Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jangan Malu Mengaku Tidak Tahu

22 Agustus 2019   17:15 Diperbarui: 22 Agustus 2019   17:54 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: coolnsmart.com/honesty_quotes

Kesalahan yang Terus Berulang

Sejak tempo dulu, kesalahan yang paling sering dilakukan oleh orang yang ditokohkan dalam masyarakat ataupun orang yang menganggap dirinya: "tokoh" penting dalam sebuah komunitas, tidak pernah mau mengaku: "Maaf,saya tidak tahu". Karena merasa dirinya dihormati oleh masyarakat sekitarnya, karena menganggap dirinya orang pintar tempat bertanya,sehingga merasa bahwa ia harus tahu, apapun yang ditanyakan orang.

Akibatnya, lahirlah jawaban yang melantur bahkan berpotensi membodohi masyarakat. Saya masih ingat, ketika masih duduk di bangku SD, adik saya yang paling kecil, entah karena apa tiba-tiba muntah muntah dan demam tinggi. Pada waktu itu, berobat ke dokter hanyalah untuk orang kaya sedangkan ayah saya hanya seorang Kusir Bendi di Padang. Walaupun adik kami sakit cukup parah, tapi ayah tetap membawa bendi seperti biasa karena hanya itulah satu satunya penghasilan yang diharapkan dapat menutupi biaya dapur bagi kami anak anak. 

Segala usaha sudah dicoba. Antara lain, menempelkan daun Mengkudu yang dihangatkan ke perut adik kami dan pisang ditumbuk hingga lumat dan ditempelkan ke kepalanya sebagai pengganti kompres. Tapi sakitnya tetap berlanjut. Mau pinjam uang kepada siapa? Tetangga kami rata rata hidupnya 11 -12 dengan keluarga kami. 

Maka dipanggillah orang pintar, yakni Angku Dukun. Dukun datang dan kemudian mulutnya komat-kamit. Ketika komat-kamitnya berhenti sejenak, maka ibu saya bertanya: "Angku, sakit apa anak saya?"

Angku Dukun, menarik nafas panjang dan menjawab :"Ubun-ubun anak ini dihisap oleh "Palasik Kudung" (semacam vampir). Siapa yang sering singgah di rumah ini?" Tanya Angku Dukun dan saya langsung menjawab: "Tukang Kacang Goreng langganan kami." Nah, itu dia Palasiknya."

Berhenti Langganan Kacang Goreng

Sejak saat itu, anak-anak dilarang beli kacang goreng, Tentu saja saya ikut sedih. Tapi apa boleh buat, daripada dihisap oleh Palasik. Walaupun sudah dijampi-jampi dan dikasih kunyit yang sudah diberi mantra, adik saya akhirnya meninggal. 

Selang seminggu kemudian, ketika saya sedang berlari mengejar layangan putus, tiba-tiba kaki saya tertancap besi paku. Saya coba mencabut, tapi tidak bisa. Saya duduk di tanah dan tak tampak seorangpun yang bisa diminta tolong. 

Tiba-tiba entah dari mana datangnya, Tukang Kacang langganan kami dulu sudah berjongkok di samping saya. Keringat dingin keluar karena terbayang saya akan dihisap oleh Palasik yang berwajah Tukang Kacang. Tapi Tukang Kacang tersebut dengan suara lembut membujuk saya dan membantu mencatu besi paku yang tertancap dalam di telapak kaki saya. Bahkan ia menyobek baju kaos dalamnya untuk membalut luka saya.

Saya jadi terheran heran, ternyata "Palasik" ini sangat baik. Kemudian masih dengan suara ramah bertanya, mengapa saya menjerit menengoknya dan mengapa ia tidak boleh lagi datang kerumah kami? Maka saya jelaskan kepadanya bahwa menurut Angku Dukun, dirinya adalah "Palasik".

Wajahnya tampak sedih dan tampak air mata mengalir dari matanya. Kemudian, ia memegang tangan saya untuk diantarkan pulang. Tentu saja keluarga saya sangat kaget melihat saya dituntun oleh "Palasik". Sebelum sempat keluarga saya salah sangka maka saya langsung berteriak: "Bapak ini orang baik, bukan Palasik. Tadi kaki saya terinjak besi paku, bapak inilah yang menolong saya."

Tukang Kacang Bercerita

"Maaf, ibu saya bukan seperti yang disangkakan. Saya senang pada anak anak, bukan untuk mencelakakan mereka tapi karena saya rindu pada anak saya satu-satunya yang meninggal karena kecelakaan. Ketika menjual kacang goreng di sini sungguh saya sama sekali tidak mengambil keuntungan apapun. Semata-mata, hanya pelepas kangen pada anak-anak." Dan hingga di sini, Tukang Kacang ini tak kuasa menahan pecahnya tangis. 

Kami semua terdiam dan sejak saat itu, Tukang Kacang ini kembali menjadi langganan tetap kami. Sering kali kalau ia datang dan memandang wajah saya, terus bergumam dalam bahasa Padang: "Kalau anak saya masih hidup, ia juga sudah sekolah..." Dan kemudian ia menggelengkan kepala dengan sangat sedih.

Sejak kejadian itu, kami seisi rumah tidak percaya lagi akan yang namanya Dukun atau Orang Pintar. Karena jawabannya: "Asmong ". Kami sampai melukai hati Penjual Kacang goreng yang baik hati tersebut. Karena ternyata Penjual Kacang goreng yang dikatakan Palasik tersebut harinya jauh lebih mulia ketimbang Angku Dukun.

Refleksi Diri

Kisah ini ditulis berdasarkan kejadian yang sudah lama sekali. Tapi masih membekas dalam di hati serta menjadi pelajaran berharga kalau ada yang bertanya sesuatu dan kita tidak tahu jawabannya, maka jawablah sejujurnya: "Maaf, saya tidak tahu." 

Hal ini sama sekali tidak akan menurunkan level kita di mata orang, malahan akan semakin dihargai. Ketimbang: "asmong" atau "asbun" yang dapat menimbulkan petaka bagi orang lain.

Karena di dunia ini, sepintar apapun seseorang bahkan seorang professor, tidak mungkin mengetahui segala sesuatu. Hanya Tuhan Yang Mahatahu.

Tjiptadinata Effendi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun