Kota Jaya Pura yang merupakan ibu kota Papua merupakan kota yang paling sering kami kunjungi, sewaktu pak I Wayan Parnata masih bertugas sebagai Pimpinan Diklat Sosial dan berkantor di Abepura. Karena bersama pak Wayan, kami sempat diajak keliling hingga ke Biak serta Timika. Karena sebelumnya,kami hanya pernah 2 kali ke Merauke dan ke Sorong, namun sejak berkenalan dengan pak Wayan,kami memilih lebih sering berkunjung ke jaya Pura.
Ditepian Danau Sentani, berjejeran restoran yang umumnya menyediakan menu special, yakni ikan bakar yang boleh dikatakan fresh from the lake atau masih segar, karena hasil tangkapan dari danau.Â
Bagi orang Papua, ikan yang dijual disini adalah ikan yang baru mati satu kali, sementara ikan yang dijual di jakarta sudah mati berkali kali.Â
Pada awalnya saya sempat bingung, tapi setelah dijelaskan,ternyata maksudnya ikan yang dijual di Jakarta dan kota kota besar lainnya di Pulau Jawa, sudah berkali kali keluar masuk kedalam kotak pendingin,sehingga rasanya sudah tidak lagi seenak seperti ikan di tanah Papua.
Lain padang, memang lain belalangnya dan lain daerah, maka beda pula istilahnya.Â
Pada awal pertama diajak makan malam oleh Pak Wayan, beberapa kali saya sempat terpana,mendengarkan istilah "ikan mati berkali kali" dan juga istilah:"makan bunuh" ternyata maksudnya,makan hingga kenyang.
Perbedaan bukan hanya dari masalah istilah, tapi juga perbedaan dalam hal menikmati santapan ikan bakar.Karena disamping saya dan istri ada pak M.Dasir dan Max Krey yang adalah penduduk asli di tanah Papua.Â
Karena sudah terbiasa,bilamana makan ikan,maka tulang tulangnya brantakan diatas piring yang khusus disediakan untuk menampung tulang belulang ikan. Ternyata tulang belulang ikan yang dimakan oleh Max Krey dan M.Dasir tersusun rapi diatas piring. Hal hal yang tampaknya kecil, tapi tak luput dari perhatian saya,karena menurut saya dari hal hal kecil inilah kita harus mulai belajar tentang  tradisi dan kebiasaan warga Papua.
Kami disediakan kamar suite room di Hotel Instia,yang berdampingan dengan pantai. Karena itu ketika hari mulai temaram, kami tidak melewatkan moment sangat berharga ini,yakni berburu  matahari terbenam Mentari di senja itu sudah mulai menyelinap di antara gumpalan awan. Percikan cahayanya masih menyisakan  aneka ragam warna,yang memantul ulang dalam kemilaunya air laut yang membentang.
Pantai Biak tampak,bagaikan  gadis desa yang belum tahu bersolek, dibalik pakaiannya yang sangat sederhana, tanpa dipoles dengan kosmetik apa pun.
Di tepi pantai ini,tampak bebatuan karang yang lebih besar dari pelukan orang dewasa,serta  tempat berteduh yang tercipta dari daunan pohon kelapa yang tumbuh subur disana. Bahkan  temaramnya sinar mentari sama sekali  tidak menyurutkan kemolekan pantai ini Bahkan serasa semakin menebarkan pesona yang  mampu menghipnotis siapa pun yang memandangnya.
Bagi yang belum pernah menapakkan kakinya di Biak,mungkin sejak dari sekarang perlu menciptakan niat dihati ,bahwa suatu waktu akan berkunjung kesana.
Timika
Dengan diantarkan oleh sahabat kami, Pak Wayan Pranata dan Carlos Phobia,kami tiba di Bandara Internasional Timika yang bernama Moses Kilangin. Seperti yang sudah pernah dituliskan, nama ini berasal dari nama seorang guru asal Ambon yang mengabdikan dirinya di bidang pendidikan di pedalaman Papua. Namanya diabadikan sebagai ungkapan penghargaan pemerintah terhadap pengabdiannya.
Mendapatkan dukungan dari 22 suku bangsa di dunia untuk membangun sarana di daerah yang terkenal dengan pertambangan emas PT Freeport Indonesia ini.
Banyak kisah kisah unik dari Timika yang saya dapatkan selama tiga hari berada di Tanah Papua ini. Antara lain tentang mengapa warga disini tidak suka pakai sandal atau sepatu dan lebih suka hidup tanpa baju.
Menurut kisah yang saya dapatkan pernah sahabat saya dengan niat baik,memberikan sejumlah uang untuk salah seorang warga yang datang kepadanya dengan telajang kaki. Tapi pemberian ini bukannya diterima dengan rasa terima kasih malahan warga bersangkutan merasa tersinggung dan mengatakan "Saya ini orang Papua tahu. Kalau pake sandal justru kami orang sakit tahu. Kami senang hidup tanpa alas kaki dan tanpa baju. "
"Kita sudah memasukki daerah 'Freeport " kata mas Rizal memberitahu dan segera melambatkan lajunya kendaraan. Membuka kaca jendela dan berhenti sejenak di pos penjagaan mengatakan sesuatu dan melambaikan tangan
Sungguh terbukti bahwa Tanah Papua itu bukan hanya Koteka dan Raja Ampat, tapi ada Biak yang memukau,khususnya  bagi yang suka berburu matahari terbenam. Ada Timika dengan bandaranya yang unik dan masih  ada Merauke, Sorong ,yang dilain kesempatan akan saya tulis.
Kepiting Karaka
Pada malam hari, kami diajak makan kepiting Karaka yang beratnya bisa sampai hampir 2 kilogram oleh pak Wayan.Tentu saja undangan ini kami sambut dengan antusias, karena inilah pengalaman pertama bagi kami. Restorannya tidak mewahtapi cukup bersih dan apik.Â
Dalam waktu kurang dari 30 menit,maka kepiting raksasa dengan masakan saus Padang sudah terhidang didepan kami. Dan tentunya masing masing sepiring putih nasi.
Sudah lama sekali saya mendengarkan kisah kenikmatan kepiting khas tanah Papua serta keunikannya. Tapi baru kali ini bertemu di Timika. Menurut penjelasan yang punya restoran, kepiting ini bisa tahan hidup selama lebih dari 20 jam dalam perjalanan.
Namun, sama sekali tidak terbayangkan bahwa inilah makan malam kami yang terakhir kalinya bersama Pak I Wayan Parnata. Karena berberapa bulan setelah itu, kami dapat kabar bahwa pak Wayan telah dipanggil Tuhan. Sungguh tidak seorangpun yang tahu, apa yang akan terjadi esok hari.
Sebuah kenangan manis yang tak akan pernah terlupakan.
Tjiptadinata Effendi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H