Ketika mendapatkan gangguan kesehatan, maka tentu kita berupaya untuk mencari obat atau apapun cara ,sehingga kita bisa pulih. Dimulai dengan minum herbal, seperti daun delima, minum jus atau makan buah yang banyak. Tapi ketika semua usaha berupa minuman lezat atau makanan enak tidak memberikan hasil, akhirnya kita terpaksa harus ke dokter, dikasih resep untuk membeli obat di Apotek.
Yang namanya obat sudah pasti tidak enak, karena pahit tapi demi untuk dapat meraih kesembuhan diri, obat sepahit dan semahal apapun kita minum. Tapi ternyata, tidak semua obat memberikan efek kesembuhan. Sudah habis jatah minum obat sehari 3 kali, ternyata gangguan kesehatan masih betah bersama kita. Maka cara yang biasa ditempuh adalah kembali lagi mengunjungi dokter .
Menengok pasiennya datang lagi dokter sesungguhnya tidak enak hati, walaupun setiap datang pasien akan bayar lagi. Berarti resep obat yang diberikan tidak tepat sasarannya. Buktinya, pasien datang lagi dengan keluhan yang sama bahkan semakin berat. Maka jalan lain yang dapat dilakukan adalah suntik. Bisa di lengan, bisa di paha atau mungkin juga bisa di kening. Yang namanya disuntik itu pasti bukan dielus elus, tapi ditusuk dengan jarum runcing. Pasti sakit, tapi sudah disakiti lewat suntikan, ternyata orang ikhlas mau bayar lagi. Sebuah suntikan sesungguhnya dua kali menyakitkan diri kita. Pertama tubuh kita ditusuk pake jarum dan rasa sakit kedua adalah harus bayar lagi, tapi demi untuk meraih kesembuhan semuanya kita jalani.
Telinga dan Hati Perlu Disuntik
Dulu sewaktu masih muda, saya merasa amat tersinggung ketika disuntik oleh Om saya lewat kata-katanya
”Effendi. jangan hidup seperti ayam yang mengais pagi sore hanya untuk dimakan pada hari ini. Kelak bila sudah tidak mampu mengais lagi akan mati kelaparan.”
Jujur, saya sakit hati mendapatkan nasihat yang pada waktu itu saya anggap sangat kasar dan menyakitkan hati. Berbulan-bulan saya tidak mau mengunjungi Om saya bahkan tidak mau menyapanya. Saya merasa terhina disamakan dengan ayam.
Tetapi suatu ketika, seekor ayam yang sudah bertahun-tahun saya pelihara mati di kandangnya. Saya sedih , ketika saya angkat, saya kaget karena ayam ini sangat kurus, hingga tulang belulangnya menonjol. Tampaknya karena hidup kami sendiri melarat, sehingga tidak sempat memperhatikan bahwa karena sudah tua ayam ini tidak lagi bisa mengais dan mencari makan sendiri dan akibatnya ia mati kelaparan di kandangnya.
Memetik Hikmahnya
Malam harinya saya tidak bisa tidur. Karena sedih ayam yang saya perlihara dari sejak baru menetas mati karena kelaparan. Tiba-tiba, bagaikan tersengat listrik saya tersentak. Ingat apa yang dikatakan Om saya beberapa bulan sebelumnya. Saya merinding. Saya tidak mau hidup dan mati seperti seekor ayam! Malam itu saya gelisah, beragam pikiran menerpa batin. Ada rasa khawatir hidup saya akan berakhir seperti seekor ayam.
Esok harinya, saya datangi rumah Om yang sudah berbulan-bulan saya musuhi untuk minta maaf, karena saya sudah salah paham. ”Bagus kalau anda sudah memahami.“ kata Om saya dengan serius.