Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Usia Bukan Ukuran dari Kedewasaan Seseorang

30 Agustus 2018   07:56 Diperbarui: 31 Agustus 2018   01:42 5473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi ghanagrio.com

Melainkan Dari Sikap dan Perilaku

Secara formal, seseorang dianggap dewasa bilamana sudah berusia 17 tahun ke atas. Salah satu bukti dari pengakuan ini untuk film-film yang termasuk dalam kategori untuk orang dewasa, selalu dituliskan "Untuk 17 Tahun ke atas".

Akan tetapi dalam hal lain, angka yang menentukan kedewasaan seseorang bisa saja berbeda. Seperti misalnya, bagi yang pernah berkunjung ke Genting Highland Resort dan kebetulan jalan-jalan ke kasino yang terdapat di First World Hotel dan di Genting Highland Hotel, hanya bagi yang berusia 21 tahun yang boleh masuk.

Di Australia, seseorang dianggap dewasa dan boleh masuk ke tempat hiburan bila sudah berusia 18 tahun. Sedangkan di Amerika Serikat, untuk membeli alkohol, batasan usia minimal adalah 21 tahun.

Tapi tulisan ini tentu tidak membahas tentang ukuran usia pada setiap negara melainkan hanya sebagai gambaran bahwa kedewasaan seseorang dinilai dari dua sudut yang berbeda, yakni dari ukuran administrasi dan ukuran dewasa dari sikap dan perilaku yang ditunjukkan.

Dewasa dalam Usia tapi Sifat Kekanak-kanakan

Sifat kekanak-kanakan ini dikenal juga dengan istilah "Childish". Kosa kata ini memuat kesan negatif tentang seseorang, yakni dari segi usia sudah matang kelapa, tapi dalam keseharian bersikap dan bertingkah laku layaknya anak-anak. Baik dari sikap lahiriah seperti mengenakan kostum yang biasa digunakan anak-anak dan dari sikap manja yang ditunjukan. 

Sudah berkumis dan berjenggot dan di KTP sudah tertulis usia lebih dari 20 tahun yang kalau dulu, usia segini anaknya sudah 2 orang, tapi masih minta belanja sama papa mama. Malah ada yang merengek rengek minta dibelikan motor. Kalau nggak dikasih ngambek berhari-hari.

Lucu? Bukan, tapi sangat menyedihkan! Bila keadaan ini tetap berlanjut, kelak kendati sudah menikah, sedikit saja ada masalah, akan mengadu ke orang tua. Sifat kekanakan yang dikedepankan antara lain:

  1. selalu menonjolkan diri
  2. tidak bertanggung jawab
  3. ingin didengarkan, tapi tidak mau mendengarkan
  4. hidup dalam khyalan, tapi tidak mau kerja keras mengejar impiannya
  5. merasa diri paling benar
  6. berbicara seakan dirinya yang paling pintar
  7. ingin selalu jadi pusat perhatian
  8. gampang marah
  9. dan seterusnya

Mengapa Bisa Terjadi?

Penyimpangan perilaku yang dipertontonkan oleh orang orang dewasa, bahkan yang jenggotnya sudah memutih dimakan usia belakangan ini menjadi tontonan gratis bagi jutaan orang. 

Berteriak-teriak seperti anak kecil yang lagi ngamuk, karena tidak dibelikan mainan oleh orang tuanya. Malah ada yang minta dijemput, dielus-elus dan disambut. Bila tidak dipenuhi maunya, ya ngambek terus dan tidak mau pulang. Hal ini mengingatkan kita pada anak-anak kita yang ngambek dan lari ke rumah tetangga dan baru mau pulang ketika kita membujuk dan menjemputnya. 

Mirisnya lagi, bukannya merasa malu dan sadar diri, malahan merasa bangga. Aneh memang, tapi inilah kenyataan yang terjadi di hadapan kita.

Rasa hormat terhadap orang-orang yang dinilai patut menjadi panutan, mulai tergerus dan terkikis akibat gaya hidup yang di tampilkan oleh orang-orang dewasa, sama sekali tidak menunjukkan kematangan dan kedewasaannya. Bahkan sebaliknya menunjukkan perilaku seperti anak-anak lagi ngamuk. 

Padahal banyak dari antaranya, selama ini ditokohkan dan dijadikan panutan oleh orang banyak. Kejadian ini, menyebabkan generasi muda semakin hari terjerumus menjadi generasi yang bingung. Bingung, mau meniru siapa? Kalau diibaratkan papan penunjuk arah, maka orang menjadi bingung, ketika tiang penyangga papan penunjuk arah ini roboh dan tercampak di tanah.

Ukuran Kedewasaan 

Dalam pengertian sederhana, dewasa adalah sesosok anak manusia yang dalam usia sudah bukan lagi anak dan tampak nyata dalam cara berbicara dan perilakunya. Antara lain sifat kedewasaan ini dibuktikan bahwa yang bersangkutan telah:

  1. Mampu menghidupi diri sendiri
  2. Menghargai lawan bicara
  3. Menjawab dengan santun
  4. Berpikir, sebelum bertindak
  5. Tidak cepat terpancing dan meledak ledak

Dalam kehidupan bermasyarakat, perilaku ini akan tampak nyata, bahwa yang bersangkutan, seiring dengan bertambahnya usia, belajar dari setiap kejadian dalam hidupnya. Sehingga kematangan dalam usia, disertai juga dengan kematangan dalam sikap mental. Yakni cara berpikir, cara mengambil keputusan, sikap tenang, kalem, mantap, dan jauh dari sikap petantang-petenteng mempertontonkan pencapaian.

Tetapi dalam realita hidup, ternyata cukup banyak orang yang dalam ukuran usia sudah bukan lagi remaja atau anak muda, melainkan sudah lebih dari dewasa, namun dalam tingkah laku dan bertutur kata, masih seperti remaja usia belasan tahun. 

Silakan disimak sendiri bagaimana orang yang sudah menjadi orang tua, berkedudukan tinggi, namun bertutur kata, tak ubahnya bagaikan anak-anak remaja. Yang mengumbar kebencian, SARA, dan mencerca sana-sini sesuka hati, seolah dirinya adalah raja diraja atau King of King.

Mengobati Penyakit Harus Tahu Penyebabnya

Seperti halnya bila dokter mau mengobati pasien, perlu tahu terlebih dulu, apa penyebabnya? Kalau pasien berteriak-teriak karena mabuk, tentu tidak dibawa ke RS Jiwa, tapi disuruh istirahat. 

Kalau pasien lemas, karena belum sarapan, ya akan disuruh makan dulu. Nah, bilamana sikap kekanak-kanakan ini hanya dilakukan oleh satu atau dua orang, mungkin saja dapat dianggap kelainan jiwa atau semacam itu. Tetapi, belakangan ini, jumlah yang mengalami kelainan jiwa ini sudah tidak terhitung lagi. 

Malahan di antaranya terdapat orang orang yang ditokohkan dan selama ini dijadikan panutan, tapi menunjukan perilaku seperti anak anak. Penyebabnya boleh jadi karena kurang mendapatkan rasa kasih sayang dalam keluarga sejak masih kecil.

Trauma ini terbawa hingga dewasa dan secara tanpa sadar, "melakukan balas dendam" terhadap siapapun yang tidak disukainya. Hal ini dapat disebut sebagai "distorsi" kejiwaan yang sudah parah.

Tingkat kedewasaan seseorang, tentu tidak dapat ditakar ataupun diukur dengan ilmu matematika, melainkan dari sikap mental dan perilaku yang ditampilkannya, dalam menyikapi dan menghadapi berbagai tantangan dan masalah dalam kehidupan bermasyarakat. 

Kendati tak seorang pun manusia yang sempurna di dunia ini, namun sebagai makluk yang berharkat dan bermartabat, tentu kita wajib untuk mencapai sesuatu yang lebih baik, sepanjang kemampuan kita untuk meraihnya.

Berpijak pada falsafah, "Belajar sejak dari buaian hingga ke liang lahat". Maka berarti tidak ada kata terlambat untuk berubah. Nilai seseorang, tidak diukur dari jumlah gelar yang disandangnya, bukan juga dari tinggi rendahnya jabatan ataupun jumlah kekayaan yang dimilikinya, melainkan seberapa jauh hidupnya memberikan manfaat bagi orang banyak.

Seperti kata-kata bijak mengatakan, "Sebaik-baiknya orang adalah orang yang hidupnya bermanfaat bagi orang lain" (anonim)

Tjiptadinata Effendi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun