Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tidak Merasa Berbuat Kebaikan

11 Mei 2019   19:03 Diperbarui: 11 Mei 2019   19:12 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kami berbeda suku dan agama,tapi diterima dengan hati terbuka/foto di Mataram /dokumentasi pribadi

Tapi Dikala Menua Berbagai Kemudahan Datang Tanpa Disangka

Dalam berbisnis, yang dimaksudkan dengan modal barang bukanlah ketika barang dibeli,tapi harus ditambahkan dengan biaya produksi serta bunga bank yang harus dibayar. sehingga ketika barang dijual,semua sudah dikalkulasikan.sehingga mendapatkan keuntungan sesuai yang diharapkan. 

Tapi ketika berhadapan dengan hal-hal yang bersifat kemanusiaan, maka logika dagang, sudah tidak lagi berlaku. Karena menolong, ya menolong, tanpa ada pakai kata: "tetapi"

Menolong mengantarkan tetangga yang mau melahirkan ditengah malam, bagi saya bukan sebuah perbuatan baik,melainkan sebuah kewajiban ,sebagai orang bertetangga. Menyaksikan ada anak terkapar berlumuran darah di jalan ,saya langsung menghentikan kendaraan dan mengantarkan ke rumah sakit,serta membayarkan semua biaya pengobatannya,juga bukan sebuah perbuatan baik, melainkan sebuah kewajiban sebagai sesama manusia. 

Karena ketika saya terjatuh  dari sepeda motor, sewaktu menjemput istri saya yang pada waktu itu lagi kuliah di IKIP Padang, saya tidak sadar diri. Yang menolong saya ,adalah orang yang sama sekali tidak saya kenal dan mereka sama sekali tidak menagih biaya apapun,karena telah berbaik hati mengantarkan saya kerumah sakit,serta menjemput istri saya yang sedang berada di kampus IKIP -Air Tawar di kota Padang.

Atau ketika saya hampir tenggelam di laut ketika naik sampan dan disambut badai ,ada nelayan yang menolong menyelamatkan saya,padahal saya sama sekali tidak kenal dengan mereka.

Begitu juga ketika saya terserang malaria dan  demam tinggi dalam perjalanan dengan  bus ALS, saya dikasih sepotong ubi rebus yang masih hangat oleh bu Halimah, yang bukan siapa siapa saya, tapi memperlakukan diri saya,tak ubahnya seperti anaknya sendiri. Di lain waktu, ketika jembatan putus dan seisi bus harus menginap dalam salah satu Masjid yang ada di pinggiran kota Medan dan saya tidak membawa bekal makanan, ada pak Haji Syaifullah yang mengajak saya makan nasi ,sebungkus berdua. 

Padahal saya sudah katakan,bahwa saya non  Muslim .Namun pak Haji Syaifullah mengatakan :" Nak,untuk berbagi sesuap nasi,tidak harus mencari orang seiman,karena kita semua adalah ciptaan Allah. "

palangkaraya-1-5cd6b9663ba7f732b41bee36.jpg
palangkaraya-1-5cd6b9663ba7f732b41bee36.jpg
Palangkaraya/dokumentasi pribadi

Pelajaran Hidup Yang Sangat Berharga

Berbagai peristiwa hidup,yang tidak mungkin saya tuliskan semuanya disini,telah mengajarkan saya,bahwa hidup itu harus tolong menolong,tanpa memilih dan memilah kenal atau tidak. Sebagai sesama manusia,kita wajib tolong menolong,tanpa membedakan suku ,budaya dan agama orang.Maka ketika menolong orang,sama sekali saya tidak merasa sudah melakukan sebuah perbuatan baik,melainkan  merupakan kewajiban sebagai sesama umat manusia

Berbeda total,ketika saya menaman biji Alpukat ,maka saya berharap dalam waktu beberapa tahun kemudian akan dapat memetik hasilnya.Begitu juga ketika saya menanam sekitar 500 pohon kelapa di tanah yang saya beli di Kinali ,Pasaman ,saya berharap kelak akan panen buah kelapa.Tapi ketika kelak tanah diserobot orang,sehingga jangankan memetik hasil panen kelapa,malahan tanah yang saya beli, sudah dikuasai orang lain. Hal ini ,terus terang menimbulkan rasa kecewa dalam diri,walaupun tidak sampai berlarut larut.

