Jakarta Bukan Kota Brengsek
- Jakarta macet
- Kotor
- Banjir
- Amburadul
- Brengsek
Akan tetapi, orang tidak konsekuen pada apa yang dilontarkan. Kalau memang merasa Jakarta itu macet, kotor, semrawutan, banjir dan brengsek, kenapa masih bertahan tinggal di Jakarta? Bukan hanya dalam hitungan bulan, tapi tahunan, malahan ada yang puluhan tahun.Â
Kalau ada yang brengsek, maka itu adalah sebagian manusia yang bercokol di Jakarta, namun tidak bertanggung jawab:
- Membuang sampah di selokan
- Membuang di jalan raya
- Membunyikan klakson tidak pada tempatnya
Yang namanya bersih bersih dan atur mengatur pasti ada yang digeser atau dipindahkan. Buktikan sendiri di rumah kita. Membersihkan rumah, mungkin ada koran, majalah bekas yang dibuang atau sepeda rusak yang dicampakkan agar ruang rumah menjadi tempat tinggal yang layak huni. Nah, mungkin saja ada anggota keluarga yang marah karena merasa koran atau majalah bekas itu perlu bagi dirinya. Atau merasa bahwa kelak sepeda rusak tersebut mau dimuseumkan. Terus protes,Â
Para petugas ini sudah harus siap mental untuk dimaki-maki, maupun dalam bentuk tindakan fisik dengan menyiramkan air cabe ke petugas atau melempari dengan apa saja yang ada di depan mereka. Tugas para SatpolPP ini adalah melakukan penertiban dan pembersihan, sesuai perintah atasan agar DKI menjadi kota yang apik dan rapi, serta warga mendapatkan tempat tinggal yang layak di rusun.
Namun para warga yang terkait langsung dengan penertiban ini, sebagian tidak dapat menerima dan menganggap hal ini adalah sebuah bentuk penindasan. Tulisan ini bukanlah dalam konteks memberikan penilaian penilaian, melainkan semata dari sudut pandang anggota Satpol PP yang melakukan tugas ini.Â
Berdialog dengan Salah Seorang PetugasÂ
Suatu waktu saya ke Kantor Kecamatan Kemayoran di Jalan Yos Sudarso, untuk mengurus pembayaran PBB apartemen kami, yang sudah jatuh tempo. Kami diminta naik ke lantai 3 dan disambut dengan sangat santun oleh petugas.Â
Sementara duduk di bangku menunggu kendaraan, ada dua orang anggota SatPol PP di sana yang menyapa kami "lagi urus PBB pak, bu?" Agak surprise juga, karena selama ini dalam pikiran saya petugas SatPolPP adalah orang orang yang arogan dalam menjalankan tugasnya. Ternyata kali ini, malah kami yang disapa dengan sopan.Â
Maka kami jadi ngobrol hingga menyangkut masalah penertiban. "pak," kata Sudibyo dengan wajah serius, "Kami juga warga biasa yang kebetulan bertugas di bidang penertiban. Orang hanya menilai dari satu sisi saja, tapi jarang yang melihat dari sisi penderitaan kami. Ditimpuk kotoran, disiram air comberan dan bahkan dilempari dengan apa saja. Tidak ada yang tahu, bagaimana perasaan saya, ketika harus merombak rumah yang didiami orang orang tua sendiri. Walaupun saya tidak ikut turun dengan tangan sendiri untuk merobohkan, tapi saya ada di sana pak." kata mas Dibyo dengan pandangan mata menerawang.
Saya hanya terdiam. Sungguh, saya juga termasuk salah seorang, yang tidak pernah berpikir tentang perasaan mereka, karena selama ini yang ditampilkan di televisi dan berbagai media, adalah keganasan SatPol PP ini dalam melakukan upaya penertiban. Tak sekali jua menayangkan kisah bagaimana perasaan mereka ketika harus merobohkan rumah yang didiami kedua orang tuanya.Â
Macet? Semrawut? Jangan pikir bahwa hanya Jakarta yang macet dan semrawut. Bangkok jauh lebih parah. Bisa 2 jam stag di tengah jalan raya karena kemacetan. Kairo, ibu kota Mesir? Atau bagaimana dengan Paris? Athena? Amsterdam? Ya, silakan sesekali berkunjung dan membuktikan sendiri, bahwa kemacetan dan kesemrawutan itu bukan hanya milik Jakarta.
Bagi yang lagi sumpek, entah karena uang terlalu banyak sehingga tidak tahu mau simpan di mana atau juga sumpek karena rejeki nomplok belum kunjung datang, tidak usah pergi jauh jauh. Cukup berkendara 30 menit ke Danau Sunter. Rileks, sambil mancing dan menikmati rujak pedas di pinggir danau. Rileks adalah obat murajarab, dari pada stress dan harus berurusan dengan rumah sakit.Â
Makan rujak pedas atau sate ayam, sambil duduk dan terkantuk kantuk, tak terasa sudah sore. Perasaan galau dan stress sudah hanyut dan berlabuh di dasar Danau Sunter dan kita bisa kembali ke rumah masing masing.
Mari kita melihatnya dengan kaca mata jernih. Kalau mau Jakarta berubah menjadi lebih baik, tidak macet, tidak kotor dan tidak semrawutan, maka mari kita mulai mengawali dengan diri kita dan keluarga kita terlebih dulu.Â
Cegahlah anggota keluarga kita, agar jangan membuang sampah sembarangan, coba menahan diri untuk tidak membunyikan klakson, walau harus menunggu kendaraan didepan terlambat 2 atau 3 detik. Kalau kendaraan kita jelas telah menimbulkan polusi secara berkelebihan, maka bawalah ke bengkel untuk diperbaiki. Jangan lupa Jakarta bukan hanya milik Penduduk DKI, tapi milik kita semua: Bangsa Indonesia.
Membangun Jakarta, tidak bisa hanya mengandalkan Jokowi dan GubernurDKI, siapapun adanya, melainkan dengan keikutsertaan kita semua, yang peduli tentang Jakarta, sebagai cermin diri negara dan sekaligus cermin diri kita sebagai bangsa Indonesia.
Catatan: semua foto adalah dokumentasi pribadi tjiptadinata effendi. Ditulis sebagai bentuk kepedulian ,sebagai satu dari sekian juta warga yang ber KTP DKI, bertempat tinggal di Mediteranian Boulevard Apartemen, lantai 27 BL ,Kemayoran Jakarta Pusat dan kini sedang berada di Western Australia.
Tjiptadinata Effendi