Kedua orang adik saya yang terkecil meninggal dalam usia masih kecil. Ayah saya Kusir Bendi. Pada waktu adik saya sakit saya diminta ibu untuk mencari ayah saya memberitahukan bahwa adik semakin parah.
Ayah saya pulang namun sudah terlambat karena adik saya sudah pergi untuk selama-lamanya.
Saya masih ingat bagaimana ibu saya meratap sedih dan mengatakan kepada ayah saya, sudah tahu anak sakit parah, mengapa masih terus menambang?
Dan ayah saya menjawab sedih, "Kalau tidak menambang, kita tidak bisa makan hari ini."
Berturut turut adik saya meninggal dalam usia yang masih kecil. Saya ikut mengantarkan kedua adik saya ke pemakaman di Bukit Sentiong -Padang.Â
Tidak ke dokter? Untuk makan saja sudah susah apalagi untuk membayar dokter. Pada masa itu dokter hanya untuk orang kaya. Kalau orang miskin sakit cukup digosok minyak kayu putih atau panggil dukun beranak yang dianggap tahu segalanya.
Kami Dididik Hidup DisiplinÂ
Ibu saya adalah wanita sangat pengasih dan penyayang, sedangkan ayah mendidik kami sangat disiplin.
Suatu waktu ketika musim layangan, sebagai seorang anak yang baru berusia 9 tahun, tentu saya juga ingin menikmati liburan sekolah dengan main layangan. Tapi mau beli tentu adalah hal mustahil bagi kami. Karena itu saya ingin membuat layangan sendiri. Tapi butuh bambu, sebagai bahan dasar.
Saya tengok pagar tetangga terbuat dari bambu. Maka saya mencoba mematahkan sebagian untuk dijadikan layangan. Tapi akibatnya, telapak tangan saya robek, tersayat sembilu. Tampak pada awalnya daging saya memutih dan sesaat kemudian darah membasahi telapak tangan saya.Â
Sambil tetap memegang sepotong bambu curian tersebut, saya lari masuk ke dapur Ibu saya kaget dan langsung merakit obat luka dengan menumbuk bawang yang dicampur sesendok gula pasir. Kemudian membalutkan pada telapak tangan saya untuk menghentikan perdarahan.