Napak Tilas Sepotong Jalan Hidup
Tahun lalu ketika pulang kampung, saya dan istri menyempatkan diri melakukan napak tilas ke sepotong jalan hidup yang pernah kami lalui, yakni di pasar kumuh Tanah Kongsi. Sama sekali tidak menyangka, bahwa tetangga kami tempo dulu walaupun sudah 40 tahun berlalu masih ingat pada kami karena membaca beberapa tulisan saya tentang kehidupan masa lalu kami disana. Bersyukur sekali tidak ada sepotong kebohonganpun yang tertuang dalam semua artikel tersebut, sehingga kami dapat saling bercerita dan berbagi pengalaman hidup tanpa ada rasa risih.
Tidak terbayangkan, bilamana ada kebohongan yang saya tulis, maka kami berdua akan sangat malu berhadapan dengan para tetangga kami semasa hidup disana.
Efek Positif dan Efek Negatif
Bilamana kita menulis dengan sejujurnya dan apa adanya, maka setiap saat kita ,tanpa merasa terbeban dapat menuliskan berbagai artikel. Tetapi bila ada kebohogan yang kita sisipkan dalam tulisan kita,hanya untuk mendapatkan jumlah pembaca yang banyak, maka sejak saat itu kita sudah menulis dengan rasa beban. Hal ini disamping merugikan diri sendiri juga secara tanpa sadar, semakin lama kita akan semakin dalam tergelincir dalam menulis apa saja,tanpa memikirkan apa buah-buah yang dihasilkan akibat tulisan kita yang serampangan.
Menulis, seharusnya merupakan terapi jiwa dan ladang untuk mengaplikasikan hidup berbagi, tapi bila kebablasan menulis dapat menciptakan jurang pemisah di dalam keluarga sendiri,
Menulis Hingga Lupa Anak Istri
Mungkin curhatan dari seorang putri dari salah seorang penulis yang saya kutip disini dapat memberikan sepotong gambaran, bahwa bilamana menjalani hidup secara tidak seimbang termasuk menulis, maka bukan manfaat yang dapat dipetik malahan menciptakan petaka dalam rumah tangga.
Kutipan:
"Saya sering baca tulisan Opa. Saya juga senang papa saya menulis disini. Tapi belakangan ini, begitu terobsesinya papa menulis, sehingga sikap papa terhadap mama dan saya berubah total. Dulu papa adalah orang yang sangat lemah lembut dan penuh perhatian. Setiap pagi, secara bergantian mengantarkan saya dan mama. Saya ke kampus dan mama ke pasar. Kami gantian dibonceng papa dengan sepeda motor sebelum papa sendiri ke kantor.
Tapi sejak belakangan sikap papa berubah. Saya dan mama disuruh naik ojek saja. Padahal dulu papa sangat tidak setuju kalau saya dan mama naik ojek. Kata papa ”tukang ojek tidak semuanya baik, biar papa yang ngantarkan kamu dan mama”.