Menjadi Bagian dari Kompasiana Akan Menjadi Kenangan Abadi
Saya bergabung di Kompasiana pada tanggal 14 Oktober 2012. Sebelumnya saya pernah menulis buku yang diterbitkan oleh PT Elexmedia Komputindo, tapi hanya merupakan "one way communication". Karena tulisan saya dibukukan, diterbitkan dan dijual di toko-toko buku di seluruh Indonesia. Amat jarang mendapatkan kesempatan untuk mendengarkan komentar dari para pembaca, kecual dalam kesempatan bedah buku.
Sejujurnya, sebelum bergabung di Kompasiana, saya merasa diri saya sudah pintar menulis. Bayangkan beberapa judul buku saya mendapatkan kehormatan sebagai National Best Seller. Dan itu bukan kata saya, tapi di korankan di Harian Kompas dalam kolom yang cukup besar.
Sejak hari pertama bergabung dan mulai aktif di Kompasiana, saya tersentak dan sadar diri bahwa disini saya harus menempatkan diri sebagai seorang murid baru. Sebagai seorang murid tentu saja harus mematuhi aturan yang telah ditetapkan dan harus belajar banyak dari tulisan teman-teman lainnya. Saya sudah bertekad untuk menjadi murid yang baik. Kalau sebelumnya tugas saya adalah mengetik naskah semau  saya dan kemudian menyerahkan kepada Penerbit untuk diedit dan penempatan gambar, ternyata di Kompasiana saya harus belajar menulis yang baik, mengeditnya dan melengkapi dengan foto-foto pendukung.
Pada hari  pertama hingga 3 minggu lamanya, tulisan saya tanpa gambar pendukung. Padahal saya memiliki ribuan gambar-gambar, perjalanan hidup kami. Tapi apa daya, saya tidak tahu bagaimana cara meng-upload-nya. Setiap kali mencoba melengkapi dengan gambar selalu gagal dengan catatan "maksimum 2 MB".
Bagaimana kalau mau diperkecil dan disesuaikan dengan aturan yang ada? Tanpa perlu merasa malu-malu kucing saya mengakui bahwa saya tidak tahu. Sungguh! Karena itu saya belajar setiap hari hingga minggu ketiga baru memahami bagaimana memperkecil gambar dan  menguploadnya. Senangnya luar biasa, karena akhirnya dalam satu tulisan saya bisa melengkapinya dengan 3 atau 4 gambar.
Sejak saat itu, saya semakin terobsesi untuk menulis. Saking tidak inginnya ada hari yang kosong, tanpa satu tulisan saya muncul di Kompasiana maka setiap kali keluar rumah untuk perjalanan yang agak jauh. baik dengan bus maupun dengan kereta api, saya selalu menyandang tas yang berisi laptop dan sebuah pocket wifi.
Diperjalanan saya manfaatkan waktu untuk menulis apa saja dan kemudian langsung di posting. Dan di setiap tulisan saya pasti ada yang memberikan vote dan komentar yang hampir tidak ada  yang saya lewatkan.
Kali pertama kami mengkhususkan diri untuk pulang ke Indonesia guna menghadiri acara Kompasianival pada tahun 2013. Bertemu dengan banyak teman-teman yang selama ini hanya berjumpa lewat saling komentar di tulisan masing-masing. Disinilah saya menyadari bahwa saya sungguh-sungguh tidak salah memilih bergabung di Kompasiana ini. Karena disamping mendapatkan kesempatan untuk menimba ilmu, sekaligus menjalin hubungan pertemanan dengan ratusan teman-teman.
Bukan hanya saya dan istri yang memerlukan datang jauh-jauh dari Australia, tapi ada banyak teman-teman lain yang juga menceritakan betapa untuk hadir di acara Kompasianival ada yang sampai mengikhlaskan gaji sebulan ludas. Mengapa saya dan teman-teman lainnya, mau mati-matian agar bisa dapat hadir di Kompasianival? Karena merupakan kesempatan emas, bisa bertemu dengan banyak teman-teman lama dan sekaligus menjalin hubungan persahabatan dengan yang lainnya.
