Awalnya mereka mengira saya dari Turki, tapi setelah saya jelaskan bahwa saya dan istri dari Indonesia, maka keduanya tampak senang.Â
Yang paling banyak berbicara adalah Mohammad Rofiq, sedangkan temannya hanya mendengarkan sambil tersenyum. Dan Rofiq mulai bercerita bahwa mereka datang dari Pakistan ke Australia dalam tugas Syiar agama islam. Agar mereka tidak kecewa, maka saya katakan "Sorry Mr.Rofiq. I am not Muslim. I am Catholic".
Ternyata bukannya kaget, malahan tertawa ngakak, "My Friend Effendi, you don't have to say "sorry" because we are different  now, we are friends." Katanya sambil menepuk pundak saya.
Maksudnya mau akrab, tapi tulang bahu saya serasa mau remuk. Habis tubuhnya sebesar itu dan  usianya belum 50 tahun.
5 Menit Kami Saling Bertukar Nomor Ponsel
Dalam waktu tidak sampai 5 menit, kami sudah membangun jembatan  persahabatan. Sebelumnya, bagi saya keduanya adalah orang asing dan pasti bagi mereka juga begitu.
Tapi setelah 5 menit berkomunikasi dari hati ke hati, kami sudah menjadi teman. Bahkan ketika akan pulang ke negara asal mereka masih menyempatkan pamitan via WA.
Nah, kalau orang asing bisa menjadi teman, masa iya saudara sendiri di jadikan musuh? Kita semua berbeda, tapi kita semua bersaudara. Tapi in menurut saya, bagaimana menurut teman teman semuanya?
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H