"lagi sakit Uni," jawab istri saya
"sakit apa? Saya ada obat,kalau mau saya kasih kan" jawab si Uni'
Kedua pembicaraan tersebut,tidak ada yang spektakuler.Hanya pembicaraan singkat,tapi terlahir dari rasa keperdulian antara Pembeli dan Penjual ,secara timbal balik.Karena begitu seringnya melakukan transaksi jual beli,bukan lagi dalam hitungan berapa kali,tapi berapa tahun,maka sudah terjalin hubungan batin yang sangat dekat. Hal ini hanya akan ditemukan dalam kehidupan dipasar rakyat.Dan mustahil akan tercipta hubungan kental seperti ini,dalam bisnis di supermarket ,maupun di mall mall
Bahasa Hasil dari Alkulturasi
Akibat berbaur dan bergaul setiap hari ,selama bertahun tahun,maka sadar ataupun tidak ,terciptalah bahasa "Alkulturasi".istilah ini saya buat sendiri,karena tidak tahu istilah tepatnya. Yakni kata kata yang dipadu dari bahasa Minang dan dialek yang biasa digunakan oleh orang Tionghoa. "gotun? onde mandeh,,matilah gua...lugilah." Maksudnya ketika ada yang namar 5 rupiah,maka yang jualan mengatakan:'Aduh mak,mati aku,,, rugi lah" Tapi kalau yang menawar orang Tionghoa totok,yang lazim disebut :"Cina Totok" ,tidak bisa menyebutkan huruf "R",maka disebut sebagai :"L".Karena itu ketika yang dimaksudkan adalah :"rugilah",berubah pronouciationya,menjadi :"Lugila".Pada awalnya sempat terjadi ketegangan,tapi setelah dijelaskan,maka kedua belah pihak ketawa dan saling menunjuk,sambil mengatakan:"Lugilaaa" dan semuanya ketawa bersama sama.
Sebuah contoh kehidupan bertoleransi,yang kini sudah teramat jarang ditemukan lagi,kecuali di pasar rakyat ,yang bernama Pasar Tanah Kongsi.
Saksi Hidup yang Masih Tersisa
Kami termasuk saksi hidup yang masih tersisa,bahwa  Pasar Tanah Kongsi,adalah Pasar Rakyat,yang telah menghasilkan sejarah alkulturasi antara orang Minang dan Orang Tionghoa secara mulus.
Ayah saya, sudah berjualan disana,sejak saya masih duduk dikelas 4 Sekolah Rakyat,yakni ketika saya berusia 11 tahun,pada tahun 1953 dan kemudian 1970,saya yang melanjutkan usaha tersebut dan tinggal bersama istri dan putra kami yang baru satu orang pada waktu itu. Jadi kalau dihitung tahunnya, berarti saya sudah mengenal Pasar Tanah Kongsi selama lebih dari 20 tahun.Suatu rentang waktu ,yang rasanya cukup ,untuk merasakan,betapa indahnya kebersamaan itu.
Hidup dalam kedamaian dan saling membantu inilah,agaknya yang membuat kami mampu bertahan hidup menderita selama tinggal di Tanah Kongsi.
Napak Tilas