77 Tahun Tidak Kunjung Lulus Ujian Hidup
Sebagai Pengacara (Penganggur banyak acara) saya punya banyak waktu untuk saling berkomunikasi dengan teman teman lama dan baru dengan sanak keluarga dan mantan murid di SD,maupun mantan siswa di SMP PIUS.Â
Apalagi sejak miss Corona bikin mabuk orang sedunia,intensitas komunikasi meningkat tajam. Baik menjawab pesan masuk yang bertanya, apakah kami aman dan sehat dan sebaliknya saya yang aktif mengunjungi,tanpa merasa perlu menempatkan diri sebagai orang yang dituahkan dan menunggu dikunjungi.Â
Salah satunya saya kontak mantan siswa saya yang sudah sejak 40 tahun lalu domisili di Amerika Serikat, untuk mengucapkan ulang tahunnya yang ke 70. Karena sewaktu saya mengajar di SMP PIUS usia saya 24 tahun dan siswa saya di kelas III berusia antara 16 -18 tahun. Jadi selisih usia saya dengan siswa berkisar 6 -7 tahun.
Di antara pesan yang masuk sekian banyak, ada pesan berbunyi, " Aduh, lama banget kita tidak bertemu pak. saya baru saja dapat nomor WA ini dari putri bapak Saya Yanti, masih ingat pak?"Â
Wah, nama Yanti pasti saya ingat, tapi ada beberapa orang yang namanya Yanti. Maka saya jawab pesannya, "Maaf ya ini bu Yanti yang mana?"
Tiba-tiba masuk jawaban yang bikin saya kaget, "Aduh, bapak tega ya, panggil murid sendiri dengan panggilan ibu? Saya kan Yanti murid bapak di SMP Pius".
Aduh, tetiba saya merasa bersalah karena telah membuat hati mantan siswa saya jadi sedih. Tapi mau bilang apalagi? Karena sudah terlanjur keliru memanggil Maka jalan satu satunya adalah saya minta maaf.
Salah sapa yang mengakibatkan orang yang disapa bukan cuma sekali ini terjadi ,tapi sudah beberapa kali.Â
Ketika tahun lalu kami pulang kampung sempat saya menyebabkan orang menangis sedih karena merasa saya sudah melupakan dirinya. Padahal dulu sangat akrab.Â
Nah, masalahnya lebih dari 50 tahun kehilangan kontak dan tidak pernah bertemu tiba-tiba ketemu. Bagaimana caranya kita bisa mengingat secara tepat? Karena yang dulu anak-anak, setelah lebih dari 50 tahun pasti yang dijumpai bukan lagi anak-anak.
Awalnya saya kira "teman" saya ini menangis saking terharu sudah lama tidak bertemu. Ternyata saya keliru, "Aduh bapak, saya kan murid bapak, masa dibilang teman lama? Bapak lupa pada saya ya,padahal saya dulu kan murid kesayangan bapak?"
Aduh mak, lagi lagi saya berbuat kesalahan. Walaupun kata orang,saya sudah banyak makan asam garam dan sudah merasakan pahitnya empedu kehidupan untuk beberapa saat, tetiba saya jadi tergagap. Akhirnya, ya lagi lagi minta maaf.
Sejak saat itu karena sudah beberapa kali tindakan saya bikin orang sedih, maka saya mulai rajin memperhatikan wajah wajah di facebook dan mencoba mengingat ingat, apakah mereka itu sahabat saya atau jangan jangan mantan murid? Kalau mantan pacar dijamin tidak ada.Â
Nah, dari satu sisi kehidupan ini saja, saya semakin memaklumi bahwa benarlah kata pribahasa, "Hidup adalah proses pembelajaran diri tanpa akhir". Buktinya hingga berusia 77 tahun, berulang kali saya lakukan kesalahan yang sama. Kata orang, "Jangan sampai 2 kali orang tua kehilangan tongkat," Tapi yang saya alami adalah sudah kehilangan tongkat 5 kali, yakni akibat kurang arif membaca situasi hingga membuat orang menjadi sedih.
Tjiptadinata EffendiÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H