawan  di BNI 46 Padang yang bertugas sebagai Ketua RT. Kami memperkenalkan diri dan disambut dengan sangat ramah. Bahkan kami diperkenalkan dengan isterinya adan putri semata wayang nya Nana.
Saya utarakan bahwa niat kami akan tinggal di Jalan Bunda yang jaraknya hanya 3 rumah dari rumah kami. Dan menyampaikan permohonan kepada pak RT untuk membantu kami mengundang semua tetanggan untuk saling berkenalan dalam acara makan sederhana dirumah kami.Â
Pada hari H undangan untuk saling berkenalan dengan para tetangga, kiri kanan, depan belakang ternyata rumah kami sarat dengan para tamu. Kami saling berkenalan dan dalam waktu singkat kami sudah saling bercanda seakan kami sudah berkenalan sejak lama.Â
Padahal semua tamu yang hadir terdiri dari berbagai suku dan semuanya beragama Islam dan hanya kami berdua yang keturunan Tionghoa, serta beragama Katholik. Hingga mendekati jam 11.00 malam baru para tetangga pulang satu persatu dengan wajah ceria
Dalam setahun, kami 3 kali merayakan Hari Raya yakni Natal, Imlek dan Hari Raya Idul Fitri. Isteri saya sudah siap dengan dua gepok uang lembaran uang baru yang ditukar di bank. Rumah kami paling ramai dikunjungi dan kalau biasanya saya yang jadi Sinterklas tapi khusus sekali setahun isteri saya yang menggantikan jadi Sinterklas.Â
Bagi Kami Tetangga Adalah Saudara Dekat
Pintu rumah kami siap diketuk 24 jam sehari dan 365 hari dalam setahun. Ada tetangga yang mau melahirkan sedangkan suaminya lagi bertugas di luar kota, Ibunya mengetuk pintu pagar kami sekitar jam 02.00 subuh. Saya bangun dan mengantarkan ke Klinik Bersalin dengan didampingi isteri karena saya dalam keadaan demam.Â
Dilain waktu, saat kami sudah bersiap siap  akan ke gereja menghadiri Misa pada hari Minggu. Begitu pintu garase kendaraan ditutup, tetiba salah seorang tetangga datang berlari lari dan minta tolong membawakan putranya yang terluka kena. Kami antarkan kerumah sakit walaupun hari itu kami batal ke gereja. Karena bagi kami, ke gereja itu penting tapi menolong orang yang dalam kondisi emergercy jauh lebih penting. Mengenai apakah saya berdosa atau tidak, semuanya saya serahkan kepada Tuhan
Kami Pamitan Berangkat.,Semua Tetangga Memeluk Kami Sambil Menangis
Tahun 1990, kami memutuskan untuk pindah ke Jakarta karena ketiga anak kami sudah tidak lagi tinggal di Padang. Kami pamitan dengan tetangga dan semuanya memeluk kami erat erat sambil menangis. Bukan hanya sekedar meneteskan air mata, tapi menanggis seakan kami berdua adalah keluarga mereka sendiri.
Tulisan ini bukan pamer diri bukan juga pencitraan karena kami bukan pejabat, sehingga tidak butuh semua yang namanya pencitraan. Semuanya saya tulis sejujurnya untuk memberikan gambaran, bahwa seumur hidup termasuk tinggal di Australia semua tetangga sangat menyayangi kami.Â
Sehingga tidak ada yang dapat diceritakan tentang keusilan tetangga kami, selain dari kebaikan dan kepedulian mereka terhadap kami sekeluarga
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H