Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pelajaran Hidup yang Paling Berharga

19 Januari 2020   04:01 Diperbarui: 19 Januari 2020   04:30 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ket.foto: berada di Padang pasir,sungguh terasa diri kita kecil dan tak berdaya/dok.pribadi

Setelah Berkali-kali Hadapi Maut

Hidup adalah proses pembelajaran diri tanpa akhir. Sewaktu masih muda, saya berani melakukan apa yang teman-teman lainnya tidak berani. Misalnya, memanjat pohon kelapa yang paling tinggi ketika kami berkunjung ke Pulau Pisang di lepas Pantai Padang.

Maka demi kebanggaan diri, apalagi disaksikan begitu banyak orang, maka hanya saya dan teman saya Lie Tek Ho yang berani memanjat pohon tersebut. Padahal angin bertiup kencang dan bila terjatuh, dibawah sudah menantikan batu karang.

Syukurlah kami berdua selamat, walaupun kedua tangan dan dada kami penuh luka, tergores pohon kelapa ketika kami turun.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi

Hampir Tenggelam di Laut
Saking hobi memancing, maka saya jadi lupa diri.  Walaupun sudah diingatkan oleh para nelayan agar saya tidak melanjutkan mendayung sampan ke laut karena badai, tapi saya tetap nekat. Akibatnya sampan terbalik. 

Saya mencoba berenang, tapi apa daya melawan ombak besar. Ketika tenaga saya sudah terkuras habis dan sesaat lagi akan tamat riwayat saya, tiba-tiba datang nelayan dengan perahu motor menyelamatkan saya.

Hampir Mati Tertusuk Bambu Runcing
Selain dari hobi mancing, saya juga hobi berburu tupai. Apalagi kedatangan saya setiap hari Minggu ditunggu orang kampung, karena saya dianggap sosok penolong menyelamatkan kelapa mereka dari tupai-tupai yang selalu membolongi kelapa mereka.

Ada peribahasa, "Sepandai-pandai tupai melompat, sekali waktu akan jatuh juga". Namun kali ini yang terjadi justru saya yang terpeleset dan jatuh. Hal ini diakibatkan rasa sok hebat dalam diri saya sebagai anak muda.

Ketika tupai yang saya tembak jatuh di balik pagar penduduk, maka saya memanjat pohon kelapa dan dengan meniru gaya di film kungfu sambil sebelah tangan memegang senapan, saya melompati pagar bambu runcing yang ada di sana. Tapi ternyata celana saya tersangkut dan saya terjatuh persis di atas bambu runcing. 

Terasa benar bambu runcing menancap masuk dari paha saya terus menembus hingga ke batas perut. Sesaat saya mengira, riwayat saya akan tamat hingga di sana. Tapi masih bersyukur, bambu runcing hanya menembus daging paha hingga persis di batas perut.

Saya minta bantuan teman saya Herman yang selalu mendampingi saya setiap berburu. Tapi jangankan menolong, malah baru melihat luka saya saja Herman langsung pingsan.

Orang kampung pun tidak ada yang berani membantu mencabut bambu yang masih menancap di paha saya, Maka dengan menahan rasa sakit. saya cabut bambu tersebut,tapi sebagian tertinggal dalam daging. Gimana rasanya? Ya nggak perlu rasanya saya tulis di sini.

Singkat cerita, saya robek kaus dalam dan digunakan untuk membalut luka, agar tidak terlalu banyak mengeluarkan darah. Setelah Herman siuman, saya masih harus memboncengnya dengan sepeda, sambil menahan sakit.

Dikejar Marinir AS di Hawaii
Pernah saya mengemudikan kendaraan di Pearl Harbour - Hawaii. Karena baru pertama kali berkunjung ke sana, maka saya tidak sadar bahwa saya memasuki daerah terlarang, karena merupakan base camp Marinir AS.

Baru sadar ketika tiba-tiba ada jip tentara mengejar dan menghadang di depan kendaraan yang saya kemudikan. Syukur setelah saya minta maaf karena pertama kali ke sana dan mereka melihat dalam kendaraan ada istri dan anak-anak kami yang masih kecil, maka setelah diperingatkan, saya diizinkan meninggalkan tempat,

Seandainya mereka tidak bertanya dan langsung menembak, maka saya tidak akan dapat menceritakannya lagi.

Semakin  Bertambah Usia, Semakin Tahu Diri
Sesungguhnya masih banyak lagi kisah horor kehidupan yang pernah saya alami, tapi cukuplah yang ini saja. Belajar dari berbagai pengalaman yang menyakitkan dan hampir merenggut nyawa. Saya semakin sadar diri agar lebih berhati-hati dan semakin tahu bersyukur kepada Tuhan. Bayangkan orang jatuh satu kali saja ,langsung tewas,sedangkan saya jatuh belasan kali,tapi masih hidup. kelak masih harus di operasi lagi ,sebanyak 4 kali dan syukur saya masih diizinkan Tuhan untuk tetap tinggal di dunia ini.

Kini dalam usia ke 77 tahun,saya selalu hati hati dalam bertindak dan dalam mengemudikan kendaraan. Setiap kejadian dalam hidup ,saya jadikan pelajaran berharga dan semakin memperbesar rasa syukur saya kepada Tuhan,dengan jalan menghargai karunia hidup,

Sungguh benar kata peribahasa, "Belajar sejak dari buaian, hingga akhir hayat"

Tjiptadinata Effendi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun