Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014 - The First Maestro Kompasiana

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Siapkah Kita Melepas Popularitas Diri demi Keluarga?

23 Desember 2019   04:33 Diperbarui: 23 Desember 2019   04:57 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: depositophotos.

Kesuksesan Dalam Hal Apapun Tidak Berarti ,Bila Keluarga Tidak Dapat Ikut Menikmati

Menjadi orang penting dan ditunggu tunggu kehadirannya,tentu saja menyenangkan hati. Berarti diri kita mendapatkan tempat terhormat dalam hati orang banyak. 

Tetapi bila popularitas diri, hanya dapat dirasakan secara pribadi dan sama sekali tidak dapat dirasakan manfaatnya bagi keluarga, maka hal tersebut, sama sekali tidak ada artinya.

Mengapa Keluarga Adalah Urutan Prioritas Utama dalam Hidup Kita?
Pada awal pernikahan, pasangan suami istri sepakat, bahwa keluarga adalah prioritas utama dalam mengarungi samudra kehidupan ini.

Apapun alasannya, bila salah satu dari pasangan atau salah satu dari anggota keluarga ada yang sakit, maka semua urusan lain, akan ditunda. Sehebat apapun pertandingan tinju atau sepak bola, tapi tv di rumah di off kan, demi rasa cinta kepada anggota keluarga yang lagi terbaring sakit. Baku soal jawab di WAG dan diberbagai media sosial diabaikan karena rasa empathy kepada yang sakit.

Akan tetapi seiring dengan perjalanan waktu dan berbagai kesibukan serta berpacu dalam meraih rejeki, falsafah hidup bahwa : "family is the first" secara tanpa sadar mulai tergerus arus kehidupan.

Orang mulai mencari alasan,untuk pembenaran diri. Dengan alasan,toh  tidak sakit parah atau tidak emergency, maka suami atau istri ,tidak lagi memerlukan untuk pulang kerumah, karena ada urusan yang perlu diselesaikan Merasa cukup hanya dengan menelpon dan urusan dianggap sudah selesai

Jangan Mempertaruhkan Keluarga

Sebesar apapun hasrat hati untuk mengubah hidup menjadi semakin maju dan sejahtera, namun jangan sampai mempertaruhkan keutuhan rumah tangga. Karena bila rumah tangga sudah berantakan maka segala kekayaan yang dimiliki, sudah tidak berarti apapun lagi. Karena itu kesepakatan awal pernikahan bahwa keluarga adalah prioritas utama, tidak boleh ditawar tawar. 

Belajar Dari Kegagalan Orang Lain

Pak Chandra, salah seorang teman saya di Jakarta, termasuk kaya .Sewaktu tahun lalu,kami pulang ke Indonesia, menyempatkan diri untuk singgah ke rumahnya bernilai lebih dari 10 M dan di garasi tampak 2 kendaraan mewah,masih dalam plastik. Rumahnya di bilangan Cinere, tak ubahnya bagaikan istana dengan pekarangan luas dan taman indah. 

Tapi ,dengan menangis ia berkata kepada saya: "Pak Effendi, kalau saya masih bisa memilih,saya akan memilih hidup seperti pak Effendi. Tidak kaya, tapi bisa menikmati hidup berbahagia bersama istri tercinta., sungguh.

Saya sudah melakukan kesalahan, yakni mengejar impian saya untuk meraih kesuksesan di bidang bisnis,tapi saya sudah kehilangan keluarga yang saya cintai. Secara fisik, semuanya masih tinggal di rumah ini, tapi hati mereka sama sekali sudah tidak ada pada saya. Sudah terlambat untuk memperbaiki, apa yang sudah saya hancurkan selama bertahun tahun...

Kemudian pak Candra ,teman saya terdiam dan tak mampu berkata kata lagi. Tampak air matanya menetes di lantai . Dan saya juga terdiam. Tak mampu saya mengeluarkan kata kata hiburan.

Perlu Mengatur Waktu
Sesibuk apapun diri kita, sesungguhnya selalu ada waktu ,walaupun hanya sejenak yang dapat diefektifkan bersama keluarga. Setidaknya pada hari Sabtu dan Minggu. 

Untuk menciptakan keharmonisan dan kedamaian dalam rumah tangga, tidak harus menunggu hingga hidup serba berkecukupan. Yang terpenting, adanya cinta kasih yang tulus di dalam keluarga. Jangan sampai ,begitu terobsesinya mengejar materi, sehingga justru kehilangan sesuatu yang tidak ternilai, yakni kasih sayang anak dan istri.

Belajar dari pengalaman sendiri tentu saja sangat baik,karena pengalaman adalah guru terbaik.Tetapi kita perlu juga belajar dari kegagalan orang lain dalam merawat keharmonisan dalam rumah tangga,agar kita jangan sampai terperosok di lubang yang sama

Tjiptadinata Effendi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun