Apakah Pertanda Kesantunan Sudah Tidak Lagi Dibutuhkan di Era Digital Ini?
Pagi ini saya melakukan pembersihan file foto-foto yang jumlahnya sudah ribuan. Semua foto yang bernilai "sampah" adalah sasaran utama saya untuk membuangnya ke keranjang sampah. Yakni foto-foto editan yang intinya tebar kebencian dan tebar sara.
Kemudian menyusul foto-foto yang "aduhai" dalam berbagai pose. Entah mengapa foto-foto amburadul tersebut bisa hinggap, bahkan bersarang dalam file. Sungguh saya tidak tahu. Maklum, sejujurnya nilai saya dalam hal teknik utak-atik komputer adalah nol besar.
Sebagian dari foto-foto masih saya "save" antara lain, foto yang membuat hati saya terluka membacanya, karena foto "hot" ini justru terpajang di jalan raya, di kota yang merupakan kampung halaman saya yang tercinta, yakni Kota Padang.
Saya tidak ingat lagi apakah sudah pernah menulis tentang hal ini atau belum, tapi tidak masalah kalau saya tulis ulang. Karena yang bisa basi hanyalah nasi dan sambal, sedangkan hal-hal yang dapat dijadikan pelajaran berharga, tentu tetap relevan, lintas waktu dan tempat.
Bahasa preman dimaksud adalah bahasa yang biasa digunakan di kalangan preman pasar dan calo-calo di terminal, yang tentu tidak perlu saya contohkan di sini. Karena kosa kata yang buruk, tidak perlu diajarkan, sebab pada umumnya orang lebih mudah mengingat yang buruk, ketimbang yang baik.
Suatu waktu, ketika berkesempatan pulang kampung bersama istri tercinta, sewaktu kendaraan yang disupiri sahabat saya membawa kami melaju di jalan utama Kota Padang, mata saya mendadak tersentak menengok sebuah tulisan yang terpajang di gerbang jalan raya.
Serasa tidak percaya akan pandangan mata, maka saya minta pada sahabat saya untuk memutar balik kendaraan. Dalam hati, sangat berharap bahwa saya salah membaca tulisan yang terpampang di gerbang jalan tersebut.
Namun, hati saya terasa terluka membaca kalimat-kalimat yang menurut saya sungguh tidak pantas. Walaupun tidak ditujukan kepada diri pribadi, tetapi sebagai orang yang dilahirkan dan dibesarkan di Padang saya sungguh merasa terluka.
Apakah para pejabat di Padang tidak membacanya atau sudah membaca dan menganggap bahwa bahasa preman tersebut memang layak dipajang? Sungguh saya tidak berani memastikan.
Sarat dengan Petata Petiti
Sebagai orang yang dilahirkan di era Dai Nippon, sejak lahir saya belajar bahasa Padang.Saya sungguh kagum membaca petata petiti yang sarat pesan moral mendalam. Antara lain:
- Nan kuriek lundi, nan sirah sago
- nan elok budi, nan indah baso
Yang dapat diterjemahkan secara bebas, "Yang baik itu adalah budi pekerti dan yang indah adalah bahasa". Tapi mengapa bahasa preman bisa terpajang di jalan utama Kota Padang ini? Apakah di era digital ini rasa kesantunan sudah tidak lagi dibutuhkan? Entahlah, saya sungguh jadi galau menyaksikan kembali foto-foto yang "aduhai " ini
Apakah di kota lain juga seperti ini?
catatan tambahan: foto ini diambil 2 tahun lalu, mudah-mudahan kini sudah tidak ada lagi spanduk semacam ini. Kalau dulu saya tinggal bertetangga dengan Syahrul Ujud SH yang menjadi Walikota Padang, saya berani telepon langsung. Tapi kini saya sudah jadi orang luar dan tidak punya akses lagi untuk menyampaikan hal ini, maka saya tuangkan dalam tulisan ini, dengan harapan kampung halaman saya kembali santun seperti dulu.
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H