Bagaikan Mimpi 

Saat ini, saya lagi duduk diruang tamu di rumah dimana kami tinggal. Istri saya sibuk mengerjakan pekerjaan tangan,menggunting dan merakit krtas kertas menjadi aneka ragam pajangan yang indah. Ada rasa syukur yang melambung tinggi ,merasakan betapa diusia yang sudah tidak mudah lagi,justru tanpa perlu berkerja keras seperti sewaktu masih muda,berbagai kelimpahan datang kepada kami. Mulai dari rumah tempat tinggal yang disediakan oleh putra kami,dikasih mobil agar kami bisa kemana mana,tanpa harus menunggu bis dan kereta api. Setiap bulan,rekening kami selalu bertambah,karena mendapatkan tranfer dana dari anak anak kami.

Ketika kami ke Italia dan tinggal selama satu bulan,sejak dari awal kedatangan hingga kepulangan,kami tidak diperbolehkan membuka dompet,karena semua sudah dipenuhi oleh adik kami Margaretha dan suaminya Sandro, Mulai dari kamar tidur di apartement,makan pagi siang dan malam,jalan jalan kemana mana ,naik kapal pesiar dan seterusnya,kami dilarang keras mengeluarkan uang.

Begitu juga ketika kami singgah di negeri Belanda ,kami dijemput oleh tante kami Yet dan suaminya Ronald,maka hal yang berlaku di Italia,ternyata juga berlaku disini,yakni kami tidak boleh mengeluarkan uang,karena semua kebutuhan kami sudah dipersiapkan. 

Pulang Kampung

Januari lalu,kami pulang kampung dan memanfaatkan waktu untuk bertemu dengan mantan murid dan teman teman,sertai sanak famili. Tapi kami yang mengundang,ternyata semua biaya di bayar oleh mantan murid kami dan keponakan kami.Bahkan masih dikasih Angpau dalam jumlah yang cukup besar dan beragam oleh oleh,seperti batik tulis dan kain aneka ragam.

Masih disusul oleh undangan makan malam dari teman teman di Bandung ,Ternyata disana kami sudah ditunggu oleh sekitar 30 orang teman teman yang sudah lama tidak bertemu. Dijakarta,tentu tidak lupa,putra kedua kami mengajak kami berdua makan direstoran Korea.di Kelapa Gading.Dan ketika minggu lalu,kami menghadiri acara pernikahan anak  dari keponakan kami, ternyata penginapan di Grand Mecure ,termasuk konsumsi ,sudah dilunasi oleh keponakan kami.  Begitu juga ketika acara makan direstoran ,kami tidak boleh membayar.

Berbagai Souvenir 

Dari teman teman ,kami banyak menerima beragam souvenir.Termasuk dari teman teman di Kompasiana,tapi karena sudah dibisikan :"Jangn bilang bilang" maka tentu tidak etis bila saya sebutkan nama nama yang memberikan hadiah kepada kami.Biarlah Tuhan yang membalas dengan berbagai kelimpahan.

Semua hadiah dari teman teman,saya bawa ke Australia. Karena sekecil apapun hadiah,bagi kami merupakan sebuah kehormatan yang tidak ternilai,Bahkan batu cincin ,pemberian dari teman kami di Aceh,hingga saat ini,masih saya simpan dengan baik.

Kata orang ,ini adalah bagian dari hukum tabur tuai.Siapa yang menabur,akan menuai.Tetapi dalam hati kecil,saya sama sekali tidak pernah merasa telah menabur kebaikan,yang saya lakukan adalah menjalankan kewajiban sebagai sesama manusia dan tak pernah berharap akan menerima imbalam dalam bentuk apapun.namun setiap pemberian orang,tentu patut dihargai setinggi tingginya.Dan yang tidak kurang pentingnya,kami berdua selalu diterima dimana saja ,bukan hanya dengan tangan terbuka,tapi juga dengan hati yang terbuka,dari Sabang hingga ke Merauke. Ini bukan slogan  kosong ,tapi benar benar telah kami kunjungi.Termasuk ke kota Palangkaraya,yang belakangan disebut sebut ,sebagai salah satu kota alternatif  yang akan dijadikan ibu kota Indonesia

Tulisan ini,hanya merupakan renungan diri .Siapa tahu ada manfaatnya yang dapat dipetik oleh setiap orang yang membaca tulisan ini

Tjiptadinata Effendi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun