Dari Masalah Prinsip hingga Masalah Sepele
Sebagai makluk sosial, kita semua tidak mungkin bisa hidup sendirian. Kita butuh teman, butuh orang lain dimana kita bisa berinteraksi. baik dalam pergaulan sosial, maupun dalam urusan lainnya.
Sejak diberlakukan sistem lockdown, maka orang tidak lagi bisa berinteraksi secara face tace karena rumah sekolah, kantor, shopping centre, bahkan rumah ibadah dinyatakan ditutup.
Tidak ada lagi resepsi pernikahan yang mempertemukan seluruh kerabat dan sahabat yang sudah sekian tahun tidak bertemu,dalam suatu resepsi pernikahan akbar. Pernikahan hanya boleh dihadiri oleh saksi dan pejabat yang menikahkan.
Bila ada yang meninggal, di mana biasanya seluruh kerabat dan teman-teman datang khusus memberikan penghormatan terakhir, kini sudah berakhir. Bahkan konon untuk makamnya perlu alat berat untuk menggali sedalam 8 meter.Â
Saat saat akhir di mana biasanya orang yang sekarat meninggalkan pesan pesan untuk keluarga yang akan ditinggalkan, kini harus rela menutup mata seorang diri.
Acara Ulang Tahun atau Annivesarry? Jangan harapkan lagi
Ulang tahun maupun ulang tahun pernikahan cukup lewat WA atau telpon saja. Paling kalau hubungan sangat dekat bisa gunakan Video Call, seperti yang kami lakukan bila berkomunikasi dengan anak cucu, sekedar melepas rasa kangen.Â
Pacaran? Boleh tapi harus jarak jauh, karena begitu jalan berpegangan tanganlangsung didenda 1000 dolar.Â
Ketemu teman-teman di jalan dan dengan maksud ingin berbaik hati, mengajak teman ikut naik ke kendaraan kita, tahu tahu didenda masing-masing 1,600 dolar atau 16 juta per orang. Mau ribut sama Polisi? Bisa saja,asal siap masuk ke penjara.
Dulu, "Pulanglah Nak, kami sudah sangat merindukanmu."
Kini, "Kalau kalian masih sayang sama kami, jangan pulang!"
Nah, sampai di sini sudah percaya nggak, bahwa tatanan hidup kita sudah dijungkir balikan oleh si Corona maut?
Dulu "Bersatu teguh bercerai runtuh", Kini "Bersatu mati, bercerai utuh"
Tampaknya seakan olok-olokan ya? Menjadikan bencana jadi bahan olokan adalah hal yang sangat naif, serta jauh dari kesantunan. Tapi ini adalah fakta bahwa memang begitulah adanya, kita mau marah pada siapa?
Saya masih ingat ditahun 80-an, ketika membeli Sedan Toyota CORONA yang baru, rasanya bangga luar biasa.Â
Para tetangga kami ajak naik secara bergantian untuk merasakan nikmatnya naik Corona. Kini? Mendengar kata Corona saja orang sudah takut, apalagi bila Corona ada dalam rumah.
Masih perlu data lagi untuk menyakinkan? Ini satu lagi. Kalau dulu, seorang wanita sangat bangga bila bisa mendapatkan sebutan :"Wanita Carrier". Kini siapa yang mau disebut sebagai wanita Carrier?
Jangan lupa, kita sudah tidak lagi hidup di Era Digital, tapi di Era Corona! Masihkah kita anggap sepele Virus Corona?
Sebuah renungan diri
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H