Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Permainan Politik Senilai Secangkir Kopi

16 September 2018   17:29 Diperbarui: 16 September 2018   18:09 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebelum wabah politik merasuk keseluruh sendi sendi kehidupan berbangsa dan bertanah air, sesungguhnya secara diam-diam, secara perorangan sudah ada yang mengaplikasikan kemampuan politik praktisnya dalam hubungan  berinteraksi dalam masyarakat.

Bedanya, kalau dalam mempelajari dan mempraktikan berbagai displin ilmu yang pernah dipelajari biasanya orang harus mengeluarkan dana sewaktu mempraktikkannya. Contoh sederhana bila orang sudah secara matang mempelajari teori cara mengemudikan kendaraan dengan benar, maka ia perlu seseorang yang mendampingi  untuk mempraktikkan on the road. 

Dan pelajar harus mengeluarkan sejumlah biaya untuk orang yang bersedia mendampinginya mengemudikan kendaraan. Setidaknya, kalau yang mendampingi adalah sahabat baik atau masih ada hubungan kekeluargaan, maka tidak harus membayar dalam bentuk cash by cash, tapi setidaknya ya, mengundang minum kopi sebagai ungkapan rasa terima kasih.

Politik Itu Memang Beda Banget

Seperti kata pribahasa" Beda sungai beda pula buayanya", maka begitu juga halnya dengan belajar "ilmu  politik" untuk politik kelas buaya dan kelas kakap, pertukaran info dinilai dalam hitungan nominal Miliar bahkan konon puluhan miliar rupiah. Untuk tingkatan politik kelas teri dihitung dalam takaran sekarung beras, sedangkan dalam tingkat pembelajar politik tak berkelas atau tidak termasuk dalam kasta manapun, ternyata beda pula takarannya.

Pengalaman Pribadi Bersama Pembelajar Politik 

Tahun lalu kami sempat pulang ke Indonesia. Dan karena baru pulang,unit apartement kami masih belum sempat dirapikan. Maka esok pagi, kami turun lantai bawah ke salah satu Cafe yang termasuk elite di sana. Hal ini, mungkin hanya sekali setahun kami lakukan. Bukan karena pelit, tapi lebih senang menikmati secangkir capuccino yang dipersiapkan istri tercinta ketimbang minum kopi di Cafe. Tapi karena alasan tersebut di atas, maka kali ini kami melanggar tradisi sendiri.

Sedang asyiknya menyeruput secangkir Capucinno hangat bersama istri tercinta ,tiba-tiba seorang pria muda dan  gagah masuk mengangguk dengan sopan dan mengatakan, " Selamat pagi Om dan Tante, maaf  boleh saya duduk di sini?" Tentu saja saya jawab silakan karena Cafe tersebut bukan milik kami. 

Belum sempat duduk, si Pria langsung memesan Capucinno, " Mbak, Capucinno, jangan pake lama ya, saya harus buru buru mau meeting nih", dan tentu saja si Mbak sambil tersenyum manis menjawab," Siap pak" 

Sambil duduk, si Pria yang belum mengenalkan dirinya ini terus memainkan seuntai kunci dan kemudian meletakannya di meja sambil berucap, "Susah Om, gaji sopir. Sewaktu kita butuh ia malah belum datang, padahal sejak kemarin sudah dipesan agar datang lebih pagi. Karena buru buru mau meeting, maka akhirnya  terpaksa saya nyetir sendiri".

Rupanya si Pria ingin memberitahukan pada kami berdua bahwa ia bukan orang sembarangan tapi pria yang punya mobil pribadi dan dari kunci yang dipamer di depan kami.

Tanpa diminta si Pria gagah terus bercerita tentang betapa sibuknya mengurus perusahaan ekspornya yang karyawannya berjumlah puluhan orang, sesaat Capucinno datang, ia berhenti ngomong secara mendadak dan fokus menikmati Capucinno disertai  3 keping biskuit coklat. 

Begitu siapa menikmati biskuit dan capucinno, tiba-tiba bagaikan orang disengat kalajengking ,ia buru buru mengambil Ponsel dari kantongnya. Padahal tidak terdengar ada nada panggilan. Dan langsung  bereaksi sambil mulut masih mengunyah sisa biskuit, "O sudah mau mulai meeting? Ya ya,saya segera datang".

Sambil buru buru  berdiri, si pria ganteng  mengatakan, "Aduh  Om dan Tante, maaf saya ditunggu sejak tadi mau segera meeting, Tolong ya Om kopi saya, lain kali giliran saya yang traktir Om ya." Terpana saya menyaksikan adegan lawakan kuno yang sudah ada sejak setengah abad lalu.

Si Pria pasti senang dan bangga karena merasa sudah berhasil menerapkan, "politik silap mata silap uang" Tapi saya dan istri justru kasihan menengok pria yang berusia muda, ganteng tapi nilainya hanya senilai secangkir kopi.  

Ada beragam gaya dan cara dari para Pembelajar Politik tidak berkelas ini, tapi kalau saya ceritakan semuanya akan terlalu panjang. Yang penting, kalau suatu waktu bertemu dengan orang yang bergaya mau  buru buru meeting, maka siap siaplah menyumbang paksa senilai makan dan minuman yang disantapnya.

Tjiptadinata Effendi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun