Wajahnya tampak sedih dan tampak air mata mengalir dari matanya. Kemudian, ia memegang tangan saya untuk diantarkan pulang. Tentu saja keluarga saya sangat kaget melihat saya dituntun oleh "Palasik". Sebelum sempat keluarga saya salah sangka maka saya langsung berteriak: "Bapak ini orang baik, bukan Palasik. Tadi kaki saya terinjak besi paku, bapak inilah yang menolong saya."
Tukang Kacang Bercerita
"Maaf, ibu saya bukan seperti yang disangkakan. Saya senang pada anak anak, bukan untuk mencelakakan mereka tapi karena saya rindu pada anak saya satu-satunya yang meninggal karena kecelakaan. Ketika menjual kacang goreng di sini sungguh saya sama sekali tidak mengambil keuntungan apapun. Semata-mata, hanya pelepas kangen pada anak-anak." Dan hingga di sini, Tukang Kacang ini tak kuasa menahan pecahnya tangis.Â
Kami semua terdiam dan sejak saat itu, Tukang Kacang ini kembali menjadi langganan tetap kami. Sering kali kalau ia datang dan memandang wajah saya, terus bergumam dalam bahasa Padang: "Kalau anak saya masih hidup, ia juga sudah sekolah..." Dan kemudian ia menggelengkan kepala dengan sangat sedih.
Sejak kejadian itu, kami seisi rumah tidak percaya lagi akan yang namanya Dukun atau Orang Pintar. Karena jawabannya: "Asmong ". Kami sampai melukai hati Penjual Kacang goreng yang baik hati tersebut. Karena ternyata Penjual Kacang goreng yang dikatakan Palasik tersebut harinya jauh lebih mulia ketimbang Angku Dukun.
Refleksi Diri
Kisah ini ditulis berdasarkan kejadian yang sudah lama sekali. Tapi masih membekas dalam di hati serta menjadi pelajaran berharga kalau ada yang bertanya sesuatu dan kita tidak tahu jawabannya, maka jawablah sejujurnya: "Maaf, saya tidak tahu."Â
Hal ini sama sekali tidak akan menurunkan level kita di mata orang, malahan akan semakin dihargai. Ketimbang: "asmong" atau "asbun" yang dapat menimbulkan petaka bagi orang lain.
Karena di dunia ini, sepintar apapun seseorang bahkan seorang professor, tidak mungkin mengetahui segala sesuatu. Hanya Tuhan Yang Mahatahu.
Tjiptadinata Effendi