Membuka Hati Untuk Persahabatan
Setiap kali ada berita trend yang membahas tentang: "double minoritas", saya selalu terpana. Mencoba mengingat-ingat, apakah sepanjang perjalanan hidup saya yang sudah melalui tiga perempat abad ini pernah ditolak untuk berbaur dengan berbagai komunitas? Walaupun sudah berusaha untuk mengingat ingat, bahkan bertanya kepada istri saya, tapi jawabannya adalah sama, yakni kami sama sekali tidak merasa diri kami sebagai double minoritas.
Sejujurnya memang ada yang mengkhawatirkan keselamatan kami berdua ketika untuk pertama kalinya kami berkunjung ke Banda Aceh.
Saya sangat memahami bahwa teman teman yang memberikan nasihat agar membatalkan niat kami untuk ke sana.. Karena menurut teman teman kami berdua menyandang predikat "double minoritas".
Mengingat bahwa hukum di Banda Aceh sangat keras.maka ada rasa kuatir kedatangan kami akan menyebabkan kami ditimpa masalah. Baik karena warna kulit yang berbeda, budaya yang tidak sama, cara berpakaian berbeda dan yang paling dikuatirkan adalah agama yang kami imani berbeda dengan warga lokal.
Saya hanya mengucapkan terima kasih atas niat baik mereka dan mengatakan bahwa saya dan istri dilahirkan dan dibesarkan di daerah Sumatera Barat yang penduduknya sekitar 97 persen beragama Islam dan tidak pernah  terjadi masalah apapun.
Bahkan kami sudah bagaikan satu keluarga sejak dulu dan hubungan baik tersebut hingga kini masih terus berlanjut.
Satu satunya yang kami banggakan dalam hidup ini adalah kami bisa merajut hubungan persahabatan dengan beragam suku yang tersebar di seluruh nusantara ini.
Hubungan baik tersebut terus berlangsung sejak dulu hingga kini terus berlanjut. Saking merasa akrab, banyak yang memanggil kami "Ayah dan Bunda".