Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014 - The First Maestro Kompasiana

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Inilah Rumah di Mana Saya Dilahirkan di Era Dai Nippon

1 Oktober 2019   04:45 Diperbarui: 1 Oktober 2019   04:58 1018
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ket.foto: gambar rumah kami tempo dulu,di jalan kali kecil 4 ,Pulau Karam,Padang/dokumentasi pribadi

Gambaran Masa Kecil Yang Tak Pernah Pupus

Orang orang yang memang beruntung terlahir dalam keluarga kaya raya tentu dengan senang hati dan berbangga bisa menceritakan tentang kehidupannya semasa kecil. Dari menampilkan gambar rumah yang dibangun megah, mobil mewah keluarga hingga segala macam kemewahan yang tersedia.

Akan tetapi seandainya kita kurang beruntung karena dilahirkan dalam keluarga miskin dan tinggal di kampung, apakah kita perlu merasa malu sehingga berusaha untuk menutupi masa lalu kehidupan keluarga besar kita? Jawabannya, tentu terpulang kepada pribadi masing masing.

Tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat memilih dimana ia akan dilahirkan. Sebagai suku bangsa apa dan dalam keluarga mana? Dan saya termasuk salah satu di antara sekian juta orang yang lahir dalam keluarga miskin pada waktu itu.

Lahir Di Zaman Jepang

Saya beruntung,masih bisa bercerita tentang masa lalu di mana saya dilahirkan karena ada banyak teman-teman seusia saya yang sudah tidak dapat lagi bercerita.

Malam tadi ketika melihat album foto semasa masih di SMA Don Bosco Padang, entah mengapa, mata saya basah mengingat dari wajah-wajah yang tampak di foto teman-teman sekelas di SMA kelas 3. Hanya tersisa beberapa orang saja lagi. Bahkan rencana mau membesuk salah seorang teman sekelas saya Fauzia, ternyata tidak mungkin lagi bisa terjadi karena minggu lalu dapat kabar bahwa teman sekelas saya ini sudah harus kembali menghadap Sang Maha Pencipta.

Kembali ke judul tulisan. 

Menurut catatan di akta kelahiran, saya dilahirkan di kota Padang, pada tanggal 21 Mei tahoen 1943, pada jam 2.00 pagi waktu Dai Nippon. Saya merupakan anak ke 8 dari total 11 orang bersaudara.

Kalau kini, KB pengertiannya adalah Keluarga Berencana, tapi tempo doeloe KB adalah Keluarga Besar.

Falsafah yang trending pada masa itu adalah "Banyak anak, banyak rezeki". Karena dipercaya bahwa setiap anak lahir membawa rezeki masing-masing. 

Kedua orang adik saya yang terkecil meninggal dalam usia masih kecil. Ayah saya Kusir Bendi. Pada waktu adik saya sakit saya diminta ibu untuk mencari ayah saya memberitahukan bahwa adik semakin parah.

Ayah saya pulang namun sudah terlambat karena adik saya sudah pergi untuk selama-lamanya.

Saya masih ingat bagaimana ibu saya meratap sedih dan mengatakan kepada ayah saya, sudah tahu anak sakit parah, mengapa masih terus menambang?

Dan ayah saya menjawab sedih, "Kalau tidak menambang, kita tidak bisa makan hari ini."

Berturut turut adik saya meninggal dalam usia yang masih kecil. Saya ikut mengantarkan kedua adik saya ke pemakaman di Bukit Sentiong -Padang. 

Tidak ke dokter? Untuk makan saja sudah susah apalagi untuk membayar dokter. Pada masa itu dokter hanya untuk orang kaya. Kalau orang miskin sakit cukup digosok minyak kayu putih atau panggil dukun beranak yang dianggap tahu segalanya.

Kami Dididik Hidup Disiplin 

Ibu saya adalah wanita sangat pengasih dan penyayang, sedangkan ayah mendidik kami sangat disiplin.

Suatu waktu ketika musim layangan, sebagai seorang anak yang baru berusia 9 tahun, tentu saya juga ingin menikmati liburan sekolah dengan main layangan. Tapi mau beli tentu adalah hal mustahil bagi kami. Karena itu saya ingin membuat layangan sendiri. Tapi butuh bambu, sebagai bahan dasar.

Saya tengok pagar tetangga terbuat dari bambu. Maka saya mencoba mematahkan sebagian untuk dijadikan layangan. Tapi akibatnya, telapak tangan saya robek, tersayat sembilu. Tampak pada awalnya daging saya memutih dan sesaat kemudian darah membasahi telapak tangan saya. 

Sambil tetap memegang sepotong bambu curian tersebut, saya lari masuk ke dapur Ibu saya kaget dan langsung merakit obat luka dengan menumbuk bawang yang dicampur sesendok gula pasir. Kemudian membalutkan pada telapak tangan saya untuk menghentikan perdarahan.

Tapi belum selesai dibalut, tiba-tiba ayah saya datang dan bertanya apa yang terjadi. Mana berani saya bohong pada ayah?

Maka saya ceritakan bahwa saya sudah mengambil bambu dari pagar tetangga. Ayah saya sangat berang dan berkata, "Kita memang keluarga miskin, tapi kita bukan maling, mengerti!?"

"Ayo, pulangkan kembali dan minta maaf pada tetangga," perintah ayah waktu itu.

Disiplin Diri,Kejujuran Dan Kasih Sayang

Contoh teladan dari ayah dan ibu kami alm yakni, disiplin diri, kejujuran, dan kasih sayang telah membentuk kami anak-anaknya tumbuh dan menjadikan falsafah tersebut sebagai landasan dalam menjalani hidup dan saya salah satu yang bersyukur dilahirkan dalam keluarga miskin harta, tapi kaya dalam berbudi.

Terkadang saya merasa bagaikan mimpi, terlahir dari keluarga miskin, kami bisa menikmati hari-hari tua kami dengan hidup berkecukupan.

Sungguh, Maha Besar Tuhan!

***

Renungan pagi

Tjiptadinata Effendi

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun