Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Boro-boro Jadi Shalih, Jadi Orang Baik Saja Susah Banget

6 Februari 2017   09:52 Diperbarui: 6 Februari 2017   10:18 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : www.depositphotos.com

Terpana dan Introspeksi Diri

Saya sungguh terpana dan hingga jauh malam, pikiran saya menerawang. Ternyata dalam usia yang menapaki ke 74 tahun, saya gagal untuk menjadi orang baik. Saya jadikan introspeksi diri. Malam tadi saya bertanya kepada istri saya:" Sayang,saya ini orang baik atau tidak?" Tentu saja Lina,istri saya kaget. Mungkin kuatir, jangan jangan saya kesurupan,sehingga ngomong melantur kayak gitu?

Saya jelaskan,mengapa saya sedih,tidak dapat sertifikat sebagai orang baik. Kata istri saya:"Sayang, mana ada di dunia ini, orang yang dapat menyenangkan hati semua orang?" Wah, biasanya saya yang sering memberi kothbah kepada orang, tapi malam ini,saya mendapatkan pencerahan dari belahan jiwa saya, yakni istri saya satu satunya, dunia akhirat.

Merasa Diri Orang Baik

Setidaknya selama ini,saya merasa belum pernah nyolong ,maupun menahan hak orang, apalagi sampai korupsi dalam bentuk apapun.. Oya,kelupaan, saya pernah nyolong bambu ,sewaktu usia 9 tahun ,untuk bikin layangan.Hukumannya langsung kontan saya terima, yakni telapak tangan sobek dalam,disayat sembilu. Hingga kini,masih berbekas dan jadi alaram bagi saya pribadi, agar jangan pernah nyolong,maling ataupun bahasa sopannya:"Korupsi"Padahal :'korupsi" atau "maling " itu ya, kerjanya sami mawon,yakni mengambil sesuatu yang bukan haknya.

Nah,merasa diri kita orang baik,belum tentu bagi orang lain kita juga dinilai baik. Karena penilaian itu bersifat relatif. Kalau kita bermanfaat bagi orang,maka kita dikatakan orang baik. Tapi kalau keberadaan kita di dunia ini,tidak menciptakan atau menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain, maka tentu saja,nilai :"orang baik" tidak layak disandang.

Sesungguhnya, sudah seringkali saya alami hal hal semacam ini, Walaupun lagunya berbeda,tapi liriknya sama, yakni :"niat baik kita, belum tentu diterima dengan baik, oleh orang lain." Tapi apakah karena "cita cita" kita mendapatkan sertifikat sebagai "orang baik" tidak tercapai, lantas bersikap tidak peduli lagi terhadap lingkungan atau bersikap apatis? Kalaulah hal ini,yang dilakukan,maka diri kita tak ubahnya sebagai orang munafik. Yang hanya  berbuat baik, lantaran ingin mencari popularitas diri dan di sanjung sanjung, sebagai orang baik.

Kalau Hidup Hanya Sebatas Tidak Merugikan

Kalau hidup kita, hanya sebatas :'tidak merugikan orang lain" tapi tidak ada manfaatnya,gimana tuh? Pohon saja, bermanfaat sewaktu masih hidup, sebagai tempat orang berteduh dikala panas. Dan ketika pohon mati,masih tetap bermanfaat, yakni dijadikan tiang rumah, papan, lemari dan sebagainya. Jadi kendati pohon sudah mati, ia tetap bermanfaat hingga puluhan tahun sesudahnya.

Atau bunga di taman, yang hari ini hidup dan besok mati karena layu atau terinjak injak setidaknya sudah memberikan manfaatnya, yakni membagi keindahannya kepada orang banyak. Jadi kalau hidup kita, hanya sebatas tidak merugikan, tapi tidak bermanfaat, buat apa sih hidup ini?

Pusing memikirkan falsafah hidup dan ditambah,tidak lulus ujian hidup untuk mendapatkan sertifikat :"orang baik",tanpa sadar saya terlelap dalam pelukan istri tercinta..

Tjiptadinata Effendi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun