Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Perlukah Menyembunyikan Identitas Diri Demi Gengsi?

28 April 2020   10:07 Diperbarui: 28 April 2020   15:21 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau Ketahuan Bohong, Kita Mau Sembunyikan di Mana Wajah Kita?

Bahwa kehidupan ini adalah sebuah Universitas Kehidupan, di mana kita bisa belajar apa saja  agaknya memang tidak terbantahkan.

Ada begitu banyak hal hal yang sama sekali tidak terjangkau, bahkan tidak tersentuh dibangku kuliah di universitas paling beken di dunia ini, ada di Universitas Kehidupan.

Dalam kata lain, lulusan dari universitas paling beken di dunia ini, dengan predikat makna cumlaude masih perlu waktu untuk menyesuaikan diri ketika mulai memasuki universitas kehidupan, agar jangan sampai gamang menjalani hidup. Salah satu di antaranya adalah memilih antara membuka identitas diri atau menyembunyikannya demi gengsi.

Mengaku Punya Apartement di Australia,Ternyata Putranya Cuma Kost Satu Kamar

Pada waktu kesempatan pulang kampung tahun lalu, maka saya dan istri sungguh sungguh memanfaatkan waktu semaksimal mungkin untuk dapat bertemu sanak keluarga dan teman teman. Baik sahabat lama maupun yang baru kenal lewat dunia maya.

Selama seminggu, Rumah Makan Sari Minang di Jalan Juanda Jakarta, kami booking ruang VIP di lantai atas, untuk makan siang dan makan malam. Mengingat, rasanya tidak nyaman, bila teman teman sesama hobi menulis digabung dengan sanak keluarga kami, mungkin akan saling sungkan untuk berinteraksi.

Maka kami bagi  atas berberapa kali pertemuan, sambil santap siang dan santap malam. Ada pertemuan dengan mantan murid SD  dan ada Pertemuan dengan mantan murid di SMP, serta komunitas sesama penulis dan sanak keluarga.

Salah seorang di antara sahabat sesama mitra bisnis dulu juga hadir dalam acara santap malam ,yang namanya sebut saja pak Baron  Yang bertanya dimana kami tinggal di Australia.

Maka sejujurnya saya ceritakan bahwa kami berdua tinggal di Burns Beach, tapi bukan rumah kami, melainkan rumah putra kami.

Saya juga ceritakan bahwa kalau pak Baron kebetulan jalan jalan ke Western Australia, kalau untuk menginap mohon maaf kami tidak bisa ajak, karena di lantai atas ada cucu kami dan istrinya tinggal, sedangkan kami tinggal di lantai bawah.

Tapi kalau sekedar jalan jalan ada kendaraan yang dikasih oleh Irmansyah Effendi, putra pertama kami. Sehingga bisa kami ajak jalan jala.

Tapi pak Baron mengatakan,bahwa ia sudah beli sebuah apartement di Sydney,yang sekarang ditinggali putranya yang melanjtukan studi di sana. Dan rencananya mau beli satu lagi apartement di Perth, sekedar sebaga investasi.

Mendengarkan bahwa sahabat lama ternyata sukses sehingga bisa beli satu unit apartementi di Sydney yang harganya paling murah 1 juta dolar tentu saja saya juga ikut senang.

Sebagai penutup pembicaraan, sebelum pamitan usai makan malam bersama, Baron masih pesan pada saya: "Tolong carikan kalau ada apartement yang bagus di Perth ya pak Effendi, saya mau beli satu lagi sebagai investasi dan sesekali ke Perth bisa tinggal dis ana"

Ternyata Putranya Cuma Kost Satu Kamar 

Kembali ke Australia Putri kami yang di NSW ajak kami menginap di ULURU karena merupakan kesempatan terakhir sebelum ditutup.

Maka kami mengiyakan dan pada hari H-nya saya dan istri dijemput putri dan kami menginap selama beberapa hari di Uluru.

Karena sudah berada di NSW, maka saya ajak isteri untuk berkunjung ke apartement sahabat saya Baron, sesuai dengan alamat yang diberikannya sewaktu kami makan bersama. Syukurlah putranya sedang berada di Apartemen karena baru pulang kerja.

Tapi dari cerita putra pak Baron, tanpa kami tanya, bahwa ia cuma menyewa satu kamar dari unit apartement tersebut dan bermaksud akan mencari kost lainnya yang lebih murah.

"Saya kuliah sambil kerja paruh waktu dengan memanfaatkan Working Visa Holiday Om. Lumayan bisa bayar uang kuliah, tapi sewa kamar disini mahal Om, 250 dolar seminggu Saya lagi cari kostan yang lebih murah."

Saya cuma mengiyakan dan karena tampak putera pak Baron sudah sangat lelah,maka kami pamitan dan sama sekali tidak menceritakan bahwa menurut ayahnya, apartemen terssbut adalah miliknya.

"Ntar saya telpon papa dan kasih tahu bahwa Om dan tante datang berkunjung kesini," kata putra pak Baron dan kamipun berpisah

Putus Hubungan

Kalau biasanya, setidaknya sekali seminggu kami saling kontak di WA dengan pak Baron,tapi sejak kami mengunjungi putranya, hubungan kami putus total. Saya coba telpon, tapi tidak terjawab dan kontak via WA juga tidak ada respon.

Tjiptadinata Effendi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun