Dalam Bahasa Daerah
"Menguasai bahasa berarti menguasai bangsa"
Peribahasa ini  kedengarannya agaknya terlalu berbau ekstrim. Tapi jelas maksudnya bukan dalam arti kata "menguasai " untuk menjajah, melainkan mampu menjadi jembatan penghubung dalam aneka ragam perbedaan. Nah, daripada mengambil contoh yang jauh, mohon izin saya mengambil contoh  tentang kampung halaman kami, yakni kota Padang.Â
Tanpa perlu malu malu menyebutkan, jelas antara kami sebagai keturunan Tionghoa berbeda dalam banyak hal dengan warga yang memang nenek moyangnya asli orang Padang. Jadi walaupun saya dilahirkan pada era dai Nippon, yakni sebelum zaman kemerdekaan RI, tetap saja perbedaan tersebut tidak dapat dipupus. Perbedaan bukanlah sebuah kekurangan, melainkan justru sebuah kelebihan, asal saja kita mampu menyikapi secara bijak. Bila perbedaan yang ditonjolkan, maka akan berubah menjadi kutukan, tapi bila disikapi dengan arif, akan menjadi berkah. Begitu kata orang bijak, saya hanya mengutip saja. Â
Menjauhi Sikap Hidup yang Eksklusif
Langkah awal untuk menghilangkan kesan bahwa kita menempatkan diri sebagai golongan eksklusif adalah dengan berusaha memahami dan menggunakan bahasa setempat sebagai bahasa komunikasi dalam berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya. Saya termasuk paling beruntung karena ayah saya lahir di Labuah Silang, salah satu kecamatan di Payakumbuh. Semasa kecil pendidikan di Madrasah sehingga catatan ayah saya hampir seluruhnya dalam tulisan Arab. Ayah saya dibesarkan oleh ibu angkatnya, orang Minang Asli  dan diberi nama Qasim yang terus melekat, hanya diubah penulisannya menjadi Kasim. Maka tidak mengherankan, di rumah bahasa yang kami gunakan adalah bahasa Padang.
Mohon maaf, saya tidak berani menyebut "Bahasa Minang", karena saya bukan orang Minang, melainkan orang Padang. Walaupun lahir di Padang, Sumatera Barat, bilamana bukan beragama Islam, maka menurut tradisi, tidak dibenarkan menamakan dirinya "Orang Minang". Walaupun tidak ada aturan tertulis dan juga tidak ada perda yang mengaturnya, tetapi semua orang menerima keputusan ini.
Orang Tionghoa Pertama yang Berani Membawa Anak Istri Tidur di Rumah Orang Kampung
Tanpa bermaksud mengangkat diri sendiri menjadi "pahlawan kesiangan", tapi saya berani mengatakan bahwa pada masa itu, satu-satunya orang Tionghoa yang berani mengambil resiko membawa anak-anak dan istri untuk menginap di rumah orang kampung adalah kami. "Senjata" yang kami bawa hanya satu, yakni kemampuan berbahasa Padang  dan memahami tata krama di kampung. Kami menginap di Simabur, Batusangkar dengan hanya beralaskan tikar. Makan bersama seluruh anggota keluarga Pak Rusnam yang kami tumpangi, tanpa ada rasa risih sama sekali.
Namun begitu selesai makan sekenyangnya dengan dendeng batokok, eee sudah dijemput oleh tetangga Pak Rusnam. Nah, agar mereka tidak berkecil hati, maka kami datang ke rumahnya dengan ditemani oleh Pak Rusnam.Â
Makan Lagi