Disini secara nyata ke Bhinneka Tunggal Ika dapat dirasakan secara nyata. Dalam segala keberagaman dan perbedaan, dimulai dari perbedaan daerah asal, beda latar belakang sosial dan termasuk perbedaan budaya dan agama, semuanya larut dalam kebersamaan. Hidup damai dalam keberagaman atau Bhinneka Tunggal Ika, sudah terbukti berlangsung secara alami, tanpa paksaan siapapun. Tak serorangpun yang membicarakan masalah perbedaan budaya, agama dan latar belakang kehidupan. Semuanya seakan melebur dalam rasa suka cita sebagai sesama Kompasianers.
Pada waktu acara Kompasianival tahun 2014 ,kami kembali mengkhususkan diri untuk datang. Ketika nama saya disebutkan sebagai Kompasianer of the Year 2014, disamping istri saya, semua teman-teman Kompasianers yang berada disekeliling memeluk saya dengan penuh haru dan sukacita. Bahkan saya menyaksikan sendiri, banyak mata yang basah karena haru dan ikut bahagia. Suatu hal yang tak terlukiskan dan tak dapat dinilai dengan materi. Tak ada kepura-puraan dalam berinteraksi antar sesama Kompasianers. Sangat patut di apresiasi dan disyukuri. Persahabatan dan rasa kebersamaan telah merobohkan dinding dan sekat sekat pembatas, sehingga seluruh yang hadir, terdiri dari berbagai lapisan masyarakat membaur dan melebur jadi satu dalam kemeriahan dan kegembiraan.
Tak tampak satupun dari Kompasianer yang menciptakan "kelas-kelas" ekslusif. Kita semuanya makan nasi kotak, duduk dimana saja ada tempat sambil bercanda dan berbagi kisah-kisah hidup. Sebuah iklim perubahan yang mungkin bisa dicontoh oleh organisasi lainnya, yakni kebersamaan dalam keberagaman.
Kompasianival Tahun 2015 Diajak Ke Istana
Ketika Panitia mengambil absen nama-nama yang akan ikut ke Istana ternyata nama kami keduanya tidak ada di sana. Kami sampaikan kepada Mas Isjet dan Pak Pepih Nugraha pada waktu itu. Jawaban yang kami terima dari keduanya adalah "tidak mungkin, pasti ada " Tapi setelah diperiksa di dafar nama,memang tidak ada nama kami. Karena itu kami sampaikan kepada Mas isjet kalau memang nama kami berdua tidak masuk dalam daftar undangan, tidak menjadi masalah.Tapi pada saat keberangkatan bus,ternyata nama kami berdua dipanggil untuk ikut naik bis menuju ke istana.
Berada di Istana
Sesaat sebelum Jokowi memasuki ruangan, tiba-tiba saya diminta untuk berdiri dan mengambil tempat di meja utama, di mana Presiden RI akan duduk. Untuk sesaat saya tertegun. Tapi kembali nama saya dipanggil ulang, maka saya berdiri dan berjalan menuju ke meja utama. Disana sudah tampak duduk Pak Widi dan Pak Teten, Petinggi Kompas Media dan satu lagi COO Kompas.com . Diantaranya ada mbak Christie Darmayanti yang duduk dikursi roda. Ada dua kursi kosong. Dan saya melirik kemeja makan, ada kertas kecil dengan logo Garuda dan saya baca di meja ada tulisan: Presiden R.I dan satu lagi " Perwakilan Kompasianer."
Sejujurnya, ada  keraguan dalam diri saya untuk duduk, Karena khawatir kalau terlanjur duduk dan kemudian disuruh pindah, mau saya sembunyikan di mana wajah saya yang sudah keriput ini? Tapi tidak berlama-lama berdiri bengong, saya sudah didatangi salah seorang protokoler istana dan mempersilakan saya duduk dikursi persis di samping Presiden.
Presiden yang Sangat Sederhana
Ketika mendapatkan kesempatan berbicara dengan orang nomor satu di Republik ini kentara benar kesederhaan yang ditampilkan pak Jokowi. Â Mimik wajah dan gaya bicaranya tak ubahnya bagaikan bicara dengan seorang sahahat. Tak ada batas dan tak ada sikap angkuh terpancar dari wajahnya. Dan saya tidak harus merunduk ketika berbicara. Sempat beberapa saat membicarakan masalah pribadi dan ternyata pak Jokowi pernah mengekspor mebel ke Australia.
Begitu memasukki laman Smesco Tower langsung  disandra untuk foto bersama.  Sungguh sebuah persahabatan yang tanpa sekat Baik dikarenakan perbedaan  suku, budaya, agama dan latar belakang sosial dan pendidikan. Sambutan hangat, senyuman tulus dan pelukan yang menandakan kasih sayang merupakan pemandangan yang mendominasi berbagai kegiatan di pagi ini.
Kami dijemput oleh pak Thamrin Sonata yang bersama Maria mengabarkan bahwa komunitas Kutu Buku mendapatkan tempat di ajang pertemuan akbar para Kompasianers ini. Maka kami berdua ikut bermarkas  disana sambil menyalami satu per satu teman yang datang. Ada Mas Susy, Pak Ikhson, Pak Daniel, Pak Thamrin Dahlan, Pak M. Jaya, Mas Yos Mo, Mas Ryo Kusumo, Mbak Widha, Mbak Gilang, Mbak Syira Ann, Mbak Langit Queen, Mbak Sekar, Mbak Desol,M bakFitri Manalu, Mbak Dessy, Mbak Yayat, Mbak Arum, Mbak Rahayu, Mbak Tamita, Pak Petrus, Mbak Ella bersama suami dan  bayi montoknya, Mbak Nur Hasanah, Mas isjet, Mas Nurul dan banyak lagi teman-teman lainnya.
Mendapatkan Kesempatan untuk Sharing Pengalaman Hidup
Hari tersebut merupakan hari istimewa, karena disamping bertemu dan berbincang-bincang dengan teman-teman saya mendapatkan kesempatan untuk ikut berbicara di depan forum bersama dengan Pak Budi dan Bu Wulan. Walaupun saya hanya kebagian waktu beberapa menit, namun setidaknya sudah harus bersyukur karena mendapatkan kesempatan untuk berbagi pengalaman hidup. Bagaimana dari titik nadir kehidupan, kami mampu merangkak dan bangun kembali.
Ketika Lagu Indonesia Raya  Berkumandang
Setelah belasan tahun tidak pernah lagi menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama-sama di negeri sendiri. Pada tanggal 8 Oktober, 2016 bertepatan dengan pertemuan akbar Kompasianer yang dikemas dengan tema "Kompasianival  Berbagi", saya mendapatkan  kesempatan tersebut. Di sana semua suara terpadu menjadi satu. Suara Kompasianers yang berasal dari berbagai daerah dan berdatangan dari seluruh Nusantara. Tidak ada beda suara antara orang Padang, orang Batak, Lampung , Palembang, Riau, Jawa, Sunda, Bali, Lombok, NTT, Ambon, Dayak, Papua, Manado, Toraja, pribumi atau non pribumi. Semuanya bersama sama menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Kompasianival 2017 Kehadiran Kami Berdua Diwakili Oleh Karangan Bunga
Kali ini, kami berdua tidak dapat hadir dalam acara akbar Kompasianival karena  dalam minggu-minggu kedepan cucu kedua kami akan melangsungkan pernikahannya di Australia. Maka kali ini, keberadaan kami di Kompasianival hanya dapat diwakili saja oleh sebuah karangan bunga, seperti yang terlihat pada gambar.
Inilah sekilas kenangan indah yang sudah terpatri dalam hari dan akan menjadi kenangan yang abadi. '9thkompasiana"
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H