Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014 - The First Maestro Kompasiana

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Terus Terang Tanpa Melukai, Apakah Bisa?

25 Juni 2018   07:01 Diperbarui: 25 Juni 2018   07:47 782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi :shutterstock

Terus terang tentu saja merupakan hal sangat positif ,dalam keartian, mengedepankan kejujuran,serta mencegah agar jangan membiasakan diri untuk berbohong. Tetapi terus terang yang kebablasan,tidak jarang menciptakan luka dihati lawan bicara .Terus terang secara umum, adalah sifat seorang ksatria. Dalam berprilaku yang berterus terang, ada kadar kejujuran di dalamnya. 

Kalau kita yang berbuat salah, maka secara terus terang kita akui. Minta maaf dan mengganti bila ada sesuatu yang dirusakkan. Berterus terang tentang diri kita tentu saja sebuah langkah yang sangat positif, sehingga orang tidak pernah merasa menyesal bersahahat dengan kita.

Berterus terang, bahwa kita berasal dari keluarga miskin dan pernah menekuni pekerjaan sebagai buruh, juga tidak menjadi masalah. Secara tidak langsung kita ingin menampilkan ,bahwa  inilah diri saya yang sesungguhnya .

Terus Terang Dalam Memberikan Penilaian Terhadap Lawan Bicara

Terus terang ini mengenai jati diri,tidak masalah,karena kita menceritakan tentang diri kita sebagaimana adanya..Seperti misalnya,kalau ada yang mengajak saya untuk berbisnis,maka saya akan terus terang,bahwa saya sudah lama pensiun dan kini menumpang hidup dirumah putra kami. Bahwa saya sudah tidak lagi mampu mengurus bisnis.

Akan tetapi terus terang ini, tentu tidak dapat dijadikan takaran dalam memberikan penilaian terhadap orang lain. Walaupun hidup itu penuh dengan penilaian-penilaian. Namun perlu ada kearifan hidup dalam memberikan penilaian terhadap sesuatu yang berada di luar diri kita.Oleh sebab itu sifat terus terang  yang mungkin kita miliki, tentu harus diterjemahkan secara arif dan bijak. Agar jangan sampai sifat terus terang ini, menyebabkan orang lain terluka. 

Contoh Sederhana

Ketika ada tamu dari kampung datang  kerumah kita,sambil membawa oleh oleh berupa jagung atau buah alpukat dari hasil kebun sendiri. Baginya membawa buah tangan dari hasil kebun sendiri,merupakan petanda rasa kasih sayang kepada keluarga kita.Tapi begitu tiba dirumah kita,langsung disambut dengan terus terang:" Aduh ,kenapa repot repot bawa jagung dan alpukat segala,disini banyak"

Walaupun mungkin diucapkan sambil bercanda,namun satu hal yang pasti terjadi adalah hati kerabat yang membawa oleh oleh untuk kita,sudah terluka,akibat begitu piawainya kita dalam berterus terang. Padahal apa salahnya menerima dan mengucapkan terima kasih.Bukan karena apa yang dibawanya ,melainkan niat baiknya mengangkut beban dari kampung untuk dhadiahkan kepada kita. Kalau memang kita tidak menyukai,sesudah tamu kita pulang,maka jagung dan buah alpukat bisa dikasihkan ketetangga

Mencegah Jauh Lebih Baik Ketimbang Memperbaiki

Bila ,akibat terus terang yang kebablasan,kita secara tanpa  sadar telah melukai hati lawan bicara kita,memang masih ada kesempatan bagi kita untuk minta maaf. Dan boleh jadi yang bersangkutan sudah memaafkan kita.Akan tetapi jangan lupa,walaupun ia sudah memaafkan,bukanlah berarti luka hatinya,secara serta merta langsung sembuh. Jangan lupa,bahwa luka hati,membutuhkan waktu yang jauh lebih lama untuk bisa bertaut dan sembuh,dibandingkan dengan luka pada pisik. 

Sebagai contoh,akibat kenakalan saya sewaktu masih muda,tubuh saya penuh dengan bekas bekas luka. Selain dari tangan saya,ada bekas luka sepanjang  15 centimeter dipaha saya. Tapi kini,saya bisa sambil ketawa ketawa memandang bekas luka tersebut dan mengingat betapa nakalnya saya sewaktu muda.

Beda Dengan Luka Batin

Tetapi ketika saya teringat ,akan sahabat baik saya ,yang telah memfitnah,sehingga saya dipermalukan ,ditangkap ditengah malam dan wajah saya ditayangkan di salah satu stasiun televisi,bahkan  sempat 2 minggu dalam tahanan di Polda Surabaya,maka walaupun saya sudah memaafkannya,tapi sewaktu ingat hal ini,luka hati saya terasa perih dan berdarah kembali.Apakah karena kadar keiklasan saya dalam memaafkan,masih rendah,sungguh saya tidak tahu jawabannya.

Pengalaman pribadi tersebut,saya jadikan pelajaran ilmu hidup ,sebagai pedoman untuk berinteraksi dalam bermasyarakat.Sesungguhnya prinsip hidup itu tidak usah mencontoh pakar pakar dunia, yang membahas tentang bagaimana seharusnya menjalani kehidupan sosial kita. 

Dengan falsafah hidup yang sangat sederhana, kita sudah dapat melangkah dengan  mantap, meniti jalan hidup ,yakni ”kalau tidak bisa  menyenangkan, janganlah melukai hati orang.”Dan pribahasa yang terkesan usang,tapi tetap relevan untuk dijadikan falsafah hidup adalah :"mencegah melukai. .jauh lebih baik ketimbang mengobati."

Pelajaran hidup semacam ini ,tidak akan ditemui dibangku universitas manapun di dunia ini.Karena hanya dapat kita petik dari berbagai pengalaman hidup.Baik pengalaman diri sendiri,maupun pengalaman orang lain. Karena belajar dibangku kuliah,akan menghadirkan ilmu pengetahuan,tapi belajar dari ilmu kehidupan,akan menghadirkan kearifan tentang makna kehidupan dalam diri kita.

Tjiptadinata Effendi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun