Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sanjungan Berpotensi Membuat Orang Tersandung

17 Maret 2017   11:05 Diperbarui: 17 Maret 2017   11:16 687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
hidup itu ibarat orang mendaki perbukitan yang curam,bila terlena atau terbuai oleh sesuatu yang mengasyikkan,dapat berbuah petaka bagi diri/foto.dok,pri

Keliru Memaknai Sanjungan, Berpotensi Membuat Orang Tersandung

Setiap orang senang bila mendapatkan sebuah pujian . Kalau ada orang yang mengatakan tidak suka dipuji, perlu dipertanyakan kesehatannya. Pujian dapat datang darimana saja. Bisa dalam bentuk ucapan verbal, langsung dan berhadap hadapan tapi dapat juga disampaikan melalui tulisan dan gesture atau bahasa tubuh (body langguage).

Mulai dari pujian tentang penampilan yang menarik, cantik, ganteng, maupun gaya yang menawan. Dapat merupakan sebuah  ungkapan rasa kagum, tapi tidak tertutup kemungkinan, pujian yang bersifat basa basi. Umpamanya :" Wah, Opa kelihatannya seperti baru berumur 50 tahun" Padahal jelas rambut sudah mulai memutih kulit keriput disana sini dan gigi sudah ompong dibeberapa tempat. Tapi setidaknya orang sudah berusaha menyenangkan hati kita, maka selayaknya dan sepantasnya kita berterima kasih.

Atau bisa jadi ada pandangan mata  yang menunjukkan rasa kagum, pada diri kita. Bukan lantaran masih ganteng atau cantik tapi dalam usia yang menua masih kuat untuk mendaki bukit.

Menjadikan Pujian Sebagai Introspeksi Diri

Mendapatkan pujian disana sini dari teman sahabat dan dari orang yang baru saja dikenal bila kita tidak mampu memaknainya secara cerdas dan arif akan mampu membuat kita terbuai. Ibarat orang kebanyakan disuguhi bir bintang atau wine maka lama kelamaan menjadi terbuai dan lupa diri.

Merasakan diri hebat seperti pujian orang sehingga lupa untuk berbenah diri. Tidak lagi mau membuka diri untuk belajar karena merasa diri sudah top marketop. Mulai berjalan dengan lubang hidung menengadah keatas sehingga tidak lagi mampu  menengok ada krikil di depan mata. Akibatnya tersandung dan jatuh.

Perlu Berkaca Diri

Oleh karena itu,perlu senantiasa berkaca diri. Bukan hanya sekedar bercermin,untuk memastikan sudah rapi atau belumnya cara kita berpakaian, tetapi terutama bercermin diri, untuk memahami bahwa sesungguhnya diri kita masih jauh dari dapat disebutkan sempurna.

Pujian yang diberikan orang adalah berdasarkan pandangan dan penilaian dari satu sudut kehidupan,bukan secara menyeluruh. Mungkin kita rajin menulis dan mendapatkan  penghargaan sebagai yang terproduktif dan teraktif yang sesungguhnya,bukan lantaran diri kita hebat melainkan hanya karena memiliki kesempatan yang lebih dalam menuilis

Atau mungkin kita di tuakan dan diberikan kesempatan untuk menjadi Pembicara dalam suatu forum, bukan karena diri kita paling pintar dalam berbicara,melainkan karena rasa hormat kepada diri kita

Dengan menyediakan waktu untuk melakukan kontemplasi atau perenungan diri maka kita akan terhindar dari kemungkinan terperosok kedalam lubang keangkuhan diri.

Penting Untuk Menjaga Marwah Diri

Hal ini, mungkin tampak sepele,tetapi sesungguhnya  melakukan introspeksi diri adalah jalan sarana yang paling tepat untuk mengawal diri, agar tidak sampai kehilangan marwah diri, akibat terbuai sanjungan dan lupa diri. Ada banyak contoh contoh hidup yang mungkin saja sudah kita rasakan, Betapa teman sekolah atau tetangga, maupun kerabat  yang dulunya sangat akrab,tapi sejak bintangnya cemerlang dan menjadi pejabat atau pengusaha, ketika bertemu, menunjukkan sikap yang bertolak belakang, Mungkin bagi dirinya,kini hubungan persahabatan, bukan lagi sesuatu yang bernilai. Karena lupa diri dan terlena oleh kenyamaan dan kenikmatan hidup. Dan menjadi lupa diri, Karena itu alangkah bijaknya, bilamana kita mau memetik pelajaran berharga dari pengalaman hidup kita. Jangan sampai kita lupa diri.

Lupa bahwa diri  kita adalah sosok yang dihargai orang banyak,namun kita sendiri tidak menghargai diri, dengan bersikap ,bertutur kata dan berprilaku yang menjatuhkan martabat diri sendiri. Walaupun mungkin saja, diera modern ini, martabat dan marwah diri, sudah bukan lagi sesuatu yang penting, namun biarlah orang lain berpendapat demikian. Jangan sampai diri kita juga terhanyut mengikuti alur. Karena air yang sudah terlanjur mengalir kebawah dan bercampur dengan luJmpur,sudah tidak mungkin lagi berbalik arah dan kembali keposisi awal.

Genting Highlands,17 Maret, 2017

Tjiptadinata Effendi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun